Selasa, 29 Maret 2016

Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum

Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya
Oleh : Firman Arifandi, LLB[1]
PENDAHULUAN
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang dipandang esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah aqidah dan akhlaq, polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau, hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para ulama yang tidak menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat dari tiap kalangan. Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa fiqih mengalami  evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga  munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum. 

KETIKA GONTOR (KATANYA) WAHABI

refleksi ini ditulis dari hasil obrolan saya dengan kawan dekat. dalam obrolan itu beliau menyayangkan bbrpa alumni gontor di sudan yg pemikiranya mudah ikut arus pemikiran kelompok salafi wahabi yg keras, pulang2 ke indo jadi tokoh da'i wahabi yg sedikit2 teriak haram, bid'ah, kafir.
dia bertanya, gontor emangnya bermanhaj seperti apa? kenapa kok bnyak saya lihat yg pemikirannya keras?