Senin, 31 Oktober 2011

Hizbu Tahrir Pakistan dan Pengaruhnya

oleh : Firman Arifandi

Pendahuluan

        Gerakan Hizbu Tahrir Pakistan adalah komunitas ideologis islamis yang posisi ideologinya berada di antara Politik Islam dan Islami Militan. Gerakan ini juga dapat diklasifikasikan sebagai Gerakan revolusioner Islam di Pakistan. dalam penerapanya, mereka menegaskan bahwa untuk kemakmuran, kemajuan, dan pembangunan harus diterapkan dengan sistem khilafat islamiyah di Pakistan. Hizbu Tahrir Pakistan (HTP) ini, memiliki pandangan anti konstitusi, anti demokrasi, dan dicurigai lebih condong kepada gerakan militan. Objek utama kelompok ini adalah tentara, pemuda akademisi, orang-orang birokrasi dan komunitas bisnismen untuk memenangkan simpatinya dan untuk menerapkan rencana sistem khilafahnya.

        Seperti halnya organisasi-organisasi Islam Pakistan pada umumnya, fokus utama kelompok mereka adalah untuk gerakan islamisasi total pada negara. Hal ini dirujuk kepada resolusi yang ditegaskan oleh majelis konstitusi pada tahun 1949 yang menyatakan bahwa umat Islam Pakistan berhak menjalankan kehidupan mereka sesuai ajaran syariat. Terlebih negara ini dideklarasikan sebagai Republik Islam Pakistan yang menurut pandangan mereka (HTP), bahwa syariat Islam adalah harus menjadi sistem dalam perundang-undangan Pakistan. Sejarahnya, Pakistan memang telah mengalami konflik keagamaan sejak masa kolonial bahkan hingga saat ini. Ketegangan sektarian makin mencuak muncul saat Pakistan secara jelas berkembang untuk menjadi negara sekuler.

Sejarah dan Gerakan HT di Pakistan

        Adalah Imtiaz Malik, seorang Pakistan kelahiran Inggris yang secara diam-diam memperkenalkan dan memimpin Hizbu Tahrir di Pakistan. Namun Naveed Butt juga dikenal sebagai tokoh HTP yang paling menonjol. Naveed adalah seorang sarjana lulusan University of illinois yang pernah aktif dalam gerakan Hizbu Tahrir di US, selama dia bekerja di Motorola Amerika. Selanjutnya, Imran Yousafzai. Adalah Seorang dari keturunan suku Pakhtun yang Juga merupakan orang terpenting dalam HTP sebagai wakil juru bicara. Dan ada juga shahzad seikh yang juga wakil juru bicara dan perekrut utama di wilayah Karachi. Imtiaz Malik mendirikan gerakan Hizbu Tahrir di pakistan secara informal pada awal tahun 1990-an. Pasca uji coba nuklir Pakistan pada tahun 1998, Hizbu Tahrir Inggris mengirim sedikitnya 10 anggota seniornya ke Pakistan untuk mendirikan cabang-cabangnya di seluruh penjuru kota besar di negara ini. Maka pada tahun 2000 organisasi ini resmi berdiri di bawah pimpinan Malik yang dipandu belakang layar oleh Dr. Abdul Wajid di Lahore dan Dr. Abdul basit saikh di Karachi. Kekuatan finansial juga datang dari HT Inggris. Pada saat berdirinya di Pakistan, HT meluncurkan kampanye publik di Lahore, Rawalpindhi, Peshawar dan Karachi. Kampanye ini difokuskan pada perlunya sebuah revolusi islam untuk berdirinya sistem khilafah. Konferensi tingkat nasional pertama, pada tahun 2003 di Lahore, telah berhasil menarik ribuan anggota dari kalangan pemuda. Kemudian, mereka secara diam-diam merekrut sejumlah perwira angkatan darat yang sebelumnya pernah menerima peatihan di Sandhrust, akademi militer elit Inggris. Gerakan ini kemudian diketahui oleh mantan presiden Musharaf pada tahun 2003, dan menangkap semua perwira terkait serta membubarkan gerakan organisasi ini. Namun, melalui pembelaan di Pengadilan tinggi lahore, mereka mengajukan banding. Namun petisi itu ditolak. Pada tahun 2006 HTP kembali mengajukan petisi untuk kembali berdirinya organisasi ini, namun lagi-lagi kasus ini tertunda.


Fokus Pergerakan
        Di pakistan, gerakan Hizbu Tahrir ini fokus kepada enam titik poin yang luas dalam konsep penegakan sistem khilafah, yaitu :

1. Reformasi ekonomi
2. Reformasi yudisial
3. Kebijakan luar negeri
4. Reformasi tata pemerintahan dan sistem administrasi versi khilafah
5. Keadilan sosial
6. Pendidikan

Sekilas Deskripsi dari agenda mereka di atas adalah berkisar tentang hak kuasa penuh pemimpin, sistem pendistribusian penghasilan antar masyarakat dari zakat, kharaj, dan pembentukan baitul mal, penegakan hukum dengan sistem syari’ah daripada sistem barat. Pembinaan masyarakat dan fokus terhadap pemerataan pendidikan juga menjadi agenda besar mereka. Sekalipun mereka menggunakan kata “reformasi”, namun indikasi yang muncul dari apa yang menjadi tujuan mereka bukanlah perubahan total namun terkesan pada gerakan penggulingan dan kudeta. Hal ini nampak dari jalan objek perekrutan mereka yang lebih mengutamakan perekrutan kepada pemuda, staf militer, orang-orang birokrasi, dan bisnismen. Juru bicara hizbu Tahrir di Pakistan menegaskan bahwa pihaknya mempunyai peta pergerakan yang jelas untuk mewujudkan sistem Khilafah yang akan melengserkan sistem demokrasi dan imperialistik. Pihaknya mengatakan bahwa tidak ada alternativ lain dalam mewujudkan persamaan sosial, persamaan hak edukasi dan sistem keadilan pemerintahan selain dengan jalan penegakan syariat islam menurut mereka. Dan seperti disebutkan sebelumnya bahwa politik HTP sebenarnya lebih menekankan pada proses penghapusan kerangka konstitusi dan sistem demokrasi perlementer yang eksis. Seminar yang diadakan pada tahun 2003 lalu di Peshawar, Lahore dan Islamabad berujung pada satu kesimpulan bahwa konstitusi Pakistan tidak islami. Selanjutnya mereka akan merumuskan sistem konstitusi versi khilafah.

Taktik dan Strategi

        strategi utama HTP adalah menumbuhkan daya tarik bagi masyarakat luas dan mencari dukungan sebanyak mungkin. Dalam lingkup strategi utama ini, mereka sedikitnya menggunakan dua taktik utama yaitu : melawan dan menentang sistem negara yang ada, dan yang kedua, hanya fokus mentargetkan pada kalangan terpelajar dan kalangan yang berpengaruh pada masyarakat seperti mahasiswa, kalangan akademisi, perwira militer, wartawan, pengacara, pengusaha, dan kepala-kepala institusi. HTP mengklaim bahwa dengan menggunakan segmen-segmen penting tersebut akan memberikan image positiv bagi masyarakat banyak dan tentunya akan menimbulkan kesadaran bagi pemerintah setempat. Namun pada kenyataanya, taktik ini adalah dalam rangka menggulingkan pemerintah yang sedang eksis dengan power yang mereka punya.

          Sementara itu, terkait relasinya dengan media. HTP berusaha merekrut sejumlah wartawan dengan doktrin-doktrin saktinya, kemudian menyebarkan sejumlah berita guna menumbuhkan opini positiv pada publik. Kampanye via sms pun sempat dilakukan HTP dalam rangka memperluas da’wahnya. Mereka juga merekrut orang-orang birokrat agar mempermudah pergerakan prosedural mereka.
        Tak hanya sampai di situ, HTP juga telah berhasil mentargetkan kalangan akademisi yang jelas-jelas kelak akan ditetaskan menjadi pegawai negeri sipil. Di Lahore Univeristy of Management science (LUMS) atau dikenal universitas ilmu manajemen Lahore, di sana mereka juga sempat mendirikan organisasi mahasiswa yang menelurkan doktrin pergerakan anti konstitusi. Tak hanya itu, HTP juga telah mendirikan lembaga-lembaga yang konsen pada pemberian bantuan pendidikan bagi masyarakat miskin. Juga memberikan kesempatan beasiswa bagi para pelajar untuk melanjutkan study nya di UK yang selanjutnya ditanamlah bagi mereka doktrin anti pemerintahan. Selebihnya, mereka juga berhasil menempatkan sejumlah dosen di beberapa perguruan tinggi terkemuka di seantero Pakistan termasuk di International Islamic University serta membentuk organisasi mahasiswa berbasis ideologi mereka. Hampir sulit membedakan organisasi-organisasi islam mahasiswa dengan organisasi yang dibentuk HTP. Namun hal ini bisa diketahui dari tuntutan yang mereka serukan dari organisasi mereka, sebut saja Jamaat e Islami yang juga menyerukan kepada pembentukan syariat Islam di pakistan, namun mereka tidak condong pada gerakan kudeta.
        Dalam segi publikasi dan media cetak, mereka juga terlihat lihai. Tak jarang setelah shalat jumat mereka menyebar pamflet di luar masjid yang isinya adalah ajakan untuk gerakan support penegakan khilafah. Hal ini lebih sering kita temui hingga saat ini. Kelompok ini bahkan berani melakukan kampanye dari rumah ke rumah, menyebarkan buklet yang kadang isinya hingga 10 halaman berisi penjelasan serupa namun lebih detail dari pamflet jumat. Terkadang mereka juga menyuruh kalangan buta huruf untuk memasang poster dan membagikan pamflet. Terbukti, pada tahun 2008 di Karachi. Polisi menangkap pemuda berusia 14 dan 15 tahun yang sedang memasang poster HTP. Mereka sama sekali tidak paham karena mereka hanya disuruh dan kemudian diberi upah sebesar 200 rupes saja. HTP juga menerbitkan majalah bulanan yang bernama “khilafah” yang sempat dilarang untuk dipublikasikan kaena melanggar hukum publikasi.

Pelatihan dan even lainya
        Menurut penuturan anggota HTP, pelatihan anggota baru membutuhkan waktu dari 3 hingga enam bulan. Step pertama adalah langkah pembentukan karakteristik dan pembangunan potensi diri yang berguna bagi organisasi, serta pembentukan keyakinan pada gerakan merealisasikan sistem khilafah. Ketika semuanya sudah siap, maka proses pelatihanpun dimulai. Lima hingga enam anggota lama melakukan pendekatan kepada anggota baru. Tahap pertama dari pelatihan ini adalah pengoreksian terhadap akidah mereka, pembelajaran akidah salafiyah. Yang intinya mereka dicetak untuk menjadi salafisme. Tahap ke dua, mengajarkan inti HT, serta strategi da’wah mereka. Dalam hal ini mereka diajarkan bagaimana memberikan doktrin dan cara mempengaruhi lawan bicara mereka. Pada fase terakhir mereka difokuskan untuk praktek langsung baik dalam internal organisasi ataupun bergerak mengajak diskusi orang-orang sekitarnya dan berupaya memberi pengaruh untuk menarik mereka masuk ke organisasi ini. Dengan demikian pelatihan ini bisa dikatakan sebagai proses berantai. HTP juga mengatur jadwal study mingguan anggotanya dan untuk aktivis baru.
        Sejak pelarangan pada tahun 2003, lingkar study mingguan yang seringkali diadakan di masjid dan restoran ini kemudian berpindah ke tempat tinggal anggota dengan alsan keamanan. Mereka sedikit mengubah modus operasinya untuk mempertahankan penyebaranya. Metode lainpun mereka gunakan, mereka lebih gencar menggelar diskusi umum di kampus-kampus, mengadakan seminar di gedung pertemuan publik, hingga dengan demikian menanamkan ideologi HT bagi segenap kalangan masyarakat.
        Dalam setiap perayaan hari besar Islam, mereka kerap mengadakan acara pidato akbar yang tanpa menggunakan simbol mereka namun dengan pesan yang serupa seperti yang menjadi tujuan dasar mereka. Nampak dari pidato mereka, kelompok ini mengajak kepada seruan berdirinya khilafah islamayah dan tak jarang menyerukan agar pihak Militer pakistan mendukung aksi perubahan total sistem konstitusi.
Dampak HT di Pakistan

        Wacana religio-politik HT di Pakistan akan dapat membentuk ancaman keamanan pada Pakistan pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Pada kenyataanya campur aduk ideologi agama dan politik yang ditanamkan HT, dapat menghilangkan wacana Islam sendiri pada prakteknya. HTP mengklaim bahwa pihaknya tidak termasuk pada gerakan kekerasan, militan, dan bukan gerakan radikal. Namun pada beberapa kasus, mereka sempat terlibat dalam sejumlah praktek teror. Termasuk diantaranya upaya pembunuhan mantan presiden Musharaf.
        Ada beberapa faktor yang menunjukan bahwa HTP berpotensi terhadap ancaman keamanan di Pakistan. Pertama, asosiasi pemuda dibawah HTP mungkin saja terlibat dalam gerakan aksi teror. Kedua, HTP sama sekali tidak menunjukan bahwa pihaknya mencela aksi teror, berbeda dengan organisasi Islam lainya yang kadang dengan tegas di depan media menunjukan sikap dan kutukan terhadap sejumlah aksi teror di Pakistan. ketiga, seperti yang pernah diungkapkan Majid nawaz, seorang anggota HTP. Menurut penuturanya, HTP tidak menutup kemungkinan melakukan aksi kekerasan melalui anggotanya di militer, hal ini mereka halalkan guna mencapai tujuan akhir organisasi tersebut. Naveed Butt menyatakan bahwa setelah berdirinya khilafah di Pakistan kelak, dia akan menggencarkan misinya hingga ke luar perbatasan dengan serangan agresiv yang menurut istilah mereka adalah “ofensiv jihad”. Dengan kata lain, HTP telah membanarkan jalan perang dan bahkan teror guna mencapai tujuan mereka, menyebarkan ideologi mereka ke negara tetangga sekalipun. Beberap fakta menyebutkan bahwa sejumlah kegiatan perencanaan kudeta di Pakistan seringkali di lakukan oleh anggota HTP di dalamnya. Dalam sebuah pengadilan militer di Kashmir pada tahun 2010, dua perwira militer dan dua warga sipil yang terdakwa sebagai pelaku perencanaan penyerangan Shamsi Airbase milik angkatan udara Pakistan di Balochistan. Keempat tersangka diidentifikasi sebagai anggota Hizbu Tahrir Pakistan. Kelompok ini juga menjalin hubunganya dengan Mayor Jenderal Zahiir Abbasi, tedakwa utama dalam kudeta militer pada tahun 1995. Kemudian, 5 hari pasca penyerangan ke persembunyian Osama Bin Laden oleh US pada 2 mei 2011 lalu, seorang brigadir jenderal bernama Ali Khan juga tertangkap dan disinyalir mempunyai relasi dengan Hizbu Tahrir pakistan, yang baru-baru ini dijustifikasi sebagai salah satu gerakan ekstrimis.

Kongklusi

Dengan berfokus pada tokoh elit dan militer, HTP berusaha mencapai ambisinya dengan menempatkan wacana Islam (versi mereka) dan menyingkirkan elemen negara yang eksis saat ini. Sejauh ini, kebanyakan analis lebih cenderung konsen pada pergerakan madrasah-madrasah di Pakistan dalam menyoroti tanda-tanda pergerakan radikalisasi. Padahal, pada hakikatnya gerakan diam-diam HTP juga tak kalah lebih bahaya dibandingkan kelompok ekstrimis lainya. Mereka menggunakan orang-oranag dari kalangan akademisi, militer dan tokoh penting negara yang merupakan elemen terpenting di Pakistan dan ini dapat melemhakan pertahanan negara. Terbukti, tak sedikit dari gerakan teror yang ternyata ada campur tangan mereka di dalamnya. HTP memiliki potensi untuk memegang kekukatan negara, yang berimbas pada ancaman keamanan di Pakistan.

Nasib Perempuan Pakistan

Muladi Mughni



Secara umum bagi orang yang pernah berkunjung ke pakistan, apalagi sempat tinggal di negeri ini, akan terlihat bahwa pada sektor-sektor publik banyak didominasi oleh kaum lelaki ketimbang perempuan. Siapapun saja yang baru pertama kali singgah di negeri ini akan memiliki kesimpulan yang serupa. Baik apakah ia bekerja sebagai seorang pejabat pemerintahan, pengusaha, pekerja di perusahaan swasta (NGO), ataupun pelajar dan mahasiswa, kesan di atas selalu muncul di benak mereka. Kalau pun perempuan ada, sebatas pada pelayanan yang sifatnya khusus bagi kalangannya sendiri (baca; perempuan).
Kondisi minimnya kiprah perempuan dalam sektor-sektor publik ini, tidak saja sering kita jumpai dalam dunia birokrasi yang meniscayakan adanya interaksi antara pejabat yang bersangkutan dengan masyarakat, akan tetapi juga sampai pada tataran keseharian hidup seperti pelayanan toko, rumah makan, swalayan, penjaga loket karcis angkutan/tol, resepsionis hotel, dan lain-lain. Semua sektor-sektor kecil ini pun perempuan di pakistan -umumnya- sangat jarang mau mendudukinya, atau tepatnya barangkali “tidak diberikan kesempatan” untuk menjalankannya.
Ada asumsi yang seolah telah menjadi mind-sett masyarakat umumnya di sini, bahwa selama kaum lelaki masih dapat melakukan tugas-tugas publik tersebut, maka lebih baik kaum perempuan menjadi pihak yang dilayani. Sebenarnya hal ini bukan suatu ketentuan yang tertulis, akan tetapi bisa berupa refleksi dari pola budaya yang telah sedemikian mengakar dan lama dalam praktik kehidupan masyarakat di sini yang dalam lingkup terkecil “keluarga” kaum lelaki selalu tampil bertanggung jawab menanggung kebutuhan seluruh anggotanya termasuk yang perempuan. Bidang-bidang kalangan yang dianggap “lemah” seperti anak-anak kecil dan perempuan (sekalipun boleh jadi perempuan itu lebih terdidik dari yang lelakinya) hanya dibatasi pada ruang privat dan keperluan domestik saja, seperti menjaga anak, memasak, membersihkan rumah, melayani suami, dan terkadang harus siap untuk dikawinpaksa.[1]
Sekalipun praktik seperti ini sedikit demi sedikit hampir hilang dalam struktur masyarakat perkotaan yang lebih terdidik secara modern. Hal ini sangat wajar karena suka tidak suka tingkat kesenjangan sosial-ekonomi di Pakistan cukup tinggi. Di satu sisi terdapat kalangan tuan tanah, saudagar atau pengusaha yang super miliuner yang kadang memiliki dua warga kenegaraan (Pakistan-Inggris; misalnya), akses pendidikan anak-anaknya pun lebih dipilih luar negeri, dan di sisi lain, kalangan masyarakat bawah (super miskin) yang banyak tinggal di daerah-daerah pedalaman yang tidak memiliki akses fasilitas apa pun dari negara. Jangankan akses pendidikan, sarana transportasi, komunikasi serta penerangan saja juga sulit didapat. Kelompok masyarakat yang ke dua inilah yang sesungguhnya banyak terdapat di pakistan. Adanya gap yang cukup tajam ini merupakan satu kendala tersendiri bagi Pakistan untuk melakukan sebuah terobosan-terobasan baru dalam modernisasi pada berbagai bidang, khususnya penggiatan kiprah perempuan dalam sektor-sektor publik. Di mana, dalam struktur masyarakat bawah yang disebut tadi, yang lebih berperan kemudian adalah kebijakan-kebijakan “alamiah” atau kebijakan yang lazim diterapkan dalam suku (kabilah), di mana dalam satu kampung atau desa penduduknya harus tunduk pada satu aturan kepala-kepala suku yang disebut dengan “Jirga”.[2]
Jirga inilah yang banyak memiliki peran sentral dalam struktur masyarakat di pedalaman Pakistan. Pemerintah daerah secara de jure bisa ada, dan bisa pula tidak ada.[3] Sekalipun ada, keberadaannya hanya sebatas formalitas saja, pada tataran praktiknya Jirga inilah yang lebih memiliki pengaruh dalam sistem sosial di sana, dan bahkan dalam mengambil setiap tindakan, pemerintahan formal harus terlebih dahulu berkonsultasi, atau tepatnya “mendapatkan restu” dari Jirga ini.
Selayaknya hukum kesukuan, tentu lagi-lagi perempuan tidak akan pernah dilibatkan dalam bermusyawarah, apalagi dalam penentuan setiap kebijakan tertentu. Dominasi lelaki sangat menonjol dalam sistem Jirga ini. Lagi-lagi ini merupakan satu setting budaya yang telah lama mengakar dalam sistem sosial di Pakistan. Dan dalam batas tertentu pun masih terdapat di negara kita (Indonesia) dan negara-negara Arab yang masih kuat memegang kesukuannya, seperti Yaman, Arab Saudi, Irak, dan Libia.
Demikianlah cara pandang umumnya masyarakat pakistan terhadap perempuan, faktor budaya patriarki masih sangat kuat terasa; yaitu pandangan perempuan tidak patut disertakan dalam urusan-urusan sosial, mereka akan lebih bermartabat jika memilih mengurus rumah ketimbang rajin bersekolah, dan lain-lain. Di samping itu faktor pandangan sempit keagamaan juga mempengaruhi implikasi subordinasi peran perempuan dalam negara ini. Pandangan sempit keagamaan yang dimaksud adalah, masih banyaknya anggapan bahwa perempuan adalah sekelompok orang yang harus ditutup rapat, dan tidak boleh dilihat oleh orang lain yang bukan muhrim (kerabatnya). Sehingga dari pandangan sempit inilah diantaranya muncul larangan-larangan atas nama agama untuk mengkarantinakan perempuan dengan dalih agar kesuciannya tetap terjaga. Padahal apakah benar agama Islam bertindak sedemikian keras terhadap perempuan ?, maka jangan sampai pemahaman yang sempit kita jadikan alasan untuk mengebiri peran sosial perempuan atas alasan agama.


________________________________________
[1] Di Pakistan praktik kawin paksa orang tua terhadap anak perempuannya sudah menjadi hal yang lumrah, khususnya masyarakat pedalaman yang masih sangat konservatif untuk menyelesaikan pertikain antar keluarga. Ada pula tradisi “perkawinan dengan kitab suci al-Quran" yaitu praktik perkawinan yang memaksa seorang perempuan untuk bersumpah di bawah kitab suci al-Quran untuk tidak menikah. Praktik ini dilakukan untuk mencegah agar perempuan yang bersangkutan tidak mendapatkan hak warisnya.(baca: Liga Muslim Pakistan Gulirkan RUU Larangan Kawin Paksa terhadap Perempuan di Pakistan, www.eramuslim.com, Rabu, 14 Peb 07). Sekarang Undang-undang ini telah disahkan.
[2] Jirga adalah: perkumpulan dari beberapa kepala suku yang ada dalam suatu kampung atau daerah yang fungsinya tak kurang dari sebagai badan penyelesaian masalah atau sengketa, seperti keputusan perang, damai, dan masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi pada kawasan kekuasaan kepala-kepala suku tersebut. Lihat: (Emma Duncam, Breaking the Curfew; a Political Journey Through Pakistan, Arrow Book, edisi 1, 1990, hlm. 149).
[3] Pemerintahan daerah memiliki sistem arbitrasi di daerah-daerah suku (tribal area) yang dinamakan dengan Frontier Crime Regulation (FCR). Namun pada praktiknya sistem ini kurang mendapatkan sambutan dari masyarakat suku, mereka lebih sreg menggunakan Jirga, karena selain birokrasi FCR yang cenderung berbelit-belit, juga sistemnya yang dianggap ‘tidak demokratis’ karena tidak melibatkan semua rakyat tetapi hanya pada pihak-pihak yang terkait saja.