Selasa, 11 Oktober 2016

Diharamkan Melakukan Hal yang Belum Pernah Dilakukan Nabi?


Oleh: Firman Arifandi, LLB

Terdapat polemik menarik antar muslim saat ini, dimana dalam menghadapi sebuah permasalahan yang dianggap baru seringkali ditangkal dengan perkataan “kalau Rasulullah tidak pernah melakukan maka haram bagi kita melakukannya”. Dari sini timbul pertanyaan besar, apakah salah satu sebab keharaman sebuah perkara itu adalah karena Rasulullah dalam hidupnya tidak pernah mengerjakan? Kemudian apakah lantas hal ini bisa menjadi landasan atas pengharaman segala hal yang baru dilakukan setelah nabi wafat?

Definisi Hukum Haram dan Identifikasinya Melalui Nushus

Jumat, 01 Juli 2016

Begadang Mencari laila

Lesehan #8
Menjelang hari-hari ganjil di sepuluh akhir Ramadhan, masjid-masjid mulai ramai oleh orang-orang yang melakukan I’tikaf. Dalam hal ini tentu ada satu motivasi yang menguatkan mereka untuk berdiam lama di masjid dengan dzikir dan ibadah lainnya, apalagi kalau bukan mengencangkan ibadah guna meraih lailatul Qadar, yang dalam al-quran sendiri malam tersebut sangat diistimewakan dengan turunnya malaikat dengan membawa rahmat ke bumi, menulis langsung setiap do’a, dan menghapuskan permohonan ampun yang diucapkan malam itu hingga menjelang fajar.

                Motivasi yang menggiurkan ini membuat mas Nur, gus Hikam, termasuk saya dan kawan-kawan lainnya sepakat untuk turut serta menghidupkan malam di sepuluh akhir dengan I’tikaf juga. Pada suatu kesempatan saat hendak melaksanakan shalat malam, kang Julay mendapati mas Nur masih duduk berdizikir dan berdoa sangat lama sekali, sejak bubar tarawih hingga menjelang waktu sahur.

“begadang mas?” tanya kang Julay ketika mas Nur beranjak dari tempatnya untuk sahur.

“iya kang” jawabnya, tersenyum ringan.

“ngapain aja?” penasaran kang Julay.

Selasa, 28 Juni 2016

Galau Religi Ba’da Witir

Lesehan #7

Dalam satu kesempatan di tengah-tengah waktu I’tikaf, mas Rahman mendapati kang Julay melakukan shalat tahiyatul masjid dimana sebelumnya dia baru saja menyelesaikan shalat tarawih berjamaah yang pastinya telah ditutup dengan witir, dan ceritanya kang Julay sempat keluar ke toilet selepas witir tadi, lalu kembali masuk ke masjid.

“loh gus, kok sholat sunnah lagi? Bukannya tadi sudah witir?” tanya mas Rahman keheranan.

“iya gak apa-apa mas, kan baru masuk masjid lagi setelah keluar tadinya, jadi shalat tahiyyatul masjid” jawab kang Julay santai.


Minggu, 26 Juni 2016

I’tikaf Liga Euro

Lesehan #6

Selepas acara buka bersama di KBRI Islamabad malam itu, terjadi obrolan santai antara sejumlah kawan-kawan sembari menikmati angin malam yang sedikit lebih segar dibanding siang saat summer.

“ah sudah mau masuk sepuluh akhir aja nih ya, pada mau i’tikaf gak?” Ujar kang Fikri

“insyaAllah lah, saya mau mulai besok malam atau masuk malam 21 saja” jawab mas Rahman

Minggu, 19 Juni 2016

Sah Tapi Kurang Etis


Lesehan #5

                Pada suatu kesempatan, saya dan gus Hasan shalat dzuhur berjamaah di salah satu masjid kecil di Islamabad. Ada pemandangan unik di shaf depan kami, di mana salah satu dari jamaah mengenakan pakaian yang lusuh dan sangat kotor. Saya sendiri mengakui bahwa hal tersebut justru mengganggu konsentrasi saat shalat, karena tepat sekali berada di depan saya. Yak, seperti pada foto yang anda lihat itu tepatnya, karena sehabis shalat langsung saya jepret.

Maka dibukalah obrolan setelah shalat oleh gus Hasan, “lihat yang tadi cak? Gimana menurut sampeyan?”

Selasa, 14 Juni 2016

Ramadhan, Bulan Eyel-eyelan


Lesehan #4

                Beberapa hari lalu  gus Hikam kirim pesan melalui WA ke handphone saya, beliau resah dengan perdebatan di kajian yang sempat diikutinya. Yagh…seperti biasa, pembahasan fiqih Ramadhan yang setiap tahunnya tak henti-henti dikaji, dengan tema yang sama, kontroversi yang sama, dan tak kalah penting eyel-eyelan yang sama. Apalagi kalau tidak seputar jumlah tarawih dengan jumlah 23 rakaat atau 11 rakaat.

Entah benar atau tidak, menurut saya perdebatan seperti ini biasanya hanya terjadi di kalangan level warung kopi saja, dimana siangnya mereka yang ribut soal jumlah rakaat tarawih, eh malamnya justru gak ikutan tarawih malah berjamaah ke pasar, nongkrong ke café, atau sok sibuk alasan ada kumpul, dan lain-lain.

Sabtu, 11 Juni 2016

Booking Ruangan unik di Surga

lesehan  #3

Sore kemarin sambil menunggu jemputan mobil ke Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk undangan buka bersama, terjadi obrolan menarik antara gus Hasan dan kang Abduh, sementara saya hanya menjadi pendengar setia.

“kang Abduh, sampeyan tau ndak ada sebuah riwayat  yang muttafaq  ‘alaih menjelaskan tentang salah satu karakter kanjeng Nabi bahwasanya beliau SAW adalah orang yang paling dermawan dan kedermawanan beliau itu makin kenceng saat masuk bulan ramadhan?”

“insyaAllah saya tau gus, kalo ndak salah bunyinya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ
dari Ibnu bin ‘Abbas, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan beliau bertambah pada (bulan) Ramadhan ketika malaikat Jibril datang menemui nya. Jibril biasanya datang menemui beliau setiap malam pada (bulan) Ramadhan untuk membaca al-Qur’an kepada nya. Sungguh kedermawanan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam lebih baik daripada angin yang berhembus.” (Muttafaq ‘alaih)

Rabu, 08 Juni 2016

Gusti Allah Gak Pernah PHP

Lesehan  #2

Sore tadi sengaja ngabuburit sama kang Abduh dengan menelusuri salah satu sektor kecil di bagian kota Islamabad. Ada pemandangan khas sepanjang Ramadhan di negara ini yang mungkin akan sangat jarang sekali kita temukan di tanah air, yakni banyak tersedianya lapak iftar dan berbuka  untuk umum tak terkecuali bagi musafir dan orang-orang miskin di area publik seperti di pasar, masjid, dan bahkan di trotoar-trotoar. Semua itu sengaja disediakan oleh para dermawan. Bukan sekedar membagi-bagi bungkusan takjil  kemudian berlalu, tapi ini benar-benar menggelar tikar atau karpet sehingga siapa saja yang lewat boleh ambil bagian di situ. Untuk mengundang kehadiran banyak orang, karpet dan tikar ini sudah digelar terlebih dahulu sejak Ashar.

“nampaknya ini yang spesial dari penduduk negara Ali Jinnah dalam menjadikan Ramadhan benar-benar bulan yang berkah, mereka rela berbagi kegembiraan karena sama-sama merasakan lapar dan seolah menjadi konsekuensi untuk sama-sama merasakan kenyang dengan makanan yang sama pula ya cak” kata kang Abduh

Selasa, 07 Juni 2016

Kata Siapa Ramadhan Itu Spesial?

Lesehan #1

Sore tadi Kang Abduh memulai obrolan dengan saya seraya menunggu waktu berbuka, seperti ada kejanggalan dalam hatinya yang membuat beliau harus buka mulut, tapi kali ini gak sambil makan pisang goreng, lah wong puasa.
“cak…menjelang Ramadhan itu semua orang mulai dari yang di sawah-sawah sampe yang di TV pada ngeributin hilal atau hisab, ikut pemerintah apa ormas, sama mulai bermunculan pertanyaan-pertanyaan seputar amailyah yang dari tahun ke tahun yang selalu sama tapi ga bosan-bosan dilontarkan lagi dan dijawab dengan jawaban yang sama pula, Agama ini jadi berasa monoton, warnanya gitu-gitu tok!” seru kang Abduh

Sabtu, 04 Juni 2016

Pendapat Ulama Tentang Qadha Puasa Ramadhan yg Tertunda Hingga Bertemu Ramadhan Selanjutnya.

ringkasan oleh : Firman Arifandi

Jumhur ulama sepakat bahwa bila tertundanya karena udzur syar'i seperti nifas, menyusui, hamil, sakit parah yg berkelanjutan, maka boleh dan tidak ada pembebanan lain selain membayar qadha'nya.

namun bila tanpa udzur syar'i, para ulama berbeda pendapat:

1. Ibnu Qudamah (Hanabilah), Ibnu Hajar Al Haitami (Syafi'iyah) : wajib mengqodho' sejumlah hari yg ditinggalkan dan membayar fidyah (memberi makan satu orang sebanyak satu mud) sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. jadi jika meninggalkan puasa 4 hari dan belum mengqadha sampai Ramadhan selanjutnya, menurut madzhab ini wajib bayar qadha' 4 hari dan fidyah 4 hari. (lihat : kitab al mughni li ibni Qudamah 3/154 & tuhfatul muhtaj li ibni hajar al haitami 3/445)

sementara beberapa golongan Syafiiyah yg lain berpendapat bahwa selain bayar qadha'  jumlah fidyahnya dihitung sesuai periode tahun yg ditinggalkan. misalkan meninggalkan puasa 4 hari dan belum qadha hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, 
maka, qadha' 4 hari + fidyah 4 x 2 periode ramadhan = 8 hari bayar fidyah
total : 4 qadha + 8 fidyah
(lihat : al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)


2. Ibnu Hummam (Hanafiyah) + Al Muzani (Syafiiyah) : cukup bayar Qadha di luar ramadhan dan tidak perlu bayar fidyah. (lihat : bidayatul mujtahid 1/240, al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

wallahu a'lam bisshowab

Pulang ke Indonesia Ikut Awal Puasa Negara Setempat Atau Indonesia?


Oleh : Firman Arifandi, LLB
I.              LATAR BELAKANG
Sejumlah Negara kadang berbeda dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan yang mulia, ada yang berbeda sehari bahkan pernah ada yang perbedaannya hingga dua hari. Hal ini tidak menjadi masalah karena ru’yatul hilal bisa terjadi berbeda waktu di negara dan tempat yang berbeda, dan yang dianjurkan adalah mengikuti waktu hilal setempat. seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat:
عنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami[1].

Minggu, 22 Mei 2016

Fatwa Ulama Seputar Puasa di Negara Dengan Durasi Siang yang Panjang


Firman Arifandi, LLB.
Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kondisi cuaca yang mendukung, temperatur udara yang bersahabat, serta durasi waktu yang stabil sudah menjadi perihal yang lumrah bagi muslimin di Indonesia. Namun di belahan bumi lain, terlebih di negara yang mempunyai empat musim, akan menimbulkan sejumlah pertanyaan besar bagi mereka. Yakni tatkala bulan puasa berbarengan dengan musim panas yang ekstrim, dimana daylight bisa berdurasi delapan belas jam bahkan lebih, serta menyisakan malam yang sangat pendek sekali. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagaiamanakah muslimin di sana harusnya berpuasa?

Selasa, 05 April 2016

Responsif Berujung Beruntung atau Buntung

Suatu hari, salah satu santri kehilangan uang di kamarnya.  Pengurus asrma langsung saja mengumpulkan anggota kamar tersebut untuk diperiksa. Setelah melakukan investigasi, didapatlah kesimpulan bahwa pencuri uang tersebut kemungkinan besarnya adalah anggota di kamar itu sendiri. Sekian lama melakukan interogasi satu persatu kepada tiap anggota di kamar,  tidak satupun mampu dicurigai sebagai pelaku. Akhirnya, sang pengurus asrama menutup acara inverstigasi dan menyuruh semua untuk bubar dan bergegas keluar kamar. Ketika anggota perlahan mulai mendekati pintu kamar, sang pengurus asrama berteriak “nah… ini ketinggalan uangnya yang hilang”. Spontan salah satu anggota langsung menoleh sambil merogoh kantongnya. Anggota tersebut langsung dibawa ke ruang keamanan untuk diinterogasi karena mencurigakan, walhasil, terbukti dia yang mencuri uang temannya.
Cerita lain, dalam sebuah angkot tiba-tiba saja tercium bau kentut. Para penumpang mulai protes karena baunya menjadi-jadi dan tidak ada yang mau ngaku. Tak kehabisan akal, sang kondektur menagih uang semua penumpang lantas berteriak “yaelah…yang kentut belum bayar nih!” spontan saja salah satu penumpang menimpali “enak aja, tadi sudah saya bayar”. Tak lama diapun terdiam malu, dan semua pandangan penumpang tertuju padanya sambil menutup hitung.
Lalu apa pelajaran yang kita peroleh dari dua cerita fiktif di atas?

Selasa, 29 Maret 2016

Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum

Sejarah, Urgensi, dan Sistematikanya
Oleh : Firman Arifandi, LLB[1]
PENDAHULUAN
Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang dipandang esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah aqidah dan akhlaq, polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau, hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh hasil ijtihad para ulama yang tidak menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat dari tiap kalangan. Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta komunitas memaksa fiqih mengalami  evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah yang paten. Hingga  munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum. 

KETIKA GONTOR (KATANYA) WAHABI

refleksi ini ditulis dari hasil obrolan saya dengan kawan dekat. dalam obrolan itu beliau menyayangkan bbrpa alumni gontor di sudan yg pemikiranya mudah ikut arus pemikiran kelompok salafi wahabi yg keras, pulang2 ke indo jadi tokoh da'i wahabi yg sedikit2 teriak haram, bid'ah, kafir.
dia bertanya, gontor emangnya bermanhaj seperti apa? kenapa kok bnyak saya lihat yg pemikirannya keras?

Jumat, 01 Januari 2016

Fatwa Sektarian di Pakistan Bibit Konflik Tanpa Henti


Oleh : Firman Arifandi
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri dalam isu keamanan di negara Republik Islam bentukan Ali Jinnah ini adalah tragedi konflik antar sekte. Bila melihat kepada data yang diambil dari South Asia Terrorism Portal, sedikitnya telah terjadi lima puluh tiga kali insiden yang merenggut 276 nyawa dan menelan 327 korban luka-luka sepanjang tahun 2015. tentu ini bukan angka sedikit, meski dibandingkan dengan angka di tahun 2012 yang jauh lebih besar yakni 173 insiden, dan kesemuanya didominasi oleh konflik Sunni-Syiah.