Jumat, 21 Agustus 2015

Dari Kesetaraan Gender Menuju Disfungsi Rambu-Rambu Maqashid Syariah

Oleh : Firman Arifandi, LLB
A.   Pendahuluan
             Masuknya paham modernis yang diusung dari barat tak jarang kita temukan produknya di tanah air. Salah satunya adalah ideologi feminisme yang kemudian dileburkan dalam paham kesetaraan gender. Hal ini merupakan tren baru di Indonesia bahkan di dunia, yang ternyata tak sedikit dari konsep pemikirannya diadopsi justru dari tokoh-tokoh liberal timur tengah.
             Dalam konteks kesetaraan Gender di Indonesia, hampir segala ranah penting dalam segmen kenegaraan telah menjadi korbannya. Mungkin istilah RUU KKG yang sempat jadi polemik sejak 2012 sudah sering kita dengar meski hingga saat ini belum juga disahkan. Efeknya adalah, jika RUU ini disahkan maka akan banyak undang-undang lain yang asasnya agama akan diamandemen. Karena prinsip yang dicoba untuk diperjuangkan adalah kesamaan hak, posisi, otoritas antara laki-laki dan perempuan di segala ranah. Lebih ironis, diam-diam pemahaman ini sudah mulai dijadikan doktrin dalam dunia akademik, yang disosialisasikan dalam program pengarusutamaan gender dengan menjadikannya mata kuliah wajib di sejumlah perguruan tinggi Islam di tanah air[1]. Artinya, ada pergeseran orientasi dalam studi Islam di Indonesia, dari yang berbasis murni keagamaan menuju kepentingan gender. Tak menutup kemungkinan jika hal ini terus digulirkan oleh aktivis mereka, isu LGBT akan menjadi sebuah rekomendasi terbaru dari rangkaian tuntutan mereka, terlebih pada tahun 2003 ada penolakan terhadap RUU yang mengusulkan tentang kriminalisasi terhadap pelaku homoseksual, sementara komnas HAM sempat menuntut pemerintah untuk memberikan posisi legal terhadap keberdaan mereka dan dilindungi oleh undang-undang[2].
             Sama halnya dengan kaum liberalis, yang menjadi pondasi dalam melegalkan ide-ide yang mereka usung adalah kritik terhadap nushus al-qur’an dan sunnah, yang bagi mereka, keduanya belum memberikan porsi keadilan bagi wanita. Bahkan, menurut Amina wadood qur’an adalah produk sejarah dan sifat syar’inya adalah temporer, terbatas masa dan zaman. Sementara maslahat manusia selalu berubah-berubah sesuai dengan apa yang eksis di zaman tersebut.[3]
             Sebagai contoh dari korelasi berfikir Amina wadood, adalah kritik terhadap ushul fiqh yang dipaparkan oleh Dr. Abdul Majid As Syarofi dalam kitabnya “al-Islamu bayna risalah wa-ttarikh” menegaskan bahwa :
وان العبرة ليست بخصوص السبب ولا بعموم اللفظ وانما بالمقاصد
Bahwa yang menjadi pedoman bukanlah kekhususan dari sebab, bukan pula umumnya lafadz tapi konteks dari tujuan didirikannya hukum[4]. Maka dari itu, hukum hudud bagi pezina, pencuri, serta hukum-hukum yang berlaku dalam nusus terhadap hak-hak wanita sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini. Karena tujuan hudud adalah menghilangkan nilai-nilai kriminalitas yang saat itu sangat merajalela, sementara dalam konteks kekinian hukuman tersebut tidak sesuai dengan spirit yang ada, begitupula hak-hak yang berlaku bagi wanita, tentu maqashidnya berbeda dengan zaman dahulu.
             Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk berkonsentrasi pada pendekatan-pendekatan istidlal yang digunakan oleh kaum feminis yang merupakan produk dari faham liberalis sendiri. Bagaimana mereka memandang konsep maqashid syariah dan bagaiamana memposisikannya, serta komparasi pada rambu-rambu maqashid yang diterapkan oleh ulama-ulama salaf.

B. Pokok permasalahan
Makalah yang akan disampaikan dalam diskusi kali ini akan berkonsentrasi pada sejumlah pembahasan dan tidak akan melebar pada pembahasan lain, di antara pokok permasalahan yang menjadi acuan diskusi ini adalah :
                           I.            Sekilas Makna Feminisme dan pergerakannya
                         II.            Konsep istidlal bagi pegiat Gender dan deskripsi Maqashid Syariah
                       III.            Maqshid menurut ulama salaf
C.      Pembahasan
I.                    Sekilas Makna Gender dan perkembangannya
        Secara garis besar gerakan ini merupakan produk dari gerakan modernisme barat yang mulai merebak pada awal abad ke sembilan belas[5]. Istilah “Gender” yang dimaknai sebagai karakteristik untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan peran sosialnya, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian seorang seksolog, Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1955. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna, dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender. Sebelum munculnya usulan dia ini, jarang sekali kata "gender" digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebar luas sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender[6]. Dari makna ini kemudian mngerucutlah pada gerakan feminisme.
II.                  Konsep istidlal dan maqashid Syariah bagi pegiat Gender
                Bagi pelajar ilmu tafsir, mungkin istilah tafsir hermeneutik sudah tak asing didengar, yang mana ini adalah salah satu konsep yang dipakai oleh kaum liberalis, feminis dan konco-konconya. Alat ini yang sering digunakan sebagai landasan mereka dalam meraih interpretasi Qur’an. Selain itu, dalam meraih kongklusi-kongklusi hukum tak jarang mereka bermain dalam konteks istidlal. Karena doktrin di awal mereka menganggap kebijakan-kebijakan dalam nushus  banyak yang tak relevan dengan era sekarang, wal hasil mereka melegalkan metode baru ciptaan mereka dengan simbol bernamakan maqashid syariah yang tentu sudah tidak orsinil lagi. Pendekatan-pendekatannya adalah sebagai berikut :
a.       Pendekatan sejarah
Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai bagian dari unsur sejarah dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran. Artinya sebagai produk budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema perempuan dan gender[7].
b.      Pendekatan sosiologis dan antropologis
Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial, maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan[8].
c.       Pendekatan psikologis
Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk agama tertentu. Dari sini akan dimunculkan sebuah madzhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme. Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari kebaikan dari berbagai agama[9].
Maqashid versi Liberalis
                selain metode kontekstualitas dalam penafsiran, kaum liberal tak jarang menamakan sebuah konsep bernamakan maqashid. Yaitu mengambil tujuan dan substansinya sesuai dengan nilai-nilai etis universal, bukan formal nushus yang mana sifatnya bisa saja temporar menurut mereka[10]. Ustadz Fahmi Salim,MA dalam debatnya bersama Abdul Moqsith Gozali, memberikan beberapa highlights beberapa pandangan tokoh liberal yang telah dengan sengaja meliberalkan syariah Islam dengan dalih Maqashid lebih utama ketimbang nushus textual. Karena maqashid bisa dikontekstualkan dengan situasi kontemporer hingga islam tidak kaku dan beku. Di antaranya adalah : perkataan Dr. Muhammad Jabir dalam kitabnya Bunniyatul ‘aqli al aroby halaman 47. Beliau menuding bahwa usul fiqh sejak era Syafi’iyah adalah terlalu sibuk pada pemahaman bahasa saja tanpa menoleh pada konteks yang berlaku serta maslahatnya.
حكم على علم الأصول منذ الشافعي الى الغزالي بأنه كان يطلب المعاني من الألفاظ .فجعلوا الاجتهاد اجتهادا في اللغة التي نزل عليها القرآن فكانت النتيجة أن شغلتهم المسائل اللغوية عن المقاصد الشرعية فعمقوا في العقل البياني وفي النظام المعرفي الذي يؤسس خاصيتين لازمتاه منذ البداية الأولى هي الانطلاق من الألفاظ الى المعاني ومن هنا أهمية اللفظ ووزنه في التفكير البياني والثانية هي الاهتمام بالجزئيات على حساب الكليات الاهتمام باللفظ و أصنافه على حساب مقاصد الشريعة         
ushul fiqh Islam sejak dicetuskan di era Imam Syafi’I hingga Al-Ghazaly, selalu mencari makna dari redaksi lahiriah teks. Para ulama Islam memformat ijtihad hanya sebatas ijtihad di bidang bahasa Al-Al-Qur’an saja. Akibatnya mereka disibukkan oleh pengkajian bahasa daripada maqashid (tujuan-tujuan luhur) syari’ah. Mereka mendalami logika/nalar retoris dan system episteme yang melandasi 2 ciri khas berfikir:
1. Bertolak dari redaksi untuk menuju makna, sehingga teks/redaksi berperan besar sekali dalam corak berfikir bayani, dan
2. Fokus kepada hal-hal partikuralistik dan abai terhadap nilai-nilai universal, perhatian kepada lafaz dan jenis-jenisnya sehingga mengabaikan maqashid syariah[11].
Selain itu, ada lagi perkataan Muhammad Said al-Asymawi dalam kitabnya Ushulu Syariah :
تطبيق الرجم يبدو أنه من خصوصيات رسول الله صلى الله عليه وسلم[12]
Penerapan hukum rajam adalah keistimewaan Rasulullah SAW saja.
III.                Maqashid menurut ulama salaf dan rambu-rambunya
Bila mengkaji kitab-kitab klasik, nampaknya ulama-ulama terdahulu sudah mampu menerka apa yang akan terjadi di era mendatang, maka dari itu mereka menetapkan rambu-rambu dalam menerapkan dan memahami maqashid itu sendiri, hingga tidak bablas dalam istidlal.  Imam Syafi’I dalam kitab ar-risalah berkata :
ليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة الا في كتاب الله الدليل على سبيل الهدى فيها.[13]
بأن استنباط الأدلة يكون إما بنص القرآن او سنة نبوية او ما فرض الله على خلقه من الاجتهاد وفي طلب[14]
Tiada satupun perkara/peristiwa yang dialami oleh pemeluk Islam kecuali di dalam kitabullah terdapat dalil petunjuk yang meneranginya. Konklusi hukum Islam dapat ditempuh dengan cara ditarik dari petunjuk teks/nash Al-Al-Qur’an dan sunnah atau ijtihad yang telah Allah wajibkan kepada makhluknya untuk mencari petunjuk-Nya.
Dipertegas oleh imam As-syatibhi :
إذا تعارض النقل والعقل على المسائل الشرعية فعلى شرط ان يتقدم النقل فيكون متبوعا و يتأخر العقل فيكون تابعا فلا يسرح العقل في مجال النظر إلا بقدر ما يسرحه النقل[15].
فالعقل غير مستقل البتة ولا ينبني على غير أصل وإنما ينبني على أصل متقدم مسلم على الاطلاق ولا أصل مسلم إلا من طريق الوحي.
لأن العقل اذا لم يكن متبعا للشرع لم يبق له الا الهوى والشهوة
Jika dalil naqli dan akal bertentangan dalam soal-soal cabang syariah maka syaratnya harus didahulukan dalil naql sbb ia harus diikuti, dan dibelakangkan dalil akal sb ia harus mengekor. Dalil akal tidak boleh lepas begitu saja dalam menilai persoalan kecuali dalam batas yang telah disisakan/ditinggalkan oleh dalil naql.
Akal itu tidak independen sama sekali dan bukan tanpa dasar/asas yang kuat. Tetapi akal itu harus berdiri di atas fondasi kuat yang disepakati/ditaati secara absolut. Dan tak lain fondasi yang absolut itu adalah wahyu/naqli.
Karena jika akal tidak mengikuti petunjuk syar’I, maka yang tersisa hanyalah hawa nafsu dan syahwat belaka
Perbedaan signifikan antara liberalis dan ulama salaf dalam memahami maqashid adalah bahwa para ulama mencari dan menggali esensi dan tujuan dari hukum bersumberkan dari teks nushus, sementara kaum liberal mencari-cari korelasi hukum dengan eksistensi gaya hidup, intinya hukum islam baik yg dzanniyah ataupun qot’iyyah dipaksa untuk ikut perkembangan zaman.
Rambu-rambu Maqashid syariah
agar tidak melenceng jauh menjadi liberal, ulama sudah memagari maqashid syariah dengan rambu rambu, di antaranya sebagai berikut :
الأصل في العبادات بالنسبة الى المكلف التعبد دون الالتفات الى المعاني والاصل في احكام العادات الالتفات الى المعاني
Hukum asal peribadatan adalah tidak menoleh kepada makna, sebaliknya hukum adat/kebiasaan boleh menilik kepada maknanya.
   المقصد الشرعي من وضع الشريعة هو إخراج المكلف عن داعية هواه حتى يكون عبدا لله اختيارا كما هو عبد الله اضطرارا
Tujuan meletakkan syariah adalah membebaskan mukallaf dari dorongan nafsunya agar menjadi hamba Allah secara sadar maupun terpaksa.
   إذا سكت الشارع عن أمر مع وجود داعي الكلام فيه دل سكوته على قصده الى الوقوف عند حد ما شرع
Jika syari’ mendiamkan sesuatu hal, padahal ada faktor kuat untuk memberikan hukum dalam soal itu, maka diamnya itu menunjukkan kehendaknya agar tetap/berhenti pada batas apa yang Ia syariatkan.
C.                  Kesimpulan
Maqashid Syariah adalah suatu prinsip dasar ilmu usul fiqh yang terdiri dari aturan dan standar pasti agar tidak dijadikan alat untuk merelatifkan teks kemudian mengeliminasi hukum-hukum agama yang sudah pasti ketetapannya. Tujuan-tujuan syar’I tidak dapat dibangun berdasarkan asumsi belaka, Imam syatibhi peletak dasar ilmu maqashid telah menetapkan aturan mainnya, namun hal itu tak digubris oleh para liberalis engan dalih mereka yang warna-warni. Hal ini jika dibiarkan tanpa counter maka akan berimbas kepada disfungsi metode istidlal dan desakralisasi rambu-rambu maqashid. Wallau a’lam bishhowab

               



[1] Salahuddin Mirkh, Henri. Pengaruh Gender terhadap konsep wahyu dan Tafsir. Makalah.Garut. 2012
[2] Ibid
[3] Bahri,MA, Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[4] . As-Syarofi, Abdul Majid, Dr. الإسلام بين الرسالة و التاريخ. 2005. ص 72
[5] Bahri,MA, Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[6] ibid
[7] Bahri,MA, Dr. Saiful. Kesetaraan gender dan desakralisasi agama. Makalah. 2011
[8] ibid
[9] ibid
[10] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[11] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/          
[12] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[13] http://mymfb.com/blog/46834/konsep-maqashid-syariah-antara-islam-dan-paham-liberal/
[14] الشاطبي. الموافقات. دار الحديث. القاهرة. 2006
[15] الشاطبي. الموافقات. دار الحديث. القاهرة. 2006

Tidak ada komentar: