Menggugurkan
Kandungan Dari Hasil Pemerkosaan
Sebuah Pandangan
Syariah
Oleh : Firman
Arifandi, LLB
(disampaikan dalam
Bahtsul Masail semester II PCINU Pakistan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Istilah
aborsi atau menggugurkan kandungan belakangan ini kerap menjadi buah bibir di
banyak kalangan, bahkan seolah menjadi trend pemuda masa kini yang kental
dengan pergaulan bebasnya. Pada prinsipnya, agama Islam sendiri telah mempunyai aturan paten dalam
menjaga nasab yang merupakan tujuan esensial dari eksistensi syariah itu sendiri,
adapun tujuan-tersebut terdiri dari : menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga
akal, menjaga kehormatan dan nasab, dan menjaga harta benda. Maka berdasarkan
pada kelima hal prinsipil itulah berdiri konsekuensi-konsekuensi atas
pelanggarnya, baik berupa hudud, qishas, ataupun ta’zir.
Pada
konteks pembahasan dalam tema kita, setidaknya dua tujuan esensial atau
maqashid syariah telah dijadikan objek utamanya, yaitu tujuan menjaga jiwa dan
menjaga nasab. Dalam praktek aborsi secara umum, jiwa sang janin yang mempunyai
hak untuk bernyawa dan hidup di dunia telah terancam, ini berarti telah
menyimpang dari maqashid ke dua yaitu jiwa sekaligus ke empat yaitu nasab.
Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada
wanita al-Ghamidi yang mengaku berzina dan wajib dirajam, agar ia dibiarkan
hidup hingga ia melahirkan bayinya dan menyusuinya. Kemudian setelah tiba masa
menyapih si bayi, barulah wanita itu diperintahkan oleh Rasulullah untuk
menjalankan hukuman rajam atas dosa yang telah dilakukannya. Kisah itu terdapat
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1].
Sementara
dalam satu kasus yang serupa, ada sebuah dilematis dalam penentuan sebuah
hukum, yaitu apabila janin yang dikandung seorang wanita adalah hasil dari
pemerkosaan atau dalam istilah fiqih kriminalitas (jarimah) sering dikenal
dengan zina bil-jabr. Apakah ada hak bagi seorang wanita korban pemerkosaan
untuk menggugurkan kandungannya? Karena pada hakikatnya janin tak pernah
menanggung dosa dan tak mewarisi dosa sedikitpun dari perbuatan yang terjadi
pada orang tuanya, namun di aspek lain, ada sisi sosial yang kelak akan berpengaruh pada prospek masa
depan sang calon bayi, yakni kemungkinan akan termarginalkan dari masyarakat.
ancaman kejiwaan juga memungkinkan terjadi pada sang Ibu, gangguan mental dan
frustasi berat akan berpengaruh pada keselamatan kedua jiwa, maka ada
pertimbangan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu ketimbang janin. Juga ada
hak-hak yang sehrusnya berlaku pada keturunan secara syar’i yang tidak akan
eksis pada anaknya kelak, seperti hak waris.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Konsentrasi makalah dalam bahtsul masail
kali ini akan mencoba memetakan fokus pada beberapa hal sehingga tidak melebar
pada kasus lain. di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Definisi aborsi
2.
Hukum aborsi dalam tinjauan
syariah:
a.
Setelah ditiupkan ruh
b.
Sebelum ditiupkan ruh
c.
Fatwa kontemporer
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka penulis merumuskan tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
·
Agar pembaca mengetahui
makna aborsi dari segala sudut pandang, baik umum ataupun dalam kacamata
syariat Islam
·
Mengetahui jenis klasifikasi
pengguguran kandungan
·
Memahami detail hukum
aborsi dalam pandangan syariah dalam hal ini merujuk kepada pendapat
ulama-ulama mujtahid baik yang klasik ataupun fatwa kontemporer
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI ABORSI
Aborsi dalam istilah fiqih sering
disebut dengan kata “Ijhad” . Dalam mausuah al fiqhiyyah bab 2 dikatakan
makna Ijhad adalah :
“mengeksekusi kehamilan yang belum sempurna bentuknya atau
kurang dari masanya”
Ulama Azhar dalam Fatawa al-Azhar juz 9 halaman 454
mengatakan bahwa aborsi adalah mengeluarkan janin dari rahim ibu sebelum masa
pertumbuhannya. Pada intinya, syariat dalam mendefinisikan aborsi tidak melihat
kepada usia kandungan, tapi melihat kepada bentuk janin apakah sudah sempurna
atau belum, maka singkat kata, secara garis besar definisi aborsi dalam
perspektiv syariah adalah melahirkan bayi yang belum nampak kesempurnaannya.
Sementara
dalam istilah medis, adopsi bermakna berhentinya kehamilan sebelum usia
kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir
selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah
kelahiran prematur[3].
2.2
Hukum Aborsi dalam tinjauan
syariah
Secara umum dengan menggunakan dalil
kulliy (universal), agama sangat menjaga setiap nyawa sehingga menjadi sasaran yang
sangat esensial dalam eksistensi syariah seperti telah disebutkan dalam
muqaddimah sebelumnya. Dalam al-qur’an
surat al-Isra’ ayat 33 dikatakan :
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra`: 33).
Dalam kasus pembunuhan, agama menegakkan
hukum qishas bagi pelaku qatl amd dan hukuman diyyat dalam bentuk
pembunuhan lainnya atau setelah islah. Maksud dari penjagaan terhadap jiwa ini
adalah untuk menjaga objektiv (maqashid) pertama yaitu menegakkan agama Allah.
Maka begitupula terhadap janin yang tak berdosa, agama melarang secara tegas
membunuhnya dengan segala bentuk caranya. Dalam al-Qur’an surah al-Isra ayat 31
dikatakan :
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan
kepadamu.” (Qs.
al-Isra`: 31).
Namun, lagi-lagi dalil di atas adalah
dalil dengan sifat yang universal (kulliy). Apabila ada nazilah atau kejadian
khusus yang menjadi oposisi dari dalil di atas, sementara ada dalil juz’iy
(spesifik) yang mampu menjadi solusi bagi masalah tersebut, maka kedua dalil
tadi harus dikolaborasikan agar membentuk sebuah hukum yang tak rancu. Dari
sini, kemudian ulama-ulama mengklasifikasikan hukum aborsi pada beberapa kasus,
di antaranya adalah :
a.
Hukum aborsi setelah
ditiupkan ruh pada janin
b.
Hukum aborsi sebelum
ditiupkan ruh pada janin
Sebelum masuk spesifik pada dua pembahasan di
atas, selayaknya kita tahu tentang jenjang masa terbentuknya janin. Dikutip
dari Ibnu Mas’ud RA :
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ
خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ
عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ
إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ:
بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya
dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi
segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging
selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada
janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya,
perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." [Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu].
Dari hadist tersebut terbentuk periode sebagaiamana berikut : nutfah
(mani), ‘alaqoh (gumpalan daging), Mudghah (embrio), dan ditiupkan ruh. Hal
tersebut juga dibenarkan dalam ilmu medis meski kadang ada sedikit perbedaan
dalam durasinya[4].
Dari sini, kita tahu pada tahap apa ruh telah diindikasi ada dalam
janin. Terlebih pada era saat ini bisa dicek melalui perangkat medis modern
sejenis USG (ultrasonografi).
a. Hukum aborsi setelah
ruh ditiupkan pada janin
Merujuk
pada sejumlah kitab-kitab fiqih seperti al-mausuah al fiqhiyyah, nihayatul
muhtaj ila syarhi al minhaj di bab ummahaatul awlad, dan fiqh ‘ala-l- madzahib
al ‘arba’ah, para ulama sepakat akan keharamannya. Ikhtilaf hanya berkisar pada
masa ditiupkannya ruh, ada yang berpendapat setelah 4 bulan, ada yang berkata
40 hingga 42 hari. Keharaman pada aborsi
semacam ini berlandaskan pada dalil seperti disebutkan sebelumnya :
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan
kepadamu.” (Qs.
al-Isra`: 31).
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi yang
dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
b.
Hukum aborsi sebelum ditiupkannya
ruh
Dalam
kitab nihayatul muhtaj halaman 443 di bab ummahatul awlad, pada sebuah
kesimpulan dikatakan bahwa pada masa ini terdapat khilaf awla (perbedaan utama)
bahkan dikatakan lebih condong kepada keharaman dan lebih aslah untuk ditinggalkan
(tidak melakukan aborsi).
Sebagian
ulama Hanafiah
menyatakan bahwa hukumnya
adalah mubah, begitupula Abu Ishaq al Maruzy dari golongan Syafiiyah[5]. Menurut
ulama dari golongan Hanabilah, dibolehkan melakukan hal serupa pada periode
pertama kehamilan, dan dibolehkan bagi wanita meminum obat yang mampu
menghambat mani masuk dinding rahim[6].
Sementara
Ibnu ‘Aqil membolehkannya dengan kondisi Adanya uzur syar’i bersifat darurat seperti
darurat medis baik kepada Ibu ataupun calon janin, dan keadaan yang mengancam
nyawa salah satunya maka diutamakan menyelamatkan ibu bila janin belum bernyawa[7].
Ada
sejumlah ulama yang menghukuminya denga makruh, di antaranya adalah Ali Bin
Musa dari fuqoha’ Hanafiah, begitu juga Ibnu abidin. Landasan makruhnya adalah
kemungkinan kesegeraan adanya kehidupan pada janin pasca menempelnya mani pada
rahim, pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian Malikiyyah yang mengatakan
sebelum 40 hari makruh hukumnya melakukan isqot.
Tak
sedikit juga yang mengharamkan aborsi pada masa ini. Beberapa dari golongan
Malikiyah, menurut imam dardiri : haram mengeluarkan dan mencegah mani yang
telah masuk ke dinding rahim dengan apapun caranya meskipun belum sampai 40
hari. Statemen tersebut dibenarkan oleh
imam Dasuqi. Imam Al-Ghazali juga berpendapat serupa, bahkan melakukan ‘azl
adalah keharaman[8].
Imam Syarbini dari Syafiiyah juga menguatkan pendapat ketiga ini.
Fatwa terbaru ulama
Dalam kasus menggugurkan kandungan sebab
diperkosa, mari mencoba bercermin pada fatwa Syeikh yusuf Al-Qaradhawi pada
wanita di negara Bosnia Herzegovina. Di mana wanita-wanita muslimah di sana
banyak diperkosa oleh tentara Serbia. Wanita-wanita tersebut merasa berdosa dan
hina serta tidak rela melahirkan anak yang mereka anggap tidak layak lahir dari
rahim mereka. Dalam menanggapi hal ini perlu diambil beberapa point penting, di
antaranya adalah :
1.
muslimah yang menjadi korban pemerkosaan tidak berdosa, dan tidak perlu
merasa hina, karena bagaimanapun mereka telah mencoba memerangi kebiadapan
tersebut. Dalam kasus zina bil jabr, hudud tidak berlaku pada korban menurut
sebagian besar ulama.
من كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا
مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap terang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar. (16: 106)
Ayat di
atas menjadi analogi terhadap segala kasus melakukan hal haram di bawah
ancaman, sebagai contoh pada apa yg terjadi pada wanita-wanita di atas.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله وضعَ عَنْ
أُمَّتِيْ الخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dimaafkan
dari umatku kesalahan (tanpa sengaja), lupa dan keterpaksaan” (HR. Baihaqi)
2. Bayi yang terlahir dari rahim wanita-wanita yang diperkosa
bukanlah bayi haram ataupun hina. Karena pada prinsipnya, mereka terlahir
sebagai bayi yang dianggap suci oleh agama, tidak memiliki keturunan dosa.
Rasulullah
SAW bersabda :
كل مولود يولد على
الفطرة
“Tiap-tiap
anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”(HR Bukhari)
Maka bila tanpa adanya udzur yang
jelas, tidaklah sampai kita pada bentuk rukhshah yang diharapkan. Kemungkinan
untuk melakukan aborsi yang asal hukumnya adalah keharaman tidak bisa
berkembang menjadi sebuah dispensasi tanpa adanya mudorot, dan udzur yang harus
ditinjau dari segala aspek, seperti medis, psikologis, dan agama yang utama.
Berkata syeikh Yusuf Al Qorodhawi
Setiap kali udzur itu makin jelas, maka
semakin jelas pulalah rukhshah itu. Selama kehamilan belum sampai pada usia 40
hari, maka rukhshas semakin dekat. Tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh musuh
kafir dan dzalim terhadap wanita muslimah merupakan udzur yang sangat kuat bagi
wanita muslimah yang bersangkutan dan juga keluarganya. Karena sudah pasti dia
akan membenci janin itu dan ingin mencari jalan keluar darinya. Hal itu tentu
saja merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat yang telah disesuaikan
kadarnya…..
Oleh karena itu, rukhshah yang
memperbolehkan aborsi terikat dengan keadaan udzur yang dibenarkan oleh syariat
Islam yang kadarnya dketahui oleh dokter dan para cendekiawan. Selain dalam
keadaan itu muslimah dilarang melakukan aborsi….”[10]
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1.
Hukum asal daripada aborsi adalah
terlarang dari dalil kulliy.
2.
Ulama sepakat diharamkannya aborsi
setelah ditiupkannya ruh ke dalam janin
3.
Sejumlah kalangan ulama berbeda
pendapat pada hukum aborsi sebelum adanya nyawa pada janin.
4.
Sebagian ulama membolehkan aborsi
dengan catatan adanya udzur.
5.
Terkait hukum aborsi pada hasil
pemerkosaan maka dilihat sisi udzurnya dan masanya. Jika belum bernyawa dan
punya landasan doruroh (dilihat dari segala macam aspek) maka diperbolehkan.
Diperkuat lagi dengan kaidah ushuliyyah :
addorurotu tubiihul
mahdzurat (keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang dalam agama) , dan
sebagai regulasinya adalah kaidah ushuliyah : maa ubiiha liddorurati
tuqoddar biqadarihaa (yg dihalalkan dalam perkara darurat diukur kapasitas
kedaruratannya).
Wallahu a’lam bisshowab
[1] http://zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/11/hukum-menggugurkan-kandungan-hasil.html
[2]وزارة
الأوقاف و الشؤون الإسلامية. الموسوعة الفقهية. الكويت. 1983. ج 2، ص 56
[3] http://zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/11/hukum-menggugurkan-kandungan-hasil.html
[4] http://www.jameataleman.org/main/articles.aspx?article_no=1367
[6]
Ibid 58
[7]
Ibid
[8] http://www.ainiaryani.com/000/x.php?id=37&=hukum-aborsi-janin-hasil-perkosaan.htm
[9] http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=4951
[10]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar