Jumat, 15 Mei 2009

X 28



Seperti halnya Ahmad, Ma’mun, dan Herman, akupun hanya bisa diam terpaku sore itu ditengah taman asrama seraya sesekali melihat ke arah para beberapa mahasiswa asal Somalia yang asyik bermain bola di bagian kiri area parkir. Tidak cukup lapang memang tempat parkir yang mereka gunakan untuk main bola tersebut. Namun bagaimanapun, sepetak tempat berpafing itu sudah cukup bagi mereka untuk sekedar bersama melepas jenuh, mengeluarkan keringat, berbagi kebahagiaan dengan sesama mahasiswa rantau berkulit hitam itu. Pemandangan berbeda terlihat di sebelah kanan area parkir. Ya, para mahasiswa Pakistani yang lagi enjoy dengan bidang olah raga favorit mereka, apalagi kalo bukan cricket. Begitu antusiasnya para penonton bertepuk tangan kepada baller yang berhasil mengecoh lawannya hingga gagal menangkis bola. Riuhnya tepuk tangan itu tetap tak menggoyahkan interes kami untuk berpaling dari soccer, basket ball dan volley yang lebih berkeringat, lebih enerjik, lebih membakar keringat dan tentunya lebih bertenaga dibanding permainan cricket yang menurut kami terkesan kurang fun, monoton, ya...gitu-gitu aja. Namun bagaimanapun, aku tetap acung jempol buat Pakistan, dengan tetap konsisten bermain cricket hingga tim merekapun bisa masuk kelas international untuk game ini. Tak jauh dari keramaian sejumlah mahasiswa somali dan pakistani dengan olahraga masing-masing sore itu, tampak sederetan taxi yang ngetem alias mangkrak menunggu penumpang datang, sementara beberapa terlihat bercakap-cakap saling tawar harga dengan calon penumpangnya, beberapa yang lain tampak santai duduk menunggu penumpang, penuh harap tapi tanpa usaha. Memang, aku sempat berpikir tentang mereka para supir taxi Pakistan yang kurasa cukup kuat tawakkalnya, tapi gak dibarengi ikhtiar dan do’a sebelumnya. Mereka rela menunggu berjam-jam duduk di dalam taxi hingga penumpang datang, dibanding keliling mencari penumpang. Pikirku, bila dalam satu jam digunakan untuk operasi keliling pasar saja, kira-kira dalam durasi kurang dari setengah jam, satu penumpang sudah bisa digaet. Dibandingkan hanya menunggu dan menunggu, itupun kalau ada penumpang, waktu terbuang sia-sia. Hmmmhh... however, mereka terkesan malas menurutku. Memangnya rejeki Allah itu langsung turun begitu saja apa...?aku sempat berpikir demikian. Bagaimana tidak, kita semua tahu rezeki itu memang sudah atas otoritas Tuhan, kapan dan kepada siapa saja akan dilimpahkan. Namun, kita juga dituntut untuk berusaha meraihnya,dan itu sudah menjadi perintah mutlak dari sang Kholik kepada hamba-Nya.

Selasa, 12 Mei 2009

Karena Aku Lelaki


-->


Siang itu di jalan raya depan asrama putra.
“piche karo!! Piche chand log reh gay hein..!!” teriak kenek bus kampus menyeru kepada para penumpang yang berdiri untuk mundur karena ada beberapa penumpang yang masih di luar bus.
Hmmh...suasana seperti ini sudah sangat familiar bagiku, berdiri di dalam bus kampus yang pengap, sesak, berdesakan. Udara di dalam bus terkontaminasi bau badan orang-orang yang setelah seharian beraktifitas , Pakistani khususnya. Bercampur aroma parfum penumpang lain yang beraneka ragam, mual. Entahlah, dari situ aku sering bertanya-tanya, masa sih ada aja orang yang gak sempat meluangkan waktu 30 detik aja untuk make deodorant. Ditemani deruan suara bus, berisiknya beberapa penumpang yang asyik ngobrol satu sama lain, akupun enjoy di dalam bus ditengah udara Islamabad yang bertemperatur 37 derajat siang itu. Cukup panas memang, tapi bukan alasan bagiku untuk berhenti berbuat, malas-malasan di dalam kamar di bawah belaian dinginnya kipas angin, tidak.