Dirangkum oleh: H.
Firman Arifandi, LL.B., LL.M.
Qurban yang
merupakan Ibadah dimana prakteknya adalah dengan menyembelih hewan ternyata
tidak sesimpel yang kita kira, ada banyak pertanyaan yang muncul terkait teknis
dan hukum-hukumnya. Berikut kami coba rangkum pertanyaan-pertanyaan tersebut
beserta jawabannya dengan menukil dalil dan fatwa para ulama.
1. Bolehkah Menjual Kulit Hewan Qurban Untuk Upah Panitia?
Dalam hal ini
ada dua hadist yang menjadi landasan, yakni hadist tentang ketidakbolehan
memberi upah kepada panitia dari daging Qurban dan hadist larangan menjual
kulit Qurban. Berikut redaksi kedua hadist tersebut:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا
وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا»، قَالَ:
«نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا»
Dari Ali RA berkata: Rasulullah SAW memerintahkanku untuk
mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan
jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin).
Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal.
Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami
sendiri”. (HR. Muslim dan Bukhori)
مَنْ بَاعَ جِلْدَ
أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka
tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim)
Lantas apakah Panitia tidak
Boleh Menerima Jatah Daging?
Dalil di atas hanya melarang
mengupah panitia dari daging qurban, adapun jatah daging, tentu panitia boleh
menerima seperti jatah para mustahiq. Upah panitia bisa diambil dari kas masjid
atau dari kantong orang yang berqurban.
Terkait menjual kulit Qurban,
sebenarnya ulama berbeda pendapat:
1. Mayoritas Ulama berpendapat dilarang menjualnya dengan dalil
dari hadist yang tersebut di atas, dan pendapat ini dianggap lebih kuat dalam
kitab-kitab fiqih.
2. Pendapat Abu hanifah membolehkan menjual daging, kulit, ataupun
rambut hewan qurban dengan sistem barter dan tidak dengan uang.
3. Pendapat terakhir membolehkan penjualan kulit qurban secara
mutlak, ini adalah pendapat Abu Tsaur dan Hasan al bashri.
Menyikapi kebiasaan panitia yang
mengumpulkan kulit qurban kemudian menjualnya untuk kepentingan kepanitiaan
selayaknya diganti dengan siasat lain. Kulit qurban hendaknya diserahkan kepada
fakir miskin atau yayasan sosial sehingga mereka bisa memanfaatkannya untuk
keperluan finansial mereka. Jika mustahiq ingin menjualnya maka itu sudah
menjadi haknya, demikian disebutkan dalam kitab bughyatul mustarsyidin. Sementara
sohibul qurban dan panitia tidak berhak untuk intervensi dengan hasil
penjualannya.
2. Apakah Boleh Qurban atas Nama Orang yang Sudah Wafat?
Berikut pendapat dari tiap
madzhab:
Syafi’iyah: Ulama dari
madzhab ini belum satu kata terkait kebolehannya. Imam An-Nawawi dan Abu Hasan
Al-Abbadi termasuk yang membolehkan hal ini dengan mengqiyaskan kepada
kebolehan sodaqoh atas nama ahli kubur. Sementara ulama yang lain berpendapat
tidak boleh kecuali sebelumnya telah diwasiatkan untuk berqurban atas namanya.
Hanabilah dan Hanafiyah: kedua
madzhab ini membolehkan secara mutlak bila seseorang ingin berqurban atas nama
orang yang sudah wafat. Dalil yang digunakannya adalah hadist dimana seorang
sahabat menghajikan orang tuanya yang telah wafat.
Malikiyah: Madzhab ini
berpendapat boleh, namun dengan status karahiyah (dibenci).
3. Bolehkah Memasak Daging Qurban Untuk Konsumsi Panitia?
Jika setelah
melakukan penyembelihan daging-daging tidak langsung dibagikan kepada
orang-orang, tapi langsung diambil beberapa untuk dimakan oleh panitia saja,
maka ini hitungannya sama seperti mengupah panitia dari daging qurban dan
hukumnya diharamkan. Namun, bila konteksnya adalah memasak daging dan
mempersilahkan para hadirin yang menyaksikan sembelihan baik dia panitia,
sohibul qurban, tamu, ataupun calon mustahiq untuk ikut menyantap hidangan
tanpa ada pengkhususan kepada panitia maka hukumnya boleh, karena memang di
situlah esensi dari idul adha.
Wajib untuk
difahami, bahwa panitia qurban tidak sama dengan amil zakat yang berhak juga
atas zakat tersebut. maka jika panitia memakan daging qurban dan mendapatkan jatah
satu plastik daging qurban seperti para mustahiq, itu sah bila memang di luar
upah dan bukan sebagai upah, status penerimaanya bukan sebagai panitia tapi
masyarakat dan lagi-lagi bukan sebagai. Upah untuk panitia dan jagal tetaplah
wajib karena rasulullah sendiri juga mengupah jagal, namun dari kantongnya
sendiri.
4. Bos Kantor Adalah Non-Muslim, Bolehkah Ikut Berqurban sapi?
Bila bosnya
adalah orang non-muslim dari agama ahli kitab( nasrani atau yahudi) menurut
mayoritas ulama sumbangan sapinya diterima, sembelihannya sah dimakan. Sebagaimana
disebutkan dalam surat AL-Maidah ayat 5 bahwa sembelihan ahli kitab boleh
dimakan. Namun statusnya bukan sebagai hewan qurban tapi sebagai pemberian.
5. Bolehkah non-muslim menerima daging qurban?
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini:
a. Boleh: menurut madzhab Hanafi, imam Hasan al Bashri, imam Laits,
Abu Tsaur dan Ibnu Qudamah dari Hanabilah hukumnya boleh. Dalilnya kehalalan
sembelihan kita untuk ahli kitab dalam surat al maidah ayat 5
b. Makruh : ini menurut pandangan Malikiyah, karena harus
diutamakan berbagi kepada muslim terlebih dahulu secara merata.
c. Boleh untuk qurban sunnah dan haram untuk qurban wajib: qurban
wajib adalah jenis qurban yang dilakukan karena nadzar, selain yang dinadzarkan
maka masuknya adalah sunnah. Maka jika yang dibagikan adalah daging qurban yang
sunnah menurut madzhab syafi’I hukumnya boleh, tapi tidak bagi yang wajib.
6. Jika menyembelih hewan yang cacat asli hukumnya adalah haram,
bagaimana jika hewan itu cacat karena tabrakan, jatuh, atau kecelakaan sesaat sebelum
disembelih?
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas
dalam mengomentari surat AL Maidah ayat 3 menerangkan bahwa hewan dengan
kondisi jatuh, luka, diterkam binatang buas, dan lain sebagainya masih bernyawa
dan menggerak-gerakkan badannya meski sudah lumpuh, maka hukumnya masih halal
untuk disembelih, dan tidak dianggap sebagai bangkai.
7. Hukum Arisan Qurban atau Arisan yang lainnya, dan apa
perbedaan arisan dengan judi, karena keduanya sama-sama diundi
Arisan jika
tidak ada unsur gharar, tidak ada riba dan fair maka secara pandangan syariat
hukumnya sah dan boleh. Yang membedakan antara arisan dengan judi adalah:
a. Dalam judi ada unsur mengambil hak orang lain secara dzhalim,
berbeda dengan arisan yang semuanya sama-sama ridha.
b. Dalam judi Ada unsur ingin unggul dan mengecoh musuhnya,
sementara dalam arisan yang ada justru unsur ta’awun, yakni saling membantu dan
meringankan beban.
c. Dalam judi ada kesempatan menang berulang kali dan kalah
berulang kali, dalam arisan setiap individu akan merasakan menang semuanya
sesuai urutan hingga akhir putaran dan tidak ada yang dirugikan.
d. Jumlah premi yang dikumpulkan dalam judi bisa berbeda-beda,
dalam arisan selalu stabil nominalnya dari awal sampai akhir.
e. Judi cenderung menimbulkan permusuhan, arisan justru cenderung
memperkuat ukhuwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar