Oleh : Firman
Arifandi, LLB
A.
Pendahuluan
Masuknya
paham modernis yang diusung dari barat tak jarang kita temukan produknya di
tanah air. Salah satunya adalah ideologi feminisme yang kemudian dileburkan
dalam paham kesetaraan gender. Hal ini merupakan tren baru di Indonesia bahkan
di dunia, yang ternyata tak sedikit dari konsep pemikirannya diadopsi justru
dari tokoh-tokoh liberal timur tengah.
Dalam
konteks kesetaraan Gender di Indonesia, hampir segala ranah penting dalam
segmen kenegaraan telah menjadi korbannya. Mungkin istilah RUU KKG yang sempat
jadi polemik sejak 2012 sudah sering kita dengar meski hingga saat ini belum
juga disahkan. Efeknya adalah, jika RUU ini disahkan maka akan banyak
undang-undang lain yang asasnya agama akan diamandemen. Karena prinsip yang
dicoba untuk diperjuangkan adalah kesamaan hak, posisi, otoritas antara laki-laki
dan perempuan di segala ranah. Lebih ironis, diam-diam pemahaman ini sudah
mulai dijadikan doktrin dalam dunia akademik, yang disosialisasikan dalam
program pengarusutamaan gender dengan menjadikannya mata kuliah wajib di
sejumlah perguruan tinggi Islam di tanah air[1].
Artinya, ada pergeseran orientasi dalam studi Islam di Indonesia, dari yang
berbasis murni keagamaan menuju kepentingan gender. Tak menutup kemungkinan
jika hal ini terus digulirkan oleh aktivis mereka, isu LGBT akan menjadi sebuah
rekomendasi terbaru dari rangkaian tuntutan mereka, terlebih pada tahun 2003
ada penolakan terhadap RUU yang mengusulkan tentang kriminalisasi terhadap
pelaku homoseksual, sementara komnas HAM sempat menuntut pemerintah untuk
memberikan posisi legal terhadap keberdaan mereka dan dilindungi oleh
undang-undang[2].
Sama
halnya dengan kaum liberalis, yang menjadi pondasi dalam melegalkan ide-ide
yang mereka usung adalah kritik terhadap nushus al-qur’an dan sunnah, yang bagi
mereka, keduanya belum memberikan porsi keadilan bagi wanita. Bahkan, menurut
Amina wadood qur’an adalah produk sejarah dan sifat syar’inya adalah temporer,
terbatas masa dan zaman. Sementara maslahat manusia selalu berubah-berubah
sesuai dengan apa yang eksis di zaman tersebut.[3]
Sebagai
contoh dari korelasi berfikir Amina wadood, adalah kritik terhadap ushul fiqh
yang dipaparkan oleh Dr. Abdul Majid As Syarofi dalam kitabnya “al-Islamu bayna
risalah wa-ttarikh” menegaskan bahwa :
وان العبرة ليست بخصوص
السبب ولا بعموم اللفظ وانما بالمقاصد
Bahwa yang
menjadi pedoman bukanlah kekhususan dari sebab, bukan pula umumnya lafadz tapi
konteks dari tujuan didirikannya hukum[4].
Maka dari itu, hukum hudud bagi pezina, pencuri, serta hukum-hukum yang berlaku
dalam nusus terhadap hak-hak wanita sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini.
Karena tujuan hudud adalah menghilangkan nilai-nilai kriminalitas yang saat itu
sangat merajalela, sementara dalam konteks kekinian hukuman tersebut tidak
sesuai dengan spirit yang ada, begitupula hak-hak yang berlaku bagi wanita,
tentu maqashidnya berbeda dengan zaman dahulu.
Dalam
artikel ini, penulis mencoba untuk berkonsentrasi pada pendekatan-pendekatan
istidlal yang digunakan oleh kaum feminis yang merupakan produk dari faham
liberalis sendiri. Bagaimana mereka memandang konsep maqashid syariah dan
bagaiamana memposisikannya, serta komparasi pada rambu-rambu maqashid yang
diterapkan oleh ulama-ulama salaf.
B. Pokok permasalahan
Makalah yang akan
disampaikan dalam diskusi kali ini akan berkonsentrasi pada sejumlah pembahasan
dan tidak akan melebar pada pembahasan lain, di antara pokok permasalahan yang
menjadi acuan diskusi ini adalah :
I.
Sekilas Makna Feminisme dan
pergerakannya
II.
Konsep istidlal bagi pegiat
Gender dan deskripsi Maqashid Syariah
III.
Maqshid menurut ulama salaf
C.
Pembahasan
I.
Sekilas Makna Gender
dan perkembangannya
Secara garis besar gerakan ini
merupakan produk dari gerakan modernisme barat yang mulai merebak pada awal
abad ke sembilan belas[5].
Istilah “Gender” yang dimaknai sebagai karakteristik untuk membedakan antara
laki-laki dan perempuan berdasarkan peran sosialnya, bukanlah makna original
dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian
jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian seorang
seksolog, Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada
klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah
gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 1955. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna,
dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi
identitas gender. Sebelum munculnya usulan dia ini, jarang sekali kata
"gender" digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun,
pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebar luas
sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara
jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender[6].
Dari makna ini kemudian mngerucutlah pada gerakan feminisme.
II.
Konsep istidlal dan
maqashid Syariah bagi pegiat Gender
Bagi pelajar ilmu tafsir,
mungkin istilah tafsir hermeneutik sudah tak asing didengar, yang mana ini
adalah salah satu konsep yang dipakai oleh kaum liberalis, feminis dan
konco-konconya. Alat ini yang sering digunakan sebagai landasan mereka dalam
meraih interpretasi Qur’an. Selain itu, dalam meraih kongklusi-kongklusi hukum
tak jarang mereka bermain dalam konteks istidlal. Karena doktrin di awal mereka
menganggap kebijakan-kebijakan dalam nushus
banyak yang tak relevan dengan era sekarang, wal hasil mereka melegalkan
metode baru ciptaan mereka dengan simbol bernamakan maqashid syariah yang tentu
sudah tidak orsinil lagi. Pendekatan-pendekatannya adalah sebagai berikut :
a.
Pendekatan sejarah
Dengan
pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai bagian dari unsur sejarah
dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan
ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan
perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi”
(produk budaya) sebagai padanan Al-Quran. Artinya sebagai produk budaya
Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema
perempuan dan gender[7].
b.
Pendekatan sosiologis
dan antropologis
Dengan
pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial, maka perilaku
keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang
Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi).
Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem
laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau
tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat
kepada perempuan[8].
c.
Pendekatan
psikologis
Dalam
pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari
perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk agama tertentu. Dari sini
akan dimunculkan sebuah madzhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme.
Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama
yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari
kebaikan dari berbagai agama[9].
Maqashid versi
Liberalis
selain metode
kontekstualitas dalam penafsiran, kaum liberal tak jarang menamakan sebuah
konsep bernamakan maqashid. Yaitu mengambil tujuan dan substansinya sesuai
dengan nilai-nilai etis universal, bukan formal nushus yang mana sifatnya bisa
saja temporar menurut mereka[10].
Ustadz Fahmi Salim,MA dalam debatnya bersama Abdul Moqsith Gozali, memberikan
beberapa highlights beberapa pandangan tokoh liberal yang telah dengan sengaja
meliberalkan syariah Islam dengan dalih Maqashid lebih utama ketimbang nushus
textual. Karena maqashid bisa dikontekstualkan dengan situasi kontemporer
hingga islam tidak kaku dan beku. Di antaranya adalah : perkataan Dr. Muhammad
Jabir dalam kitabnya Bunniyatul ‘aqli al aroby halaman 47. Beliau menuding
bahwa usul fiqh sejak era Syafi’iyah adalah terlalu sibuk pada pemahaman bahasa
saja tanpa menoleh pada konteks yang berlaku serta maslahatnya.
حكم
على علم الأصول منذ الشافعي الى الغزالي بأنه كان يطلب المعاني من الألفاظ .فجعلوا
الاجتهاد اجتهادا في اللغة التي نزل عليها القرآن فكانت النتيجة أن شغلتهم المسائل
اللغوية عن المقاصد الشرعية فعمقوا في العقل البياني وفي النظام المعرفي الذي يؤسس
خاصيتين لازمتاه منذ البداية الأولى هي الانطلاق من الألفاظ الى المعاني ومن هنا
أهمية اللفظ ووزنه في التفكير البياني والثانية هي الاهتمام بالجزئيات على حساب
الكليات الاهتمام باللفظ و أصنافه على حساب مقاصد الشريعة
ushul fiqh Islam sejak dicetuskan di era Imam Syafi’I hingga
Al-Ghazaly, selalu mencari makna dari redaksi lahiriah teks. Para ulama Islam
memformat ijtihad hanya sebatas ijtihad di bidang bahasa Al-Al-Qur’an saja.
Akibatnya mereka disibukkan oleh pengkajian bahasa daripada maqashid
(tujuan-tujuan luhur) syari’ah. Mereka mendalami logika/nalar retoris dan
system episteme yang melandasi 2 ciri khas berfikir:
1. Bertolak dari redaksi untuk menuju makna, sehingga teks/redaksi berperan besar sekali dalam corak berfikir bayani, dan
2. Fokus kepada hal-hal partikuralistik dan abai terhadap nilai-nilai universal, perhatian kepada lafaz dan jenis-jenisnya sehingga mengabaikan maqashid syariah[11].
1. Bertolak dari redaksi untuk menuju makna, sehingga teks/redaksi berperan besar sekali dalam corak berfikir bayani, dan
2. Fokus kepada hal-hal partikuralistik dan abai terhadap nilai-nilai universal, perhatian kepada lafaz dan jenis-jenisnya sehingga mengabaikan maqashid syariah[11].
Selain itu, ada lagi perkataan Muhammad Said al-Asymawi
dalam kitabnya Ushulu Syariah :
تطبيق الرجم يبدو
أنه من خصوصيات رسول الله صلى الله عليه وسلم[12]
Penerapan hukum rajam adalah
keistimewaan Rasulullah SAW saja.
III.
Maqashid menurut ulama salaf dan rambu-rambunya
Bila mengkaji kitab-kitab klasik,
nampaknya ulama-ulama terdahulu sudah mampu menerka apa yang akan terjadi di
era mendatang, maka dari itu mereka menetapkan rambu-rambu dalam menerapkan dan
memahami maqashid itu sendiri, hingga tidak bablas dalam istidlal. Imam Syafi’I dalam kitab ar-risalah berkata :
ليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة الا في كتاب الله الدليل
على سبيل الهدى فيها.[13]
بأن استنباط الأدلة يكون إما بنص القرآن او سنة نبوية او ما فرض
الله على خلقه من الاجتهاد وفي طلب[14]
Tiada satupun perkara/peristiwa yang dialami oleh pemeluk
Islam kecuali di dalam kitabullah terdapat dalil petunjuk yang meneranginya. Konklusi hukum Islam dapat ditempuh dengan cara ditarik dari
petunjuk teks/nash Al-Al-Qur’an dan sunnah atau ijtihad yang telah Allah
wajibkan kepada makhluknya untuk mencari petunjuk-Nya.
Dipertegas
oleh imam As-syatibhi :
إذا تعارض النقل
والعقل على المسائل الشرعية فعلى شرط ان يتقدم النقل فيكون متبوعا و يتأخر العقل
فيكون تابعا فلا يسرح العقل في مجال النظر إلا بقدر ما يسرحه النقل[15].
فالعقل غير مستقل البتة
ولا ينبني على غير أصل وإنما ينبني على أصل متقدم مسلم على الاطلاق ولا أصل مسلم
إلا من طريق الوحي.
لأن العقل اذا لم
يكن متبعا للشرع لم يبق له الا الهوى والشهوة
Jika
dalil naqli dan akal bertentangan dalam soal-soal cabang syariah maka syaratnya
harus didahulukan dalil naql sbb ia harus diikuti, dan dibelakangkan dalil akal
sb ia harus mengekor. Dalil akal tidak boleh lepas begitu saja dalam menilai
persoalan kecuali dalam batas yang telah disisakan/ditinggalkan oleh dalil
naql.
Akal
itu tidak independen sama sekali dan bukan tanpa dasar/asas yang kuat. Tetapi
akal itu harus berdiri di atas fondasi kuat yang disepakati/ditaati secara
absolut. Dan tak lain fondasi yang absolut itu adalah wahyu/naqli.
Karena
jika akal tidak mengikuti petunjuk syar’I, maka yang tersisa hanyalah hawa
nafsu dan syahwat belaka
Perbedaan signifikan antara liberalis dan
ulama salaf dalam memahami maqashid adalah bahwa para ulama mencari dan
menggali esensi dan tujuan dari hukum bersumberkan dari teks nushus, sementara
kaum liberal mencari-cari korelasi hukum dengan eksistensi gaya hidup, intinya
hukum islam baik yg dzanniyah ataupun qot’iyyah dipaksa untuk ikut perkembangan
zaman.
Rambu-rambu Maqashid syariah
agar tidak melenceng jauh menjadi
liberal, ulama sudah memagari maqashid syariah dengan rambu rambu, di antaranya
sebagai berikut :
الأصل في العبادات
بالنسبة الى المكلف التعبد دون الالتفات الى المعاني والاصل في احكام العادات
الالتفات الى المعاني
Hukum asal peribadatan adalah tidak menoleh kepada makna, sebaliknya
hukum adat/kebiasaan boleh menilik kepada maknanya.
المقصد الشرعي من وضع الشريعة هو إخراج المكلف عن داعية هواه
حتى يكون عبدا لله اختيارا كما هو عبد الله اضطرارا
Tujuan meletakkan syariah adalah
membebaskan mukallaf dari dorongan nafsunya agar menjadi hamba Allah secara
sadar maupun terpaksa.
إذا سكت الشارع عن أمر مع وجود داعي الكلام فيه
دل سكوته على قصده الى الوقوف عند حد ما شرع
Jika syari’ mendiamkan sesuatu hal,
padahal ada faktor kuat untuk memberikan hukum dalam soal itu, maka diamnya itu
menunjukkan kehendaknya agar tetap/berhenti pada batas apa yang Ia syariatkan.
C.
Kesimpulan
Maqashid Syariah adalah suatu
prinsip dasar ilmu usul fiqh yang terdiri dari aturan dan standar pasti agar
tidak dijadikan alat untuk merelatifkan teks kemudian mengeliminasi hukum-hukum
agama yang sudah pasti ketetapannya. Tujuan-tujuan syar’I tidak dapat dibangun
berdasarkan asumsi belaka, Imam syatibhi peletak dasar ilmu maqashid telah
menetapkan aturan mainnya, namun hal itu tak digubris oleh para liberalis engan
dalih mereka yang warna-warni. Hal ini jika dibiarkan tanpa counter maka akan
berimbas kepada disfungsi metode istidlal dan desakralisasi rambu-rambu
maqashid. Wallau a’lam bishhowab
[1] Salahuddin
Mirkh, Henri. Pengaruh Gender terhadap konsep wahyu dan Tafsir. Makalah.Garut.
2012
[2] Ibid
[3] Bahri,MA,
Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[5] Bahri,MA,
Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[6] ibid
[7] Bahri,MA,
Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[8] ibid
[9] ibid
[10] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[11]
http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[12] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[13] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar