Lesehan #7
Dalam satu
kesempatan di tengah-tengah waktu I’tikaf, mas Rahman mendapati kang Julay
melakukan shalat tahiyatul masjid dimana sebelumnya dia baru saja menyelesaikan
shalat tarawih berjamaah yang pastinya telah ditutup dengan witir, dan
ceritanya kang Julay sempat keluar ke toilet selepas witir tadi, lalu kembali
masuk ke masjid.
“loh gus, kok sholat sunnah lagi?
Bukannya tadi sudah witir?” tanya mas Rahman keheranan.
“iya gak apa-apa mas, kan baru
masuk masjid lagi setelah keluar tadinya, jadi shalat tahiyyatul masjid” jawab kang
Julay santai.
“boleh ya? Kan sudah witir,
katanya kalau sudah witir itu ga boleh sholat sunnah lagi setelahnya?” tanyanya
lagi
“dalam fiqih itu ada istilah
Sholat Dzatu Sabab atau sholat yang dilakukan karena sebab tertentu. Shalat
dzatu sabab yang efeknya langsung setelah amal seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan
sujud syukur, dibolehkan oleh sejumlah ulama untuk dilakukan walaupun di waktu
yang dilarang (al manhiyyu anhu) seperti setelah ashar, atau ba’da subuh.
Sementara yang penyebabnya masih mempunyai kesempatan panjang, dihindarkan dari
waktu-waktu terlarang, seperti shalat jenazah, bisa dibuka di kitab fiqhul
islam wa adillatuhu atau syarah bulughul marom karangan Atiyyah Salim. Nah
barangkali dalam beberapa pandangan, setelah witir dilarang shalat sunnah, maka
sebenarnya yang saya lakukan ini adalah shalat sunnah yang jenisnya dzatu sabab
yang diperkenankan dalam pandangan fuqaha untuk dilaksanakan dan sah” kang
Julay menjelaskan.
“ terlepas dari jenis shalat
dzatu sabab tadi, kalau mengerjakan shalat sunnah apapun jenisnya setelah
shalat witir, termasuk shalat tahajud itu hukumnya gimana sih gus? Masih
bingung nih saya” Rahman nampak penasaran
Sebenarnya
yang menjadi ikhtilaf dalam hal boleh tidaknya shalat sunnah setelah witir
adalah dalam menyikapi sabda kanjeng Nabi SAW yang mengatakan agaar setiap
shalat malam ditutup dengan witir, bunyi hadistnya begini:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat kalian
di malam hari dengan shalat witir.” (HR. Bukhari 998 dan Muslim 749).
Dari tekstual hadist tadi,
kemudian ada kelompok yang melarang shalat sunnah setelah witir. Namun,
kebanyakan ulama menganggap redaksi hadist di atas tidak berkonotasi perintah
untuk menutup semua jenis shalat sunnah ataupun larangan melakukan shalat
setelahnya, redaksi tersebut dinilai bermakna anjuran, karena ternyata ada
dalil-dalil lain yang juga membolehkan shalat sunnah atau tahajud setelah
witir. Seperti dalam hadist Aisyah RA ketika ditanya tentang shalat witirnya
Rasulullah SAW:
قالت : " كنَّا نعدُّ له سواكه وطهوره فيبعثه الله
ما شاء أن يبعثه من الليل فيتسوك ويتوضأ ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيهن إلا في الثامنة
فيذكر الله ويمجده ويدعوه , ثم ينهض ولا يسلم , ثم يقوم فيصلي التاسعة , ثم يقعد فيذكر
الله ويمجده ويدعوه, ثم يسلم تسليماً يسمعنا, ثم يصلي ركعتين بعد ما يسلم وهو قاعد
" )رواه
مسلم(
Aisyah RA berkata: Kita selalu
menyediakan siwak dan air wudhu untuk beliau, dan Allah swt akan membangunkan
beliau dimasa yang diinginkan pada waktu malam. Beliau akan menggunakan siwaak,
berwudhu' dan Shalat 8 Rakaat, dimana beliau tidak akan duduk kecuali di rakaat
ke 8, maka kemudiam beliau berzikir pada Allah, memuliakanNya dan melakukan
do'a. Kemudian beliau bangun tanpa memberi salam, dan bersolat rakat yang ke 9.
Kemudian beliau akan duduk dan berzikir, memuliakan Allah dan melakukan do'a.
Kemudian beliau mengucap salam hingga terdengar oleh kita, kemudian beliau shalat
dua rakaat setelah salam dengan duduk " (HR. Muslim 746)
Pada hadist ini, imam Nawawi
menjelaskan bahwa setelah witir Rasulullah SAW masih menyempatkan shalat dua
rakaat, dan ini adalah landasan atas kebolehan shalat sunnah setelah witir. Dalam
kitab Syarah Sohih Muslim imam Nawawi mengatakan:
الصَّوَاب : أَنَّ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فَعَلَهُمَا
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْد الْوِتْر جَالِسًا ; لِبَيَانِ جَوَاز الصَّلَاة
بَعْد الْوِتْر , وَبَيَان جَوَاز النَّفْل جَالِسًا , وَلَمْ يُوَاظِب عَلَى ذَلِكَ
, بَلْ فَعَلَهُ مَرَّة أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ مَرَّات قَلِيلَة
“Yang benar: dua rakaat yang
dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah witir dalam posisi
duduk adalah dalam rangka menjelaskan bahwa boleh shalat setelah witir, dan menjelaskan
boleh shalat sunah sambil duduk, meskipun itu tidak beliau jadikan kebiasaan.
Namun beliau lakukan sesekali atau beberapa kali. (Syarh Shahih Muslim, 6:21)”
Kemudian ada hadist lain dari
Tsauban RA, dimana beliau sedang safar dengan kanjeng nabi SAW. :
إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جُهْدٌ وَثُقْلٌ، فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ وَإِلَّا كَانَتَا لَهُ
Sesungguhnya safar ini sangat
berat dan melelahkan. Apabila kalian telah witir, kerjakanlah shalat 2 rakaat.
Jika malam harinya dia bisa bangun, (kerjakan tahajud), jika tidak bangun, dua
rakaat itu menjadi pahala shalat malam baginya.” (HR. Ibnu Hibban 2577, HR Ibnu
Khuzaimah 1106)
Dan tidak sedikit dari ulama-ulama yang berpendapat atas
kebolehan mengerjakan shalat sunnah setelah witir, di antaranya adalah Ibnu
Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan:
وَمَنْ أَوْتَرَ مِنْ اللَّيْلِ، ثُمَّ قَامَ لِلتَّهَجُّدِ،
فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُصَلِّيَ مَثْنَى مَثْنَى، وَلَا يَنْقُضَ وِتْرَهُ. رُوِيَ
ذَلِكَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، وَعَمَّارٍ، وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَائِذِ
بْنِ عَمْرٍو، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَائِشَةَ.
“barang Siapa melakukan witir di awal malam, kemudian dia
bangun untuk tahajud, dianjurkan untuk mengerjakan shalat 2 rakaat 2 rakaat dan
tidak perlu membatalkan witirnya. Kesimpulan ini berdasarkan riwayat dari Abu
Bakr As-Shidiq, Ammar bin Yasir, Sa’d bin Abi Waqqash, A’idz bin Amr, Ibn
Abbas, Abu Hurairah, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.” (Al-Mughni, 2/120)
Kemudian dalam kitab Al Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm
berkata:
والوتر آخر الليل
أفضل . ومن أوتر أوله فحسن , والصلاة بعد الوتر جائزة , ولا يعيد وتراً آخر
“Witir dilakukan di akhir malam, lebih afdhal hukumnya,
dan jika dilakukan di awal malam, maka itu baik. Boleh shalat setelah witir,
dan tidak usah mengulangi witir dua kali.” (Al-Muhalla bil atsar, 2/91)
Begitupula imam Nawawi dalam Al majmu syarah Muhadzzab
mengatakan:
إذا أوتر ثم أراد أن يصلي نافلة أم غيرها في الليل جاز بلا كراهة
ولا يعيد الوتر, ودليله حديث عائشة رضي الله عنها وقد سئلت عن وتر رسول الله صلى الله
عليه وسلم…
“Apabila seseorang telah mengerjakan witir (di awal
malam) dan dia hendak shalat sunah atau shalat lainnya di akhir malam, hukumnya
boleh dan tidak makruh. Dan dia tidak perlu mengulangi witirnya. Dalilnya
adalah hadis Aisyah radhiyallahu ‘anhaa, ketika beliau ditanya tentang witir
yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…”(Al-Majmu’, 4/16) kemudian
imam Nawawi menyebutkan hadis Aisyah yang tadi.
“nanti setelah selesai shalat sunnah atau shalat tahajud
tersebut apa kita musti witir lagi kang?” tanya mas Rahman lagi
“ndak perlu kang, karena ndak ada dua witir dalam satu
malam, seperti yang disebutkan dalam hadist, Rasulullah SAW bersabda:
لا وتران في ليلة
“Tidak boleh melakukan 2 kali witir dalam satu malam.”
(HR. Ahmad & HR Abu Daud)
“nah kalo begitu saya bisa nih shalat sunnah lagi, ntar
malam kalo dibangunkan saya mau shalat tahajud lah” ujar Rahman
“ya gak apa-apa mas, ga masalah” jawab kang Julay
“aseek…saya tak tidurnya kalo gitu kang, nanti bangunin saya
tahajud ya” kata mas Rahman sambil mulai rebahan.
“oke, saya tidur duluan ya mas, nanti bangunin saya kalo
sudah mau dibangunin tahajud” jawab Julay ikut rebahan
“loh…”
Suka sekali pak de
BalasHapus