Minggu, 18 Oktober 2015

Qawaid al Fiqhiyah Sebagai Islamic Legal Maxim Dalam Tinjauan sejarah


Oleh : Firman Arifandi, LLB

BAB I PENDAHULUAN
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang dipandang esensial keberadaanya. Dibandingkan masalah aqidah dan akhlak, polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau, hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para ulama yang tidak menutup kemungkinan memuncul perbedaan pendapat dari tiap kalangan. Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa fiqih mengalami  evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga  munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum. 

Sabtu, 12 September 2015

Pendapat Para Ulama tentang Oral Sex

Oleh : Firman Arifandi, BA, LLB[1]
Islam merupakan agama ilmu, yang semua komponen penunjangnya baik berupa ibadah, muamalah, muasyaroh, hingga pada interaksi sosial kemanusiaan diatur tertib dan berlandaskan pengetahuan. Shalat yang merupakan Ibadah utama, tak sembarangan bagi umat muslim untuk melaksanakannya bahkan tak bisa meninggalkannya selama nyawa masih dikandung badan, ada regulasi, ketentuan waktu, dan tata cara melakukannya bahkan hingga pada si sakit yang tidak bisa bergerak sekalipun. Zakat yang merupakan ibadah harta bertujuan untuk meringankan beban orang lain yang butuh, tak sembarangan pula didistrubisakan, ada ketentuan nisab dan haul sehingga zakat boleh dikeluarkan, serta delapan golongan khusus yang berhak menerima zakat. Dari contoh ini saja, maka segala jenis ibadah dalam implementasinya musti berlandaskan pengetahuan, dan setiap hamba diberikan tugas untuk mencari tahu landasan tersebut baik dari sumber nushus yaitu al-Quran dan sunnah, ataupun melalui ijma’ ulama dan qiyas, serta bagi orang yang awam diwajibkan bertanya kepada ulama dan mengikuti fatwanya.

Jumat, 21 Agustus 2015

Meggugurkan Kandungan Dari Hasil Pemerkosaan Sebuah Pandangan Syariah

Menggugurkan Kandungan Dari Hasil Pemerkosaan
Sebuah Pandangan Syariah
Oleh : Firman Arifandi, LLB
(disampaikan dalam Bahtsul Masail semester II PCINU Pakistan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
                Istilah aborsi atau menggugurkan kandungan belakangan ini kerap menjadi buah bibir di banyak kalangan, bahkan seolah menjadi trend pemuda masa kini yang kental dengan pergaulan bebasnya. Pada prinsipnya, agama Islam  sendiri telah mempunyai aturan paten dalam menjaga nasab yang merupakan tujuan esensial dari eksistensi syariah itu sendiri, adapun tujuan-tersebut terdiri dari : menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan dan nasab, dan menjaga harta benda. Maka berdasarkan pada kelima hal prinsipil itulah berdiri konsekuensi-konsekuensi atas pelanggarnya, baik berupa hudud, qishas, ataupun ta’zir.
                Pada konteks pembahasan dalam tema kita, setidaknya dua tujuan esensial atau maqashid syariah telah dijadikan objek utamanya, yaitu tujuan menjaga jiwa dan menjaga nasab. Dalam praktek aborsi secara umum, jiwa sang janin yang mempunyai hak untuk bernyawa dan hidup di dunia telah terancam, ini berarti telah menyimpang dari maqashid ke dua yaitu jiwa sekaligus ke empat yaitu nasab.

Pesantren dalam Counter Pemikiran Postmodernisme

Pesantren dalam Counter Pemikiran Postmodernisme[1]
Oleh : Firman Arifandi, BA., LLB.
Pendahuluan
Wacana Westernisasi agama yang berkembang melalui bungkus modernisme dengan konten sekulersime, rasionalisme, dan dikotomisme dianggap telah gagal mewarnai pemikiran dunia Islam. Kemudian terjadilah dekonstruksi terhadap paradigma modernisme dengan label anyar berjudul postmodernisme yang mengusung nilai-nilai baru berupa pluralisme agama, liberalisasi, dan relativisme yang notabene mengangkat wacana sosial dan kemudian dikorelasikan pada lini keagamaan, sehingga diharapkan mampu mengkritik tajam hukum Islam serta menciptakan formulasi baru dalam hukum agama Allah ini.
Postmodernisme masuk seiring dengan benturan arus peradaban barat dan globalisasi, hingga pemikiran yang konservatif kemudian pelan-pelan tak lagi dilirik. Teori relativisme perlahan mengikis corak-corak tradisionalisme dengan menghadirkan kecenderungan kritik terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam konteks relativitas ini, kelompok feminisme dengan menggadang wacana sosialnya kemudian datang menuntut kesetaraan gender (gender equality) dalam segala konstruksi kehidupan.

Dari Kesetaraan Gender Menuju Disfungsi Rambu-Rambu Maqashid Syariah

Oleh : Firman Arifandi, LLB
A.   Pendahuluan
             Masuknya paham modernis yang diusung dari barat tak jarang kita temukan produknya di tanah air. Salah satunya adalah ideologi feminisme yang kemudian dileburkan dalam paham kesetaraan gender. Hal ini merupakan tren baru di Indonesia bahkan di dunia, yang ternyata tak sedikit dari konsep pemikirannya diadopsi justru dari tokoh-tokoh liberal timur tengah.
             Dalam konteks kesetaraan Gender di Indonesia, hampir segala ranah penting dalam segmen kenegaraan telah menjadi korbannya. Mungkin istilah RUU KKG yang sempat jadi polemik sejak 2012 sudah sering kita dengar meski hingga saat ini belum juga disahkan. Efeknya adalah, jika RUU ini disahkan maka akan banyak undang-undang lain yang asasnya agama akan diamandemen. Karena prinsip yang dicoba untuk diperjuangkan adalah kesamaan hak, posisi, otoritas antara laki-laki dan perempuan di segala ranah. Lebih ironis, diam-diam pemahaman ini sudah mulai dijadikan doktrin dalam dunia akademik, yang disosialisasikan dalam program pengarusutamaan gender dengan menjadikannya mata kuliah wajib di sejumlah perguruan tinggi Islam di tanah air[1]. Artinya, ada pergeseran orientasi dalam studi Islam di Indonesia, dari yang berbasis murni keagamaan menuju kepentingan gender. Tak menutup kemungkinan jika hal ini terus digulirkan oleh aktivis mereka, isu LGBT akan menjadi sebuah rekomendasi terbaru dari rangkaian tuntutan mereka, terlebih pada tahun 2003 ada penolakan terhadap RUU yang mengusulkan tentang kriminalisasi terhadap pelaku homoseksual, sementara komnas HAM sempat menuntut pemerintah untuk memberikan posisi legal terhadap keberdaan mereka dan dilindungi oleh undang-undang[2].

Selasa, 31 Maret 2015

KLARIFIKASI DAN PERMOHONAN MAAF KEPADA PCINU SUDAN

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmatNya sehingga kita hidup dalam keadaan naungan iman dan Islam. Shalawat dan salam kepada junjungan kanjeng nabi Muhammad SAW yang dengan kegigihannya dan kesabaran ekstranya, Islam dan semangat dakwah terus berdiri tegak di bumi Allah ini.

Bersama tulisan ini saya pribadi, Firman Arifandi menyatakan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada segenap jajaran pengurus PCINU Sudan atas kekeliruan saya mencatut nama lembaga pengurus tanfidziyah dalam artikel yang saya buat beberapa waktu lalu yang berjudul "Ketika Gontor (katanya) Wahabi" yang dimuat dalam link :

http://blitza679.com/825875/ketika-gontor-katanya-wahabi.html

setelah klarifikasi dengan pihak pengurus tanfidziyah PCINU Sudan, saya secara pribadi memohon maaf dari hati yang paling dalam atas kekeliruan saya mencatut nama lembaga dalam obrolan yang justru sifatnya individu dan bukan atas nama lembaga.

Demikian Klarifikasi dan permohonan maaf ini saya sampaikan, kepada pihak PCINU Sudan sekali lagi kami ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. semoga Allah selalu melindungi kita.

wallahu muwafiq ila aqwami-t-thariq

wassalamualaikum warahmatullahi wa barokatuhu.



Firman Arifandi