Jumat, 21 Agustus 2015

Meggugurkan Kandungan Dari Hasil Pemerkosaan Sebuah Pandangan Syariah

Menggugurkan Kandungan Dari Hasil Pemerkosaan
Sebuah Pandangan Syariah
Oleh : Firman Arifandi, LLB
(disampaikan dalam Bahtsul Masail semester II PCINU Pakistan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
                Istilah aborsi atau menggugurkan kandungan belakangan ini kerap menjadi buah bibir di banyak kalangan, bahkan seolah menjadi trend pemuda masa kini yang kental dengan pergaulan bebasnya. Pada prinsipnya, agama Islam  sendiri telah mempunyai aturan paten dalam menjaga nasab yang merupakan tujuan esensial dari eksistensi syariah itu sendiri, adapun tujuan-tersebut terdiri dari : menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan dan nasab, dan menjaga harta benda. Maka berdasarkan pada kelima hal prinsipil itulah berdiri konsekuensi-konsekuensi atas pelanggarnya, baik berupa hudud, qishas, ataupun ta’zir.
                Pada konteks pembahasan dalam tema kita, setidaknya dua tujuan esensial atau maqashid syariah telah dijadikan objek utamanya, yaitu tujuan menjaga jiwa dan menjaga nasab. Dalam praktek aborsi secara umum, jiwa sang janin yang mempunyai hak untuk bernyawa dan hidup di dunia telah terancam, ini berarti telah menyimpang dari maqashid ke dua yaitu jiwa sekaligus ke empat yaitu nasab.
                Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada wanita al-Ghamidi yang mengaku berzina dan wajib dirajam, agar ia dibiarkan hidup hingga ia melahirkan bayinya dan menyusuinya. Kemudian setelah tiba masa menyapih si bayi, barulah wanita itu diperintahkan oleh Rasulullah untuk menjalankan hukuman rajam atas dosa yang telah dilakukannya. Kisah itu terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1].
                Sementara dalam satu kasus yang serupa, ada sebuah dilematis dalam penentuan sebuah hukum, yaitu apabila janin yang dikandung seorang wanita adalah hasil dari pemerkosaan atau dalam istilah fiqih kriminalitas (jarimah) sering dikenal dengan zina bil-jabr. Apakah ada hak bagi seorang wanita korban pemerkosaan untuk menggugurkan kandungannya? Karena pada hakikatnya janin tak pernah menanggung dosa dan tak mewarisi dosa sedikitpun dari perbuatan yang terjadi pada orang tuanya, namun di aspek lain, ada sisi sosial yang  kelak akan berpengaruh pada prospek masa depan sang calon bayi, yakni kemungkinan akan termarginalkan dari masyarakat. ancaman kejiwaan juga memungkinkan terjadi pada sang Ibu, gangguan mental dan frustasi berat akan berpengaruh pada keselamatan kedua jiwa, maka ada pertimbangan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu ketimbang janin. Juga ada hak-hak yang sehrusnya berlaku pada keturunan secara syar’i yang tidak akan eksis pada anaknya kelak, seperti hak waris. 
1.2   RUMUSAN MASALAH
Konsentrasi makalah dalam bahtsul masail kali ini akan mencoba memetakan fokus pada beberapa hal sehingga tidak melebar pada kasus lain. di antaranya adalah sebagai berikut :
1.       Definisi aborsi
2.       Hukum aborsi dalam tinjauan syariah:
a.       Setelah ditiupkan ruh
b.      Sebelum ditiupkan ruh
c.       Fatwa kontemporer
1.3   TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
·         Agar pembaca mengetahui makna aborsi dari segala sudut pandang, baik umum ataupun dalam kacamata syariat Islam
·         Mengetahui jenis klasifikasi pengguguran kandungan
·         Memahami detail hukum aborsi dalam pandangan syariah dalam hal ini merujuk kepada pendapat ulama-ulama mujtahid baik yang klasik ataupun fatwa kontemporer

BAB II PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI ABORSI
Aborsi dalam istilah fiqih sering disebut dengan kata “Ijhad” . Dalam mausuah al fiqhiyyah bab 2 dikatakan makna Ijhad adalah :
إلقاء الحمل ناقص الخلق أو ناقص المدة[2].
“mengeksekusi kehamilan yang belum sempurna bentuknya atau kurang  dari masanya”
Ulama Azhar dalam Fatawa al-Azhar juz 9 halaman 454 mengatakan bahwa aborsi adalah mengeluarkan janin dari rahim ibu sebelum masa pertumbuhannya. Pada intinya, syariat dalam mendefinisikan aborsi tidak melihat kepada usia kandungan, tapi melihat kepada bentuk janin apakah sudah sempurna atau belum, maka singkat kata, secara garis besar definisi aborsi dalam perspektiv syariah adalah melahirkan bayi yang belum nampak kesempurnaannya.
                Sementara dalam istilah medis, adopsi bermakna berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur[3].
               
2.2   Hukum Aborsi dalam tinjauan syariah
Secara umum dengan menggunakan dalil kulliy (universal), agama sangat menjaga  setiap nyawa sehingga menjadi sasaran yang sangat esensial dalam eksistensi syariah seperti telah disebutkan dalam muqaddimah sebelumnya.  Dalam al-qur’an surat al-Isra’ ayat 33 dikatakan :
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra`: 33).
Dalam kasus pembunuhan, agama menegakkan hukum qishas bagi pelaku qatl amd dan hukuman diyyat dalam bentuk pembunuhan lainnya atau setelah islah. Maksud dari penjagaan terhadap jiwa ini adalah untuk menjaga objektiv (maqashid) pertama yaitu menegakkan agama Allah. Maka begitupula terhadap janin yang tak berdosa, agama melarang secara tegas membunuhnya dengan segala bentuk caranya. Dalam al-Qur’an surah al-Isra ayat 31 dikatakan :
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra`: 31).
Namun, lagi-lagi dalil di atas adalah dalil dengan sifat yang universal (kulliy). Apabila ada nazilah atau kejadian khusus yang menjadi oposisi dari dalil di atas, sementara ada dalil juz’iy (spesifik) yang mampu menjadi solusi bagi masalah tersebut, maka kedua dalil tadi harus dikolaborasikan agar membentuk sebuah hukum yang tak rancu. Dari sini, kemudian ulama-ulama mengklasifikasikan hukum aborsi pada beberapa kasus, di antaranya adalah : 
a.       Hukum aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin
b.      Hukum aborsi sebelum ditiupkan ruh pada janin
 Sebelum masuk spesifik pada dua pembahasan di atas, selayaknya kita tahu tentang jenjang masa terbentuknya janin. Dikutip dari Ibnu Mas’ud RA :
 إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." [Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu].
Dari hadist tersebut terbentuk periode sebagaiamana berikut : nutfah (mani), ‘alaqoh (gumpalan daging), Mudghah (embrio), dan ditiupkan ruh. Hal tersebut juga dibenarkan dalam ilmu medis meski kadang ada sedikit perbedaan dalam durasinya[4].
Dari sini, kita tahu pada tahap apa ruh telah diindikasi ada dalam janin. Terlebih pada era saat ini bisa dicek melalui perangkat medis modern sejenis USG (ultrasonografi).
a.       Hukum aborsi setelah ruh ditiupkan pada janin
Merujuk pada sejumlah kitab-kitab fiqih seperti al-mausuah al fiqhiyyah, nihayatul muhtaj ila syarhi al minhaj di bab ummahaatul awlad, dan fiqh ‘ala-l- madzahib al ‘arba’ah, para ulama sepakat akan keharamannya. Ikhtilaf hanya berkisar pada masa ditiupkannya ruh, ada yang berpendapat setelah 4 bulan, ada yang berkata 40 hingga 42 hari. Keharaman pada  aborsi semacam ini berlandaskan pada dalil seperti disebutkan sebelumnya :
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra`: 31).
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
b.      Hukum aborsi sebelum ditiupkannya ruh
Dalam kitab nihayatul muhtaj halaman 443 di bab ummahatul awlad, pada sebuah kesimpulan dikatakan bahwa pada masa ini terdapat khilaf awla (perbedaan utama) bahkan dikatakan lebih condong kepada keharaman dan lebih aslah untuk ditinggalkan (tidak melakukan aborsi).
Sebagian ulama Hanafiah  menyatakan bahwa hukumnya adalah mubah, begitupula Abu Ishaq al Maruzy dari golongan Syafiiyah[5]. Menurut ulama dari golongan Hanabilah, dibolehkan melakukan hal serupa pada periode pertama kehamilan, dan dibolehkan bagi wanita meminum obat yang mampu menghambat mani masuk dinding rahim[6].
Sementara Ibnu ‘Aqil membolehkannya dengan kondisi Adanya uzur syar’i bersifat darurat seperti darurat medis baik kepada Ibu ataupun calon janin, dan keadaan yang mengancam nyawa salah satunya maka diutamakan menyelamatkan ibu bila janin belum bernyawa[7].
Ada sejumlah ulama yang menghukuminya denga makruh, di antaranya adalah Ali Bin Musa dari fuqoha’ Hanafiah, begitu juga Ibnu abidin. Landasan makruhnya adalah kemungkinan kesegeraan adanya kehidupan pada janin pasca menempelnya mani pada rahim, pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian Malikiyyah yang mengatakan sebelum 40 hari makruh hukumnya melakukan isqot.
Tak sedikit juga yang mengharamkan aborsi pada masa ini. Beberapa dari golongan Malikiyah, menurut imam dardiri : haram mengeluarkan dan mencegah mani yang telah masuk ke dinding rahim dengan apapun caranya meskipun belum sampai 40 hari.  Statemen tersebut dibenarkan oleh imam Dasuqi. Imam Al-Ghazali juga berpendapat serupa, bahkan melakukan ‘azl adalah keharaman[8]. Imam Syarbini dari Syafiiyah juga menguatkan pendapat ketiga ini.
Fatwa terbaru ulama
                Dalam kasus menggugurkan kandungan sebab diperkosa, mari mencoba bercermin pada fatwa Syeikh yusuf Al-Qaradhawi pada wanita di negara Bosnia Herzegovina. Di mana wanita-wanita muslimah di sana banyak diperkosa oleh tentara Serbia. Wanita-wanita tersebut merasa berdosa dan hina serta tidak rela melahirkan anak yang mereka anggap tidak layak lahir dari rahim mereka. Dalam menanggapi hal ini perlu diambil beberapa point penting, di antaranya adalah :
1.       muslimah yang menjadi korban pemerkosaan tidak berdosa, dan tidak perlu merasa hina, karena bagaimanapun mereka telah mencoba memerangi kebiadapan tersebut. Dalam kasus zina bil jabr, hudud tidak berlaku pada korban menurut sebagian besar ulama.
من كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap terang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (16: 106)

Ayat di atas menjadi analogi terhadap segala kasus melakukan hal haram di bawah ancaman, sebagai contoh pada apa yg terjadi pada wanita-wanita di atas.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
 إن الله وضعَ عَنْ أُمَّتِيْ الخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Dimaafkan dari umatku kesalahan (tanpa sengaja), lupa dan keterpaksaan” (HR. Baihaqi)

2.       Bayi yang terlahir dari rahim wanita-wanita yang diperkosa bukanlah bayi haram ataupun hina. Karena pada prinsipnya, mereka terlahir sebagai bayi yang dianggap suci oleh agama, tidak memiliki keturunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda :
كل مولود يولد على الفطرة
Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”(HR Bukhari)
Maka bila tanpa adanya udzur yang jelas, tidaklah sampai kita pada bentuk rukhshah yang diharapkan. Kemungkinan untuk melakukan aborsi yang asal hukumnya adalah keharaman tidak bisa berkembang menjadi sebuah dispensasi tanpa adanya mudorot, dan udzur yang harus ditinjau dari segala aspek, seperti medis, psikologis, dan agama yang utama. Berkata syeikh Yusuf Al Qorodhawi 
 كلما كان العذر أقوى كانت الرخصة أظهر[9]
 Setiap kali udzur itu makin jelas, maka semakin jelas pulalah rukhshah itu. Selama kehamilan belum sampai pada usia 40 hari, maka rukhshas semakin dekat. Tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh musuh kafir dan dzalim terhadap wanita muslimah merupakan udzur yang sangat kuat bagi wanita muslimah yang bersangkutan dan juga keluarganya. Karena sudah pasti dia akan membenci janin itu dan ingin mencari jalan keluar darinya. Hal itu tentu saja merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat yang telah disesuaikan kadarnya…..
Oleh karena itu, rukhshah yang memperbolehkan aborsi terikat dengan keadaan udzur yang dibenarkan oleh syariat Islam yang kadarnya dketahui oleh dokter dan para cendekiawan. Selain dalam keadaan itu muslimah dilarang melakukan aborsi….”[10]

BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1.       Hukum asal daripada aborsi adalah terlarang dari dalil kulliy.
2.       Ulama sepakat diharamkannya aborsi setelah ditiupkannya ruh ke dalam janin
3.       Sejumlah kalangan ulama berbeda pendapat pada hukum aborsi sebelum adanya nyawa pada janin.
4.       Sebagian ulama membolehkan aborsi dengan catatan adanya udzur.
5.       Terkait hukum aborsi pada hasil pemerkosaan maka dilihat sisi udzurnya dan masanya. Jika belum bernyawa dan punya landasan doruroh (dilihat dari segala macam aspek) maka diperbolehkan.
Diperkuat lagi dengan kaidah ushuliyyah :
 addorurotu tubiihul mahdzurat (keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang dalam agama) , dan sebagai regulasinya adalah kaidah ushuliyah : maa ubiiha liddorurati tuqoddar biqadarihaa (yg dihalalkan dalam perkara darurat diukur kapasitas kedaruratannya).
Wallahu a’lam bisshowab





[1] http://zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/11/hukum-menggugurkan-kandungan-hasil.html
[2]وزارة الأوقاف و الشؤون الإسلامية. الموسوعة الفقهية. الكويت. 1983. ج 2، ص 56
[3] http://zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/11/hukum-menggugurkan-kandungan-hasil.html
[4] http://www.jameataleman.org/main/articles.aspx?article_no=1367
[5] وزارة الأوقاف و الشؤون الإسلامية. الموسوعة الفقهية. الكويت. 1983. ج 2، ص 57
[6] Ibid 58
[7] Ibid
[8] http://www.ainiaryani.com/000/x.php?id=37&=hukum-aborsi-janin-hasil-perkosaan.htm
[9] http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=4951
[10] ibid

Tidak ada komentar: