Selasa, 29 Maret 2016

Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum

Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya
Oleh : Firman Arifandi, LLB[1]
PENDAHULUAN
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang dipandang esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah aqidah dan akhlaq, polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau, hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para ulama yang tidak menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat dari tiap kalangan. Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa fiqih mengalami  evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga  munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum. 
Al-Qur’an dan hadist yang menjadi sandaran utama pengambilan hukum perlu diinterpretasikan mengingat tidak semua perkara disebutkan secara spesifik hukumnya dalam lafadz nushus. Hingga muncullah disiplin ilmu dalam berijtihad, yang seiring berjalannya waktu disiplin ini hadir agar tidak semua orang menginterpretasi nushus dengan caranya sendiri. Ada rambu-rambu yang tersusun dan terkemas dalam ilmu ushul fiqh yang dijadikan landasan para ulama untuk melakukan ijtihad dan pengambilan istinbath ahkam. Dari sekian banyak metode yang dikeluarkan dalam bidang ilmu ini, ada sekumpulan prinsip-prinsip umum yang merangkum hukum-hukum syara’ yang umum, yang dapat dikorelasikan dengan masalah-masalah kontemporer, prinsip-prinsip tersebut dibungkus dalam kemasan ilmu bernama al-qawaid al-fiqhiyyah.
1.1  Latar Belakang
Qawaid al-fiqhiyyah atau Islamic legal maxim memiliki posisi penting dalam metode istinbath ahkam. Dia merupakan satu disiplin ilmu untuk memformulasikan dalil-dalil yang bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah hukum yang tak disebut dalam nushus.
Disiplin ini dikategorikan sebagai bagian dari dalil syar’i, juga menjadi komponen penting dalam perumusan penemuan hukum. Terlebih sejumlah ulama menegaskan bahwa tolak ukur derajat keilmuwan seorang yang faqih salah satunya adalah penguasaan terhadap ilmu qawaid ini. Imam al-Qarrafi bahkan meletakkan disiplin ilmu ini sebagai dasar syariat ke-dua setelah ilmu ushul fiqh[1].
Dari sini perlu kita kaji secara detail tentang makna dari ilmu ini secara definitiv, serta  metode penemuan prinsip-prinsip qawaid fiqhiyyah dalam frame sejarah. Perlu diketahui juga stadium pembentukannya hingga penyusunan, kemudian urgensi daripada penggunaan ilmu ini bagi mujtahid.

1.2  Rumusan Masalah
Makalah ini akan dikonsentrasikan kepada sejumlah pemetaan pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Definisi qawaid fiqhiyyah
2.      Sejarah perkembangan qawaid fiqhiyyah :
A.    Periode Pertama
                                            i.            Periode Rasulullah SAW
                                          ii.            Periode Khulafa al Rasyidin
                                        iii.            Periode at tabi’in
B.     Periode Kedua : masa perkembangan dan pembukuan
C.     Periode ketiga : masa penyempurnaan
3.      Sistematika Qawaid Fiqhiyyah
4.      Urgensi Qawaid Fiqhiyyah
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Pembaca memahami definisi qawaid fiqhiyyah
2.      Pembaca mengatahui sejarah perkembangannya
3.      Pembaca mengerti urgensi qawaid fiqhiyyah
4.      Setelah pembahasan ini diharapkan juga agar para pembaca mengetahui bagaiamana sistematika dalam menghasilkan hukum melalui Qawaid Fiqhiyyah




BAB II PEMBAHASAN
2.1  Definisi Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kaidah yang bermakna aturan atau patokan, bisa juga bermakna pondasi. Seperti dikatakan dalam al-Qur’an :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ  (البقرة :127)
Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama- sama Nabi Ismail meninggikan binaan asas-asas (tapak) Baitullah (Ka`abah) itu.” (Al-Baqarah : 127)
Sementara mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حكم كليّ ينطبق على جميع جزئياته
Hukum umum yang berlaku atas hukum-hukum yang bersifat detail[2].
Sedangkan arti fiqhiyyah diambil dari kata “fiqh” yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :
لِيَتَفَقَّهٌوا فِي الدِّينِ (التوبة : 122)
untuk memperdalam pengetahun mereka tentang agama. (at taubah : 122)
Dalam arti istilah fiqih bermakna sebagai berikut :
1.      Menurut al Jurjani al Hanafi : Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang detail, dan dikongklusikan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan[3].
2.      Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah al-Mubtada’ wal khabar : fiqh adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf, diistinbathkan dari al-quran dan sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara’. Bila dikeluarkan hukum-hukum dengan ijtihad dan dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan fiqh[4].
Maka, bila dicermati dua definisi tersebut, atau bahkan pada definisi yang lain dari apa yang dikemukakan oleh fuqaha’, akan  ditemukan makna fiqih berkisar pada rumusan berikut :
a.       Fiqih merupakan bagian dari syariah.
b.      Hukum yang dibahas mencakup amaliyah.
c.       Obyek hukumnya pada muslim mukallaf
d.      Sumber hukum berdasarkan quran dan sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
e.       Dilakukan dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dari ulasan tersebut, baik mengenai qawaid maupun fiqhiyyah maka yang dimaksud dengan qawaid al fiqhiyyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Tajuddin as-Subki :
الأمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات  كثيرة يُفهمُ أحكامها منها
“Perkara yang bersifat general yang sesuai dengan perkara lain yang spesifik[5].”
Dengan kata lain, bisa disimpulkan dari definisi ini tentang qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya[6].
Jika kaidah-kaidah ushuliyahiyyah dicetuskan oleh ulama-ulama ushul, maka kaidah fiqhiyyah sebenarnya dicetuskan oleh ulama ushul dan juga ulama fiqih. Namun aplikasi masing-masing dari kaidah tersebut selalu mempunyai korelasi satu sama lain, bahkan tidak bisa berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan kaidah ushuliyahiyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya, sedang kaidah fiqhiyyah merupakan bentuk operasional dari kaidah ushuliyahiyyah tersebut[7].


2.2               Sejarah Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid fiqhiyyah tidak serta merta ada dengan sendirinya dia berproses melalui serangkaian periode, seperti halnya teori terjadinya madzhab fiqhiyyah. Maka akan dirinci dalam makalah ini perjalanan dari tiap periode tersebut.

A.    Periode Pertama
A.i Periode Rasulullah
Dalam periode ini dikongklusikan bahwa ternyata benih-benih qawaid al fiqhiyyah telah ada sejak zaman risalah Muhammad SAW. Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para sahabat tidak pernah menakaman hal tersebut adalah kaidah, namun dari pelafadzannya ditemukan oleh ulama bahwa rasulpun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan hadist yang beliau ucapkan. Imam-imam mujtahid kemudian melakukan pengembangan terhadap nushus yang bermakna kulliy atau general.
Secara tidak langsung banyak hal diucapkan oleh rasulullah yang memiliki esensi qawaid fiqhiyyah, diantaranya adalah :
الخراج بالضمان
Hak yang menerima hasil karena harus menanggung kerugian
إنما الأعمال بالنيات
Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya
العجماء جرحها جبار
Kerusakan yang dilakukan binatang tidak dikenakan ganti rugi
لا ضرر ولا ضرار
Tidak boleh berbahaya dan tidak membahayakan
ما أسكر كثيره فقليله حرام
Apa-apa yang memabukan dalam kadar yang banyak, maka dalam kadar sedikitpun ikut haram.
karakter hadist yang dijadikan oleh para ulama sebagai sumber kaidah dalam qawaid fiqhiyyah adalah yang berlafadz ringkas namun bermakna luas. Seperti pada karakter hadist-hadist tersebut di atas.  
A.ii Periode Sahabat
            Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam pembentukan qawaid al fiqhiyyah. Lagi-lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah riwayat para shabat untuk menjadi landasan sumber kaidah. Di antara yang sangat terkenal dalam kitab al-madkhol fi tasyri’ al Islamiy adalah perkataan Umar bin Khattab radiyallahu anhu.
"مقاطع الحقوق عند الشروط"
Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syaratnya[8].
Kemudian perkataan Ibnu Abbas Radiyallah anhu :
كل شيء في القرآن أو أو فهو مخير، وكل شيء فإن لم تجدوا فهو الأول فالأول[9]
segala sesuatu dalam Al Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau” maka itu adalah berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam quran yang berkalimat “jika tidak menemukannya” maka itu yang utama dan paling utama untuk dibayar.
Perkataan Ibnu Abbas RA di atas dikategorikan sebagai  qaidah fiqhiyyah dalam bab kaffarah dan pilihan dalam konsekuensi hukum. Ada juga atsar dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq
من قاسم الربح فلا ضمان عليه
“Orang yang membagi keuntungan tidak menerima kerugian”

A.iii Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in
Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabiu tabi’in juga telah mengeluarkan sejumlah qawaid al fiqhiyyah, di antaranya adalah dari perkataan imam Syafi’I rahimahullah :
من شرط على نفسه طائعاً غير مكره فهو عليه[10]
Dari ulama di era yang sama, Khair bin Na’im juga berkata :
من أقر عندنا بشئ ألزمناه إياه
Barang siapa yang menyetujui suatu hal dari kita, maka hal tersebut wajib pula berlaku padanya.
Yang sangat terkenal adalah kaidah yang dikeluarkan oleh imam Abu yusuf ya’qub bin Ibrahim, dimana beliau menulis kitab “al Kharraj”. Terdapat di dalamnya serangkaian kaidah fiqhiyyah, di antaranya adalah surat yang ditujukan untuk Harun ar Rasyid yang berbunyi :
ليس للإمام ان يخرج شيئا من يد أحد إلا بحق ثابت معروف[11]
tiada wewenang bagi seorang imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan dasar-dasar hukum yang berlaku”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له فماله لبيت المال
Barang siapa meninggal tanpa punya ahli waris maka hartanya diserahkan kepada baitul maal.
            Kaidah di atas berlaku dalam perihal pembagian harta waris untuk baitul mal dan regulasi finansial di dalamnya.   
Imam Ibnu Hasan al-Syaibani, murid daripada imam Abu Hanifah RA juga mengemukakan sebuah pendapat dalam eranya yaitu :
apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats batal atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:
 اليقين لا يزال بالشك
 keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan[12]
Telah terbit sejumlah kitab dalam era ini sebagai pondasi pertama perangkuman qawaid al fiqhiyyah, namun semuanya tidak dinamakan sebagai kaidah fikih tapi tercampur dalam satu kitab pembasahan fiqih. Seperti kitab al umm karangan imam Syafi’I, juga kitab al khorroj milik imam Abu Yusuf, dan sejumlah sohifah dari tulisan imam Abu Hasan Syaibani.
B.       Periode Ke Dua : Masa Perkembangan dan Kodifikasi
Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid fiqhiyyah mempunyai posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu ke dua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya, dimana semangat Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena saat itu mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia. Era ini juga menjadi awal masa  di mana bidang fiqh mulai mengalami dikotomi dalam kemasan madzhab. Pembukuan terhadap fiqih madzhab tertentu dirasa cukup menjadi penenang bagi setiap orang saat itu untuk merujuk kepada bacaan tertentu pada masalah tertentu pula. Seolah-olah era Ijtihad sudah mati secara total pada masa itu.
Namun, berkembangnya persoalan-persoalan baru ternyata tak mampu terjawab oleh kitab-kitab madzhab. Ulama-ulamapun bangkit untuk membuat kumpulan kaidah yang diharapkan dapat menjaga hukum dan fatwa ulama dari teori yang salah. Di antara yang memulai kodifikasi terhadap qawaid al fiqhiyyah adalah :
a.       imam Abu Hasan al Karkhi dengan kitab Ushul al Karakhi
b.      Abu Zaid al Dabusi menyusun kitab ta’sisun Nadhar
c.       Abu Thahir ad Dibas menyusun 17 kaidah yang disempurnakan Karakhi menjadi 37
d.      Imam Abi Laits as-Samarqhandi dengan kitab yang terkenal hingga saat ini yaitu ta’sisu nadhir
e.       dll
Memasuki abad ke 7 dan 8 Hijriah, terlihat bahwa qawaid al fiqhiyyah mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan banyak yang menjulukinya masa keemasan kodifikasi untuk bidang ini. Semakin deras bermunculan dari setiap madzhab yang menyusun dan mengklasifikasikan qawaidh fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu kitab. Jika yanng memulai kodifikasi di abad ke empat adalah kebanyakan dari ulama Hanafi, maka di abad ini yang lebih pesat menyebarkan karya ilmu qawaid adalah dari golongan Syafi’iyah. Namun bukan berarti dari madzhab yang lain tidak sama sekali berkontribusi. Di antara karangan yang sangat terkenal hingga sekarang adalah :
a.       Zainul Abidin Ibnu Ibrahim atau dikenal ibnu wakil AsySyafi’I  menyusun kitab al asybah wa nadzoir
b.      Tajuddin as Subuky juga mengarang kitab yang serupa namanya dengan karya Ibnu Wakil yaitu al asybah wa nadzoir
c.       Ibnu rajab al hanbali menulis Al-Qawaid fil fiqhi
d.      Najmuddin at-Thufy menulis al-Qowaid al-kubra
e.       Izzuddin bin Abdissalam menyusun kitab Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam (hingga saat ini, kitab tersebut menjadi rujukan dan muqorror dalam mata kuliah qawaid fiqih di sejumlah perguruan tinggi di timur tengah).
Yang lebih mengesankan lagi, ulama di era abad ke sembilan dan sepuluh mencoba mengklasifikasikan qawaid dengan mengumpulkan semua karya dari seluruh madzhab. Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan qawaid penting dari al a’lai, as subuky, dan az-zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang sama, yakni al asybah wan-nadzoir. Di era inilah sangat dikenal sekali sebagai masa kodifikasi dan penyusunan maqashid al fiqhiyyah.
C.    Periode Ke tiga : masa Penyempurnaan
Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang qawaid al fiqhiyyah. Namun bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah dinyatakan sempurna. Langkah-langkah penyempurnaan dilakukan ketika ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya[13]. Dari era inilah kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar luas untuk menjadi landasan utama proses pengambilan hukum.
           
Bab III Sistematika Qawaid Al Fiqhiyyah
            Pada akhir era kodifikasi maqashid al fiqhiyyah, akan banyak kita temukan pada kitab para ulama, dimana mereka membagi Qawaid pada qaidah asasiyah dan ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah adalah lima kaidah utama yang tidak dipertentangkan oleh ulama madzhab tanpa ada yang menyelisihi pendapat lainnya, lima kaidah utama itu adalah[14] :
a.       Segala perkara tergantung tujuannya
b.      Kemadaratan harus dihilangkan
c.       Yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
d.      Kesulitan dapat menarik kemudahan
e.       Adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum
Dari kelima kaidah asasiyah ini kemudian bercabang kaidah-kaidah lainnya yang saling berkaitan.
            Selain kaidah asasiyah, adapula kaidah ghoiru asasiyah yang menjadi pelengkap di beberapa qodiyyah. Dalam beberapa referensi, ada yang menyebutkan jumlahnya adalah 40 untuk kaidah non asasiyah yang tidak diperselisihkan, dan 20 yang diperselisihkan[15].
            Sistematika lain dalam Qawaid Fiqhiyyah, yaitu adapula sebagian ulama yang mengurutkan kaidah-kaidah sesuai abjad, dengan kapasitas 145 jenis kaidah yang kemudian diintisarikan menjadi 99 kaidah, hal ini bisa dilihat dalam kitab majallah al- ahkam al adliyyah[16].
            Selanjutnya, sebagian fuqoha juga mensistematis kaidah fiqhiyyah dengan klasifikasi bab pembahasan Fiqh. Misalnya, klasifikasi kaidah berdasarkan bab Ibadah, bab mu’amalah, bab uqubat jinayah, dan lain sebagainya. Hal ini bisa didapatkan dalam kitab “al faraidul bahiyyah fi qawaidi wa fawaidi fiqhiyyah” karya Sayyid Muhammad Hamzah.

Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dan Ushuliyyah
1.      Kaidah ushuliyah pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Sedangkan, kaidah fiqhiyyah adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqhiyyah adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushuliyah).
2.      Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak mengandung rahasia-rahasia syar’i tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqhiyyah dari teksnya terkandung kedua hal tersebut, maka tepat bila dikatakan bahwa kaidah fiqhiyah menjadi interpretasi dari dalil dng konotasi umum.
3.      Kaidah ushuliyah merupakan kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqhiyyah yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.      Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqhiyyah maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
5.      Kaidah-kaidah ushuliyah lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqhiyyah. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushuliyah adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqhiyyah ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
6.      Kaidah-kaidah ushuliyah lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
7.      Perbedaan yang sangat signifikan adalah redaksional Keduanya,
Contoh Kaidah Ushuliyah:
1.   العبرة بعموم اللفظ، لا بخصوص السبب[17]
“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab”
Dalam kaidah ini dijelaskan bahwa setiap dalil nushus yang turun spesifik untuk menghukumi kasus seseorang di zaman Nabi maka hukumnya berlaku juga pada seluruh umat Islam pada umumnya, dan tidak dikhususkan kepada individu tersebut. Sebagai contoh ayat tentang larangan tabarruj seperti jahiliyah di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang dikhususkan kepada istri-istri nabi, jumhur ulama sepakat bahwa hukum tersebut kemudian eksis kepada seluruh muslimat secara keseluruhan. Maka asbab nuzul dalam hal ini tidak mempunyai peran pada eksistensi hukumnya.
2.   القطعيات لا تعارضها الظنيات[18]
Dalil yang bersifat mutlak tidak boleh ditentang oleh yang bersifat prediktif.

Contoh qawaid fiqhiyyah:
الضرورات تبيح المحذورات
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Dilihat dari contoh-contoh di atas, secara redaksional saja bisa kita perhatikan bahwa kaidah ushuliyah konsentrasinya adalah pada rambu-rambu penggunaan dalil, sementara kaidah fiqhiyyah lebih kepada amaliyah sang mukallaf.

Bab IV Urgensi Qawaid Al Fiqhiyyah
            Qawaid al fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam disiplin ilmu syariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang tertata di dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu kaidah besar yang nanti dicabangkan pada kaidah-kaidah lainnya. banyak fuqoha berkata :
من راعى الأصول كان حقيقا بالوصول      ومن راعى القواعد كان حليقا بإدراك المقاصد[19]
Barang siapa me melihara ushul maka ia akan sampai pada maksud
Dan barang siapa memelihara qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud
Kemudian dalam kitab Faridhul Bahiyyah di sebuah nudzhum dikatakan :
إنما تُضبط الفقه بالقواعد      فحفظها من أعظم الفوائد[20]
Sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka menghafalkannya sangat besar faedahnya.
            Selanjutnya, dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai furu’-furu’nya[21].
            Terlebih di era modern ini, kita banyak dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan kontemporer yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ranah fiqih. Tak jarang dari sejumlah perkara baru tersebut belum ditemukan hukumnya karena dalil spesifik dari nushus tidak ditemukan. Sebagai contoh, jenis kredit yang diharamkan, tidak ditemukan nushus yang spesifik menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil kaidah :
كل قرض جر منفعة فهو ربا
setiap pinjaman dengan menarik manfaat adalah sama dengan riba
dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah apabila terjadi pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan apabila ada ketidakjelasan terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta persyaratan-persyaratan yang menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga sekian persen bila jatuh tempo masa pembayaran.
Contoh lain terjadi dalam transaksi bai’ salam (jual beli dengan pembayaran lunas dimuka), ketika barang tidak sesuai pesanan, maka syariah mengatur adanya khiyar atau opsi untuk mengakhiri atau melanjutkan akad, dengan konsekuensi jika melanjutkan maka si pembeli menanggung kerugian. Khiyar merupakan suatu sistem yang dirancang dalam transaksi untuk melindungi seluruh pihak agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan. Hukum ini juga ternyata diambil dari kaidah :
إذا ضاق الأمر اتسع
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka bisa diperluas”
Atau pada seseorang yang mengatakan “saya hibahkan benda ini, nanti diganti dengan uang”. Transaksi di atas secara lafaz adalah hibah barang, tapi secara teknis bermakna jual beli. Maka penilaian transaksi bukan dari lafaz melainkan makna. Transaksi di atas adalah transaksi jual beli bukan menghibahkan. Maka kaidah yang berlaku pada akad ini adalah :
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
“Yang menjadi patokan dalam akad adalah substansi dan makna, bukan redaksi atau penamaan”
            Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa qawaid al fiqhiyyah merupakan komponen penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan faqih dalam melakukan metode istinbath ahkam atau interpretasi hukum syariat. Bahkan tak dapat diragukan lagi, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan tolak ukur kematangan ilmu sang mujtahid.
PENUTUP
qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai cabang disiplin ilmu lainnya.
REFERENSI
abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji Al qorrofiy. Alfuruq-anwarul buruq fi-l-furuq. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998.
Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah ushuliyahiyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Hasbi As-Shidqi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta.
Az-zarqo, Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam. Damasqus. 1989.

As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.

Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi.

Al asma’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000.

.Rahman, Asymuni.  Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976.

Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983.

Abdul Wahab Khollaf. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah Ats-tsaqofah al jam’iyyah. Alexandria. 1989.




[1] Al Qorofi, abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji. Alfuruq-anwarul buruq fi-l-furuq. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998. Juz 1/ hal 6

[2] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H 95
[3] As-Shidqi, Hasbi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta. H 25
[4] Ibid 27
[5]Az-zarqo, Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam. Damasqus. 1989. Hal 35
[6]Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983. Hal 5
[7] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H98
[8] http://feqhweb.com/vb/t751.html
[9] ibid
[10] http://feqhweb.com/vb/t751.html
[11] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H101
[12] Khollaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah Ats-tsaqofah al jam’iyyah. Alexandria. 1989. Hal 57
[13] http://abdulhafidzmuhammad.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-qawaid-fiqhiyah.html
[14] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[15] Ibid. 101
[16] Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi. Hal 16 - 28
[17] Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008. Hal 394
[18] Ibid.539
[19] A.Rahman, Asymuni.  Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. H17
[20] Al asm’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000. Hal 33
[21] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H105




[1] Penulis adalah mahasiswa pascasarjana tingkat akhir  di International Islamic University Islamabad, Faculty of Shariah and Law, department of Islamic Law and Jurisprudence.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar