Kamis, 20 November 2008

Surat Anggun



“Kya eik so pachas Bhaijan? Me amuman eik so bees de taho..” ujarku kepada supir taxi menawar harga borongan yang ditawarkan kepadaku,sudah jadi kebiasaan supir taxi di sini menaikkan tarif khususnya kepada orang-orang foreign.
Pfuhh… Pengap, ini bukan kali pertama aku menginjakkan kaki di antara asap-asap polusi, ributnya kendaraan memekakkan telinga, kotor dan kumuhnya jalanan di salah satu kota negeri Ali Jinnah ini. Tempatnya terletak tak jauh dari Islamabad. Namanya kota Rawalpindi, di sini tersedia kitab-kitab berbahasa arab dengan kualitas kertas yang tentunya tidak mengecewakan. Ya, sesekali dalam sebulan aku menyempatkan diriku untuk hunting book ke toko kitab di Rawalpindi. Kalo dihitung-hitung, rasa capek menempuh perjalanan selama kurang lebih sejam setengah naik wagon tidak ada apa-apanya bila dibayar dengan rasa puas bisa memborong buku dengan harga yang jauh lebih murah dibanding dengan yang ada di toko-toko buku di Islamabad dan tentunya dengan kualitas yang lebih baik pula, bayangkan saja dengan modal 1500 rupes aku bisa mendapatkan setidaknya 4 kitab dengan kualitas kertas beirut. Tapi kali ini aku tidak lagi berdesak-desakan diatas wagon, karena aku, Roni dan Muslih sepakat patungan naik taxi dari kampus.