Selasa, 11 Oktober 2016

Diharamkan Melakukan Hal yang Belum Pernah Dilakukan Nabi?


Oleh: Firman Arifandi, LLB

Terdapat polemik menarik antar muslim saat ini, dimana dalam menghadapi sebuah permasalahan yang dianggap baru seringkali ditangkal dengan perkataan “kalau Rasulullah tidak pernah melakukan maka haram bagi kita melakukannya”. Dari sini timbul pertanyaan besar, apakah salah satu sebab keharaman sebuah perkara itu adalah karena Rasulullah dalam hidupnya tidak pernah mengerjakan? Kemudian apakah lantas hal ini bisa menjadi landasan atas pengharaman segala hal yang baru dilakukan setelah nabi wafat?

Definisi Hukum Haram dan Identifikasinya Melalui Nushus
            Haram adalah salah satu dari lima hukum taklifiyah yang disepakati oleh jumhur ulama (Wajib, Mandub atau sunnah, Makruh, Haram, Mubah). dalam kitab al mustashfa didefinisikan sebagai berikut:

الحرام هو ما طلب الشارع تركه على وجه الحتم والإلزام

Haram ialah perintah Syari’ untuk meninggalkan suatu hal dalam bentuk penekanan dan keharusan[1].

Kemudian Imam Baidhowi dalam Minhajul wusul mendefinisikan:
ما يذم شرعًا فاعله
Segala hal yang dalam syariat dihukum mereka yang melakukannya[2]

Dari definisi ini kemudian para ulama menambahkan redaksi lain menjadi: segala hal dalam syariat yang apabila ditinggalkan mendapatkan ganjaran dan bila dilakukan berdosa[3].

Bagaimana mengidentifikasi hukum haram dari nusus?
Dalam banyak kitab-kitab ushul, dijelaskan bagaiamana caranya memahami bahwa redaksi dari Quran ataupun Hadist menunjukkan keharaman atas suatu hal :
1.      Lafadz yang secara eksplisit menyebutkan kata “haram”. Contohnya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا) البقرة: 275(
Dan Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al Baqorah: 275)

2.      Redaksi larangan. karena menurut ulama ushul, pelarangan itu bermakna pengharaman. Contoh :
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (Al An’am 152)
3.      Perintah menjauhi sebuah perkara. Contohnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al Maidah: 90)
4.      Penggunaan kata “Tidak dihalalkan”. Contohnya:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Al Baqoroh: 230)
5.      Kalimat yang mengandung konsekuensi ancaman hukuman atas sebuah perbuatan yang dilakukan. Contohnya:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (An Nur: 4)
6.      Segala redaksi yang bermakna pelarangan dengan lafadz yang keras seperti: laknat Allah, Allah memurkai, memasukkan pelakunya ke golongan kafir, fasiq, dzholim, dll. Contohnya:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Al Maidah: 44)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Dari Abdullah bin Umar berkata: Rasulullah SAW Bersabda: Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap (HR. Ibnu Majah: 2313)

Dari definisi dan cara ulama ushul mengidentifikasi hukum haram melalui dalil nusus tersebut, tidak kita temukan satupun tanda-tanda yang menerangkan bahwa yang tidak pernah dilakukan oleh nabi kemudian jika kita lakukan menjadi haram. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, segala hal yang tidak tertera dalam nushus baik itu Quran ataupun Sunnah, bisa saja menjadi legal atau masyru’ dengan pertimbangan lain yang juga menjadi landasan dalam menarik kesimpulan hukum taklif yang lima. Bisa melalui maslahat mursalah, adat masyarakat luas, madzhab shahabi, dan lain-lain. Jadi tidak semena-mena kita langsung katakan bahwa yang dulu tidak dilakukan nabi menjadi haram bila dilakukan.
Namun, masih ada lagi dari sebagian orang yang memasukkan hal ini kepada kriteria “at tarku” atau apa-apa yang ditinggalkan oleh Nabi SAW. Lalu apakah at tarku itu kemudian bermakna pengharaman?
Jika Nabi Meninggalkan sesuatu apakah hal itu bermakna keharaman?
            Dalam kitab Al Muwafaqot karangan imam As-Syatibhi dikatakan bahwa apabila nabi meninggalkan suatu perkara itu karena ada beberapa hal yang melatar belakanginya[4]:
1.      Karena beliau secara pribadi kurang menyukainya, tapi tetap dibolehkan bagi umatnya melakukan hal tersebut. Seperti ketika beliau menolak saat ditawarkan makan dhabb (sejenis daging kadal). Namun sahabat tetap diperbolehkan memakannya.
2.      Meninggalkan karena sebenarnya yang ditinggalkan itu memang bukanlah hak beliau SAW.
3.      Meninggalkan hal karena takut dianggap wajib, seperti shalat tarawih berjamaah tiap malam sepanjang Ramadhan. Nabi hanya melakukannya 3 kali dan kemudian meninggalkannya karena takut dianggap wajib
4.      Meninggalkan hal yang sebenarnya mubah karena ada hal mubah lain yang lebih afdhal, seperti mengundi mendatangi istri-istrinya yang sebenarnya mubah bagi beliau, namun hal tersebut kemudian beliau tinggalkan dengan lebih menekankan pada menjaga perasaan dan akhlaq karimah.
5.      Meninggalkan hal yang sebenarnya boleh dilakukan karena takut akan terjadi mafsadah yang besar. Seperti ketika beliau enggan membunuh kaum munafiq dari peperangan demi menghindari anggapan orang bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri.
Dari sini, karena at tarku atau hal yang ditinggalkan oleh nabi mengandung banyak  kemungkinan, maka muncullah kaidah ushuliyah dalam kitab muwafaqot juga:
والدليل إذا تطرق إليه الاحتمال سقط منه الاستدلال
“kalau suatu dalil punya banyak kemungkinan (multi interpretasi), maka tidak bisa dijadikan alat berdalil[5]."
Begitu pula dalam kitab “min ushulil fiqh ‘ala manhaji ahlil hadits” karangan Syeikh Zakariya bin Ghulam Qodir al Pakistani, beliau menulis sebuah kaidah:
ما أصله مباح وتركه النبي صلى الله عليه وسلم لا يدل تركه له على أنه واجب علينا تركه
“segala hal yang asalnya adalah mubah dan kemudian Nabi SAW meninggalkannya, tidak bermakna bahwa perihal meninggalkan tersebut wajib kita ikuti[6]
Kemudian beliau melanjutkan bahwa yang ditinggalkan nabi suatu saat memang bisa menjadi sunnah dan bila dilakukan berkonsekuensi berdosa yakni apabila memang ada dalil khusus yang menjadi pelarangannya dan tidak ada dalil atas kebolehannya sama sekali walaupun berkonotasi umum.
Jangan Menjadi Panitia Akhirat
            Maksudnya panitia akhirat bagaimana? Gampangan menjudge bahwa ini sunnah, ini haram, dan ini masuk neraka. Seolah-olah kita yang punya legalitas menentukan hukum suatu perkara. Padahal ulama-ulama terdahulu (salafussolih) tidak juga demikian, apalah kita ini dibandingkan dengan para mujtahid mutlaq sekelas imam-imam madzhab dan ulama lainnya. Maka sebaiknya kita benar-benar mengaji dan mengkaji terlebih dahulu atas sebuah perkara, serta tidak cepat-cepat menghukuminya. Kalaupun nantinya masuk pada ranah perbedaan dalam furu’ maka kita dituntut untuk bijak menghargai perbedaan tersebut, bukan ngotot membenarkan pilihan kita.
Wallahu a’lam bisshowab


           













           


               




[1] Al Mustashfa juz1/ hal 76
[2] Minhajul wusul. Hal 5
[3] Az-Zuhaily, Muhammad Musthofa. Al wajiz fi ushul fiqh. Juz 1/ Hal 350
[4] Syatibhi. Al Muwafaqot. Dar ibn affan. 4/423
[5] Ibid. 4/302
[6] Al Pakistani, Ghulam Abdul Qadir. Min Ushulil fiqh ‘ala manhaji ahlil hadits. Darul kharraz. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar