Lesehan #6
Selepas acara
buka bersama di KBRI Islamabad malam itu, terjadi obrolan santai antara
sejumlah kawan-kawan sembari menikmati angin malam yang sedikit lebih segar
dibanding siang saat summer.
“ah sudah mau masuk sepuluh akhir
aja nih ya, pada mau i’tikaf gak?” Ujar kang Fikri
“insyaAllah lah, saya mau mulai
besok malam atau masuk malam 21 saja” jawab mas Rahman
“lah gimana bisa dimulai malam,
wong i’tikaf itu dalam keterangan dari riwayat Aisyah RA mengatakan bahwa
kanjeng Nabi mulai i’tikafnya dari setelah shalat subuh kok” tegas gus Hasan.
“bahkan ya masyruiyahnya berdiam
aja sepanjang sepuluh akhir di dalam masjid, nutup i’tikafnya pas turun ke
lapangan hari Eid” tambahnya.
“lah kalo mau mandi, makan,
belanja buka puasa, masak, wudhu, ke toilet gimana dong gus kalo diharuskan
berdiam di masjid sepanjang sepuluh hari itu?” tanya Rahman
“lah ya jelas, ga i’tikaf lagi
namanya, batal sudah” jawab gus Hasan.
“bener gitu cak?” tanya mas
Rahman, pandangannya beralih ke arah saya yang sedari tadi menjadi pendengar
setia
“lah kok nanya ke saya mas, tadi
yang ngomongin dalilnya kan gus Hasan, bukan saya” jawab saya simpel.
“kayaknya asyik nih kalo
dijelaskan singkat saja cak, terkait fiqih I’tikaf, terus pandangan para ulama
juga gimana gitu, biar obrolannya manfaat nih” ujar kang Fikri
“ya gak singkat namanya kang kalo
pake nyebutin pendapat tiap-tiap madzhab plus dalilnya, itu namanya bukan
obrolan tapi pengajian, hahaha…” sanggah saya
“ya ndak apa-apa cak, kalo
teman-teman yang kuliah agama, pernah nyantri, kan enak pada tau semua soal
beginian, nah kami yang ndak pernah nyentuh kitab ini kan butuh sharing dari jenengan
semuanya ini” ujar pak Sukur
Berbicara soal
i’tikaf nih, sebenarnya ini adalah bentuk ibadah yang tidak rumit, secara
definisi semua ulama sepakat bahwa ini adalah bentuk ibadah dengan cukup
berdiam diri masjid. Tentang dalil masyru’iyahnya, baik dari qur’an ataupun
dari Hadist semuanya ada. Saya yakin jenengan semua banyak dengar tentang itu
baik di pengajian-pengajian ataupun baca artikel.
Nah yang
menjadi ikhtilaf antar ulama di antaranya adalah kriteria masjidnya. Ada yang
berpendapat bahwa masjid yang sah untuk menggelar I’tikaf di dalamnya hanya di Masjidil
Haram, Masjid Nabawi dan Baitul Maqdis saja, itu menurut Hudzaifah dan Said Bin
Musayyab. Pendapat selanjutnya membolehkan semua jenis masjid, baik yang
bentuknya kecil seperti surau atau yang lebih besar lagi, hal ini merupakan
pendapat jumhur yakni dari imam Syafi’I, imam Abu Hanifah, imam Tsauri, dan
yang masyhur dari pendapat imam Malik. Kemudian pendapat ketiga, adalah masjid
yang dihadiri orang-orang untuk shalat jum’at, hal tersebut merupakan nukilan
dari riwayat ibnu Hakam dari salah satu pendapat imam Malik. Bisa dibuka di
kitab bidayatul mujtahid.
Ikhtilaf selanjutnya
pada durasi I’tikaf, berapa lama nih durasi kita harusnya I’tikaf di dalam
masjid. Imam Malik dalam satu dari perkataanya mengatakan sekurang-kurangnya
tiga hari, dalam perkataan lain mengatakan sehari semalam. Kemudian Ibnu Qosim
berpendapat paling sedikit untuk i’tikaf adalah sepuluh hari, lalu disambut
oleh orang sahabat-sahabatnya di baghdad bahwa sepuluh hari itu adalah hukumnya
mustahab, sementara sekurang-kurangnya adalah 3 hari. Kemudian pendapat
terakhir adalah pendapat imam Syafi’I, imam Abu Hanifah dan sebagian besar
fuqaha’ yang mengatakan bahwa tidak ada batas durasi i’tikaf, maka boleh sejam,
boleh dua jam atau hingga sepuluh hari, yang jelas dia cukup berdiam di masjid
dalam rangka niat taqarrub kepada Allah dengan membaca Qur’an, Dzikir, shalat
sunnah, dan amal soleh lainnya, ditambahkan oleh imam Syafi’I dalam pendapatnya
bahwa minimal durasinya adalah sedikit lebih lama dari panjang tuma’ninahnya
orang shalat sehingga benar-benar dikatakan ukuf atau berdiam diri.
Kemudian kapan
awal masuk i’tikaf yang sesuai ajaran syariat? Secara garis besar ada dua
pendapat, pendapat pertama mengatakan awal masuk i’tikaf adalah setelah subuh,
dan pendapat kedua adalah dimulai sejak sebelum masuk maghrib.
Kelompok yang
mengatakan agar i’tikaf dimulai setelah subuh, dianataranya adalah Auza’i,
Tsauri, dan imam Laits. Mereka berdalil dengan riwayat dari Aisyah RA :
كانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى
الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apapbila hendak i’tikaf, beliau shalat subuh kemudian
masuk ke tempat khusus untuk i’tikaf beliau.” (HR. Bukhari Muslim)”.
menanggapi hadist Aisyah di atas,
imam Nawawi dalam syarah muslimnya bab 8 halaman 69 mengatakan :
وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ
الْمُعْتَكَف , وَانْقَطَعَ فِيهِ , وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح
, لا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الاعْتِكَاف , بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل
الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد , فَلَمَّا صَلَّى
الصُّبْح اِنْفَرَد
“Mayoritas
ulama memahami hadis di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke
bilik i’tikaf, memisahkan diri, dan menyendiri setelah beliau melakukan shalat
subuh. Bukan karena itu waktu mulai i’tikaf, namun beliau sudah tinggal di
masjid sebelum maghrib. Setelah shslat subuh, beliau menyendiri.”
Hal ini juga dijadikan landasan oleh kelompok kedua yang
mengatakan bahwa Rasulullah memulainya sejak sebelum maghrib.
Adapun kelompok kedua yang
mengatakan memulai i’tikaf pada sore sebelum maghrib adalah pendapat bahwa awal
masuknya bulan adalah keika gelap, maka begitu juga dalam memaknai hari.
Sekalipun ternyata dalam lisan arab kata “yaum” atau hari bisa bermakna
siangnya saja atau paduan siang dan malam. dalil yang memperkuat kelompok ke
dua adalah:
عن
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعتكف في العشر الأوسط من
رمضان، فاعتكف عاماً، حتى إذا كان ليلة إحدى وعشرين، وهي الليلة التي يخرج من
صبيحتها من اعتكافه، قال: من كان اعتكف معي فليعتكف العشر الأواخر
Dari Said Al khudry RA : sesungguhnya Rasulullah SAW
pernah beri’tikaf di sepuluh pertengahan dari bulan Ramadhan, kemudian beri’tikaflah
pula orang-orang. Hingga masuk malam ke dua puluh satu, dan itu adalah malam di
mana Rasulullah keluar di pagi harinya dari i’tikafnya . maka beliau SAW
berkata: barang siapa yang telah beri’tikaf denganku maka beri’tikaflah di
sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan). (HR. Bukhori & Muslim).
Dan
pendapat kedua inilah yang kemudian lebih banyak diambil oleh mayoritas fuqaha
diantaranya adalah Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah.
“apa
i’tikaf itu boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan kang? Terus kalau di bulan
Ramadhan biasanya kanjeng nabi itu mulai i’tikafnya dari tanggal berapa?” tanya
pak Sukur.
“i’tikaf
di luar bulan Ramadhan boleh karena pada asal hukumnya juga sunnah. kemudian Kalo di bulan Ramadhan, kanjeng
Nabi ngerjakan i’tikaf sejak memasuki sepuluh akhir di bulan Ramadhan seperti
hadist yang diriwayatkan Said al Khudry RA itu pak”
“jadi
kalau lagi i’tikaf kemudian butuh belanja buat kebutuhan berbuka nih, otomatis
kan kluar masjid tuh, berarti batal i’tikafnya ya?” tanya mas Rahman.
“otomatis
iya, tapi kan kalau bersandar kepada pendapatnya imam Syafi’i dan imam Abu
Hanifah Rahimahumallah, kita bisa niat i’tikafnya dengan durasi tertentu saja,
misalkan niatin 3 jam. kemudian setelah 3 jam kita bisa keluar untuk belanja
tadi, atau untuk keperluan lainnya dan itu jelas sudah selesai masa i’tikaf
kita serta tidak membatalkannya ketika keluar belanja” jawab kang Abduh yang
diam-diam sudah ada di situ juga.
“nah
berarti bisa nih ya, niat i’tikaf masuk sejak sebelum maghrib sampe jam 12
malam, selesai durasi itu kita sudahi i’tikafnya dan kemudian nonton Euro.
babak 16 besar lho cak, sayang kalau ketinggalan serunya” tambah Rahman
“ya
sah saja, tapi masak ibadah diakal-akali gitu ntar nambah ke belakang jadi
kebiasaan ngakali ibadah yang lain termasuk yang fardlu” jawab saya.
“kalau
mau lebih liar lagi ngakalinnya sih bawa aja laptop dan modem ke masjid, nonton
streaming tanpa harus keluar masjid, ga batalin I’tikaf tuh. Kan jelas dalam
kitab-kitab fiqih disebutkan hal-hal yang ngebatalin I’tikaf itu adalah Jima’,
kemudian keluar dari masjid tanpa udzur syar’i, murtad, mabuk, nifas atau haid.
Selain itu ya tidak membatalkan kok, hanya saja esensi I’tikafnya jadi
berkurang, karena tujuan utamanya adalah taqorrub ilallah dan mengarap lailatul
qadar” ujar kang Abduh dengan senyum khasnya
“nah
kalo wanita I’tikafnya dimana cak?” tanya Rahman
“wanita
juga boleh melakukan i’tikaf, ada sebuah hadist yang menjadi penguat pendapat
kebolehan ini, yaitu hadist dari Aisyah RA:
أنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ
العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan beliau,
kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR Al
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ahmad)
Yang menjadi ikhtilaf adalah tempatnya, apakah boleh di masjid
rumahnya atau di masjid pada umumnya? Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa tidak sah bagi wanita melakukan I’tikaf di musholla rumahnya
karena istri-istri nabi melakukannya di masjid umum bukan di rumahnya.
Berbeda dengan ketiga imam
lainnya, imam Abu Hanifah dan Tsauri justru membolehkan hal tersebut dengan
dasar keamanan. Abu Hanifah dan Ats
Tsauri juga menyatakan, “Seorang perempun boleh melakukan i’tikaf di rumah. Itu
lebih baik bagi mereka, karena salat mereka di rumah lebih baik daripada di
masjid.”
“wah kalo gitu istri saya dan anak-anak tak bawa saja I’tikaf
di masjid Faishal nanti cak, ntar barengan janjian pulangnya via sms” ujar pak Sukur
“kalo perlu satu keluarga ajak semua I’tikaf pak, sambil
nonton Euro jam 12 malamnya streaming pake laptop dan modem” tambah Rahman
“hadegh…Euro lagi…Euro lagi…ntar greeting di akhir Ramadhan
selain Eid Mubarok sekalian aja pake Syahru Euro Mubarak mas, ingat obrolan
minggu lalu kan? ada hal-hal yang jaiz hukumnya secara kacamata fiqih tapi ga
etis dipandang dalam kacamata akhlaq ” timpal kang Abduh, mengakhiri obrolan malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar