Minggu, 17 September 2017

Dilema Dzikir Berjamaah Setelah Shalat


“yang berjamaah itu cukup shalatnya, bukan dzikirnya, dzikirnya itu cukup baca sendiri mas, tidak perlu bersuara!” gertak salah satu jamaah pada maghrib itu di musholla.

“lah anda kalau tidak suka dzikir ya jangan sholat di sini aja sekalian, diajak bersatu kok bengok-bengok” jawab mas Adi , salah satu pengurus musholla tersebut.

Melihat pertengkaran kedua belah pihak tersebut Kang Dul yang dipandang sebagai orang tau agama di desa mencoba menengahi sambil mempelajari duduk perkaranya.

“Ada apa kok di masjid bertengkar? Sini duduk dulu, kalau pakai diskusi santai kan enak” kata kang Dul, saya yang dari tadi menemani kang Dul ikutan duduk

“Begini kang, tadi di tengah-tengah kita dzikiran habis shalat maghrib, mas ini tiba-tiba berdiri sambil teriak kalau perbuatan kita ini tidak ada dalilnya, ya saya jawab aja kalau dia yang ga pernah baca hadist kok sok-sokan bilang amaliyah kita ini gak berdalil” jawab mas Adi

“bohong kang kalau saya tidak tau dalilnya, jelas-jelas dalam Quran itu dikatakan agar nabi Muhammad berdoa dan berdzikir dengan suara yang lirih, ini malah mengada-ada dengan mengangkat suara” jawab pemuda itu penuh semangat.

“baik, kalau diperkenankan saya akan mengomentari masing-masing dari dalil dari anda berdua ya, insyaAllah dalil-dalilnya anda berdua ini sohih semua”

“ah mana mungkin kang ada dalil sohih yang membolehkan dzikir secara berjamaah” potong pemuda itu.

“makanya izinkan saya memaparkan dulu ya sambil menunggu waktu isya tiba. Jadi begini, kelompok yang semangat menggelar dzikir berjamaah itu punya landasan sebagai berikut:
1.      Keumuman dalil dari surat Al Ahzab ayat 56 yang bunyinya:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٥٦)

 Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Al Ahzab: 56)

2.   أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَقُولُ اللَّهُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ»
     وَالذِّكْرُ فِي الْمَلَأِ لَا يَكُونُ إِلَّا عَنْ جَهْرٍ.

Diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah : Rasulullah Sallallah Alaihi wasallam  bersabda : Allah Berkata : “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.” (HR. Bukhari)
al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah kemudian berkomentar: “Dan bukankah berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain hanya dilaksanakan secara jahr.”

3.   أَخْرَجَ الْبَزَّارُ، والحاكم فِي الْمُسْتَدْرَكِ وَصَحَّحَهُ عَنْ جابر قَالَ: «خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ لِلَّهِ سَرَايَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ تَحُلُّ وَتَقِفُ عَلَى مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْأَرْضِ، فَارْتَعُوا فِي رِيَاضِ الْجَنَّةِ "، قَالُوا: وَأَيْنَ رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: " مَجَالِسُ الذِّكْرِ، فَاغْدُوَا وَرُوحُوا فِي ذِكْرِ اللَّهِ

Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda: Majlis-majlis dzikr, sebaiknya kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang. (HR Al Hakim)

4.    أَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya. (HR Muslim)

Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis dzikir dan kelebihan orang-orang yang berdzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berdzikir beramai-ramai.

5.   أَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ عَنْ معاوية «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا يُجْلِسُكُمْ؟ قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ، فَقَالَ: إِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ»
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda: “Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.” (HR Muslim, Tirmidzi)

أَخْرَجَ الشَّيْخَانِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِنَّ رَفْعَ الصَّوْت بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah atas persetujuan dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku selalu mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.” (HR Muttafaqun ‘alaih)

Dan masih ada sekitar 21 hadist lain yang menjadi landasan kelompok yang membolehkan tahlilan atau dzikir berjamaah dengan mengangkat suara. Dalil-dalil tersebut dapat ditemui di kitab-kitab fatawa seperti di kitab karangan imam Ibnu hajar al-haitami dalam al-fatawa al fiqhiyyah al kubro, atau di kitab al hawi lil fatawi karangan imam as-Suyuthi rahimahumallah.

Kemudian, kelompok yang melarang dzikir dengan suara yang tinggi dan berjamaah menggunakan dalil berikut:


1.   قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ} [الأعراف: 205]
Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS. Al-A’raf : 205]
2.   وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا [الإسراء: 110[
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110)

3.   فَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ} [الأعراف: 55]
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

4.   كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“nah itu semua masing-masing dalilnya sama-sama kuat, shahih, dan bisa dijadikan landasan” ujar kang Dul.

“wah berarti ada dalil-dalil yang saling bertentangan dong kang?” tanya mas Adi

“ndak pernah ada” jawabnya singkat

“tapi kalau pro dan kontra masing-masing dalilnya ada dan sohih bagaimana kesimpulan hukumnya kang?” tanya pemuda yang anti dzikir tadi.

“nah, disinilah peran para ulama mujtahid mencari kesimpulan hukum dengan metode yang telah mereka gagas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Bila ada dalil-dalil yang terasa kontradiktif, maka dilacak masing-masing dalil tersebut apakah ada unsur nasikh atau mansukh, jika ditemukan, maka dalil nasikh diambil sebagai pedoman dan yang mansukh ditinggalkan. Apabila tidak ditemukan nasikh mansukh, maka menggunakan metode tarjih di antara keduanya, mana yeng lebih rajih itulah yang diambil. Namun bila juga tidak bisa ditemukan dengan metode tersebut, maka yang dilakukan selanjutnya adalah metode al jam’u wa-t-tawfiq, yakni menggabungkan kedua dalil kontradiktif tersebut dan mengamalkannya bersamaan dalam kondisi tersendiri, dan sepertinya metode ini cocok dilakukan pada kasus dalil pro dan kontra dzikir berjamaah, karena semuanya sama-sama kuat”

“jadi seperti apa itu kang?” tanya si mas-mas anti dzikir tadi

“begini, menanggapi dalil yang diangkat golongan yang anti dzikir berjamaah, imam as-Suyuthi dalam kitab AL hawi lil fatawi mengatakan bahwa ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad melirihkan suara saat berdoa adalah ayat makkiyah, maksudnya ayat tersebut turun di Mekah. maka ada unsur kehati-hatian dalam hal tersebut. apa mungkin di awal-awal dakwah nabi, yang mana semua orang mencurigainya hingga nyawanya terancam, beliau berdoa dengan suara yang lantang? Itu sama saja seperti setor nyawa.

Selanjutnya pada hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang larangan nabi kepada sahabat untuk bertakbir dan berdoa keras-keras ketika tiba di lembah karena Allah tidak tuli kata kanjeng nabi, maka imam Ibnu Hajar Al Asqollani dalam kitab Fathul bari menjelaskan bahwa larangan tersebut karena sebenarnya mereka sedang dalam perjalanan perang, sehingga perlu keberhati-hatian dalam segala tindakan bahkan hingga kepada dzikir, adapun terkait dzikir berjamaah dengan suara yang keras maka imam Ibnu Hajar Al Asqallani mengambil kuat hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa rasulullah membolehkannya.

Dari sini, bisa kita amalkan kedua dalil kalian dengan kondisi-kondisi sebagaimana berikut:
  1.  Dzikir berjamaah boleh dilakukan seusai shalat fardlu apabila dalam kondisi normal tidak ada ancaman.
  2.  Dilarang berdzikir dan berdoa dengan suara yang kencang apabila mengganggu jamaah lain yang sedang shalat, atau sedang dalam keadaan terancam, seperti pada kaum muslim minoritas yang terancam nyawanya bila melakukan ibadah terang-terangan.
  3. Berdoa dianjurkan dengan suara yang pelan atau dalam hati apabila doanya adalah untuk kepentingan diri sendiri, seperti doa minta jodoh, kebaikan rizqi, dan lain-lain, sementara doa yang redaksinya adalah untuk jamaah maka boleh disuarakan dengan keras oleh imam.


“sudah jelas ya mas-mas sekalian, jadi kalau ada ikhtilaf ndak perlu bengok-bengok, apalagi kalau yang diperdebatkan di luar kapasitas kita” ujar kang Dul

“kalau saya tidak mau ikut dzikirannya gimana kang” tanya mas tadi

“silahkan keluar dari barisan dengan tertib dan tidak perlu menghardik orang-orang yang berdzikir, karena yang tidak suka muslimin berdzikir itu hanya setan” senyum kang Dul

Akhirnya majlis itupun bubar beriringan dengan dikumandangkannya Adzan Isya.






Selasa, 15 Agustus 2017

Pertanyaan Seputar Qurban dan Sembelihan


Dirangkum oleh: H. Firman Arifandi, LL.B., LL.M.

Qurban yang merupakan Ibadah dimana prakteknya adalah dengan menyembelih hewan ternyata tidak sesimpel yang kita kira, ada banyak pertanyaan yang muncul terkait teknis dan hukum-hukumnya. Berikut kami coba rangkum pertanyaan-pertanyaan tersebut beserta jawabannya dengan menukil dalil dan fatwa para ulama.
1.       Bolehkah Menjual Kulit Hewan Qurban Untuk Upah Panitia?
Dalam hal ini ada dua hadist yang menjadi landasan, yakni hadist tentang ketidakbolehan memberi upah kepada panitia dari daging Qurban dan hadist larangan menjual kulit Qurban. Berikut redaksi kedua hadist tersebut:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا»، قَالَ: «نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا»
Dari Ali RA berkata: Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim dan Bukhori)
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim)

Lantas apakah Panitia tidak Boleh Menerima Jatah Daging?
Dalil di atas hanya melarang mengupah panitia dari daging qurban, adapun jatah daging, tentu panitia boleh menerima seperti jatah para mustahiq. Upah panitia bisa diambil dari kas masjid atau dari kantong orang yang berqurban.
Terkait menjual kulit Qurban, sebenarnya ulama berbeda pendapat:
1.       Mayoritas Ulama berpendapat dilarang menjualnya dengan dalil dari hadist yang tersebut di atas, dan pendapat ini dianggap lebih kuat dalam kitab-kitab fiqih.
2.       Pendapat Abu hanifah membolehkan menjual daging, kulit, ataupun rambut hewan qurban dengan sistem barter dan tidak dengan uang.
3.       Pendapat terakhir membolehkan penjualan kulit qurban secara mutlak, ini adalah pendapat Abu Tsaur dan Hasan al bashri.
Menyikapi kebiasaan panitia yang mengumpulkan kulit qurban kemudian menjualnya untuk kepentingan kepanitiaan selayaknya diganti dengan siasat lain. Kulit qurban hendaknya diserahkan kepada fakir miskin atau yayasan sosial sehingga mereka bisa memanfaatkannya untuk keperluan finansial mereka. Jika mustahiq ingin menjualnya maka itu sudah menjadi haknya, demikian disebutkan dalam kitab bughyatul mustarsyidin. Sementara sohibul qurban dan panitia tidak berhak untuk intervensi dengan hasil penjualannya.
2.       Apakah Boleh Qurban atas Nama Orang yang Sudah Wafat?
Berikut pendapat dari tiap madzhab:
Syafi’iyah: Ulama dari madzhab ini belum satu kata terkait kebolehannya. Imam An-Nawawi dan Abu Hasan Al-Abbadi termasuk yang membolehkan hal ini dengan mengqiyaskan kepada kebolehan sodaqoh atas nama ahli kubur. Sementara ulama yang lain berpendapat tidak boleh kecuali sebelumnya telah diwasiatkan untuk berqurban atas namanya.
Hanabilah dan Hanafiyah: kedua madzhab ini membolehkan secara mutlak bila seseorang ingin berqurban atas nama orang yang sudah wafat. Dalil yang digunakannya adalah hadist dimana seorang sahabat menghajikan orang tuanya yang telah wafat.
Malikiyah: Madzhab ini berpendapat boleh, namun dengan status karahiyah (dibenci).
3.       Bolehkah Memasak Daging Qurban Untuk Konsumsi Panitia?
Jika setelah melakukan penyembelihan daging-daging tidak langsung dibagikan kepada orang-orang, tapi langsung diambil beberapa untuk dimakan oleh panitia saja, maka ini hitungannya sama seperti mengupah panitia dari daging qurban dan hukumnya diharamkan. Namun, bila konteksnya adalah memasak daging dan mempersilahkan para hadirin yang menyaksikan sembelihan baik dia panitia, sohibul qurban, tamu, ataupun calon mustahiq untuk ikut menyantap hidangan tanpa ada pengkhususan kepada panitia maka hukumnya boleh, karena memang di situlah esensi dari idul adha.
Wajib untuk difahami, bahwa panitia qurban tidak sama dengan amil zakat yang berhak juga atas zakat tersebut. maka jika panitia memakan daging qurban dan mendapatkan jatah satu plastik daging qurban seperti para mustahiq, itu sah bila memang di luar upah dan bukan sebagai upah, status penerimaanya bukan sebagai panitia tapi masyarakat dan lagi-lagi bukan sebagai. Upah untuk panitia dan jagal tetaplah wajib karena rasulullah sendiri juga mengupah jagal, namun dari kantongnya sendiri.
4.       Bos Kantor Adalah Non-Muslim, Bolehkah Ikut Berqurban sapi?
Bila bosnya adalah orang non-muslim dari agama ahli kitab( nasrani atau yahudi) menurut mayoritas ulama sumbangan sapinya diterima, sembelihannya sah dimakan. Sebagaimana disebutkan dalam surat AL-Maidah ayat 5 bahwa sembelihan ahli kitab boleh dimakan. Namun statusnya bukan sebagai hewan qurban tapi sebagai pemberian.
5.       Bolehkah non-muslim menerima daging qurban?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
a.       Boleh: menurut madzhab Hanafi, imam Hasan al Bashri, imam Laits, Abu Tsaur dan Ibnu Qudamah dari Hanabilah hukumnya boleh. Dalilnya kehalalan sembelihan kita untuk ahli kitab dalam surat al maidah ayat 5
b.      Makruh : ini menurut pandangan Malikiyah, karena harus diutamakan berbagi kepada muslim terlebih dahulu secara merata.
c.       Boleh untuk qurban sunnah dan haram untuk qurban wajib: qurban wajib adalah jenis qurban yang dilakukan karena nadzar, selain yang dinadzarkan maka masuknya adalah sunnah. Maka jika yang dibagikan adalah daging qurban yang sunnah menurut madzhab syafi’I hukumnya boleh, tapi tidak bagi yang wajib.

6.       Jika menyembelih hewan yang cacat asli hukumnya adalah haram, bagaimana jika hewan itu cacat karena tabrakan, jatuh, atau kecelakaan sesaat sebelum disembelih?

Dalam tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas dalam mengomentari surat AL Maidah ayat 3 menerangkan bahwa hewan dengan kondisi jatuh, luka, diterkam binatang buas, dan lain sebagainya masih bernyawa dan menggerak-gerakkan badannya meski sudah lumpuh, maka hukumnya masih halal untuk disembelih, dan tidak dianggap sebagai bangkai.

7.       Hukum Arisan Qurban atau Arisan yang lainnya, dan apa perbedaan arisan dengan judi, karena keduanya sama-sama diundi
Arisan jika tidak ada unsur gharar, tidak ada riba dan fair maka secara pandangan syariat hukumnya sah dan boleh. Yang membedakan antara arisan dengan judi adalah:
a.       Dalam judi ada unsur mengambil hak orang lain secara dzhalim, berbeda dengan arisan yang semuanya sama-sama ridha.
b.      Dalam judi Ada unsur ingin unggul dan mengecoh musuhnya, sementara dalam arisan yang ada justru unsur ta’awun, yakni saling membantu dan meringankan beban.
c.       Dalam judi ada kesempatan menang berulang kali dan kalah berulang kali, dalam arisan setiap individu akan merasakan menang semuanya sesuai urutan hingga akhir putaran dan tidak ada yang dirugikan.
d.      Jumlah premi yang dikumpulkan dalam judi bisa berbeda-beda, dalam arisan selalu stabil nominalnya dari awal sampai akhir.
e.      Judi cenderung menimbulkan permusuhan, arisan justru cenderung memperkuat ukhuwah.