Selasa, 28 Juni 2016

Galau Religi Ba’da Witir

Lesehan #7

Dalam satu kesempatan di tengah-tengah waktu I’tikaf, mas Rahman mendapati kang Julay melakukan shalat tahiyatul masjid dimana sebelumnya dia baru saja menyelesaikan shalat tarawih berjamaah yang pastinya telah ditutup dengan witir, dan ceritanya kang Julay sempat keluar ke toilet selepas witir tadi, lalu kembali masuk ke masjid.

“loh gus, kok sholat sunnah lagi? Bukannya tadi sudah witir?” tanya mas Rahman keheranan.

“iya gak apa-apa mas, kan baru masuk masjid lagi setelah keluar tadinya, jadi shalat tahiyyatul masjid” jawab kang Julay santai.


Minggu, 26 Juni 2016

I’tikaf Liga Euro

Lesehan #6

Selepas acara buka bersama di KBRI Islamabad malam itu, terjadi obrolan santai antara sejumlah kawan-kawan sembari menikmati angin malam yang sedikit lebih segar dibanding siang saat summer.

“ah sudah mau masuk sepuluh akhir aja nih ya, pada mau i’tikaf gak?” Ujar kang Fikri

“insyaAllah lah, saya mau mulai besok malam atau masuk malam 21 saja” jawab mas Rahman

Minggu, 19 Juni 2016

Sah Tapi Kurang Etis


Lesehan #5

                Pada suatu kesempatan, saya dan gus Hasan shalat dzuhur berjamaah di salah satu masjid kecil di Islamabad. Ada pemandangan unik di shaf depan kami, di mana salah satu dari jamaah mengenakan pakaian yang lusuh dan sangat kotor. Saya sendiri mengakui bahwa hal tersebut justru mengganggu konsentrasi saat shalat, karena tepat sekali berada di depan saya. Yak, seperti pada foto yang anda lihat itu tepatnya, karena sehabis shalat langsung saya jepret.

Maka dibukalah obrolan setelah shalat oleh gus Hasan, “lihat yang tadi cak? Gimana menurut sampeyan?”

Selasa, 14 Juni 2016

Ramadhan, Bulan Eyel-eyelan


Lesehan #4

                Beberapa hari lalu  gus Hikam kirim pesan melalui WA ke handphone saya, beliau resah dengan perdebatan di kajian yang sempat diikutinya. Yagh…seperti biasa, pembahasan fiqih Ramadhan yang setiap tahunnya tak henti-henti dikaji, dengan tema yang sama, kontroversi yang sama, dan tak kalah penting eyel-eyelan yang sama. Apalagi kalau tidak seputar jumlah tarawih dengan jumlah 23 rakaat atau 11 rakaat.

Entah benar atau tidak, menurut saya perdebatan seperti ini biasanya hanya terjadi di kalangan level warung kopi saja, dimana siangnya mereka yang ribut soal jumlah rakaat tarawih, eh malamnya justru gak ikutan tarawih malah berjamaah ke pasar, nongkrong ke café, atau sok sibuk alasan ada kumpul, dan lain-lain.

Sabtu, 11 Juni 2016

Booking Ruangan unik di Surga

lesehan  #3

Sore kemarin sambil menunggu jemputan mobil ke Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk undangan buka bersama, terjadi obrolan menarik antara gus Hasan dan kang Abduh, sementara saya hanya menjadi pendengar setia.

“kang Abduh, sampeyan tau ndak ada sebuah riwayat  yang muttafaq  ‘alaih menjelaskan tentang salah satu karakter kanjeng Nabi bahwasanya beliau SAW adalah orang yang paling dermawan dan kedermawanan beliau itu makin kenceng saat masuk bulan ramadhan?”

“insyaAllah saya tau gus, kalo ndak salah bunyinya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ
dari Ibnu bin ‘Abbas, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan beliau bertambah pada (bulan) Ramadhan ketika malaikat Jibril datang menemui nya. Jibril biasanya datang menemui beliau setiap malam pada (bulan) Ramadhan untuk membaca al-Qur’an kepada nya. Sungguh kedermawanan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam lebih baik daripada angin yang berhembus.” (Muttafaq ‘alaih)

Rabu, 08 Juni 2016

Gusti Allah Gak Pernah PHP

Lesehan  #2

Sore tadi sengaja ngabuburit sama kang Abduh dengan menelusuri salah satu sektor kecil di bagian kota Islamabad. Ada pemandangan khas sepanjang Ramadhan di negara ini yang mungkin akan sangat jarang sekali kita temukan di tanah air, yakni banyak tersedianya lapak iftar dan berbuka  untuk umum tak terkecuali bagi musafir dan orang-orang miskin di area publik seperti di pasar, masjid, dan bahkan di trotoar-trotoar. Semua itu sengaja disediakan oleh para dermawan. Bukan sekedar membagi-bagi bungkusan takjil  kemudian berlalu, tapi ini benar-benar menggelar tikar atau karpet sehingga siapa saja yang lewat boleh ambil bagian di situ. Untuk mengundang kehadiran banyak orang, karpet dan tikar ini sudah digelar terlebih dahulu sejak Ashar.

“nampaknya ini yang spesial dari penduduk negara Ali Jinnah dalam menjadikan Ramadhan benar-benar bulan yang berkah, mereka rela berbagi kegembiraan karena sama-sama merasakan lapar dan seolah menjadi konsekuensi untuk sama-sama merasakan kenyang dengan makanan yang sama pula ya cak” kata kang Abduh

Selasa, 07 Juni 2016

Kata Siapa Ramadhan Itu Spesial?

Lesehan #1

Sore tadi Kang Abduh memulai obrolan dengan saya seraya menunggu waktu berbuka, seperti ada kejanggalan dalam hatinya yang membuat beliau harus buka mulut, tapi kali ini gak sambil makan pisang goreng, lah wong puasa.
“cak…menjelang Ramadhan itu semua orang mulai dari yang di sawah-sawah sampe yang di TV pada ngeributin hilal atau hisab, ikut pemerintah apa ormas, sama mulai bermunculan pertanyaan-pertanyaan seputar amailyah yang dari tahun ke tahun yang selalu sama tapi ga bosan-bosan dilontarkan lagi dan dijawab dengan jawaban yang sama pula, Agama ini jadi berasa monoton, warnanya gitu-gitu tok!” seru kang Abduh

Sabtu, 04 Juni 2016

Pendapat Ulama Tentang Qadha Puasa Ramadhan yg Tertunda Hingga Bertemu Ramadhan Selanjutnya.

ringkasan oleh : Firman Arifandi

Jumhur ulama sepakat bahwa bila tertundanya karena udzur syar'i seperti nifas, menyusui, hamil, sakit parah yg berkelanjutan, maka boleh dan tidak ada pembebanan lain selain membayar qadha'nya.

namun bila tanpa udzur syar'i, para ulama berbeda pendapat:

1. Ibnu Qudamah (Hanabilah), Ibnu Hajar Al Haitami (Syafi'iyah) : wajib mengqodho' sejumlah hari yg ditinggalkan dan membayar fidyah (memberi makan satu orang sebanyak satu mud) sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. jadi jika meninggalkan puasa 4 hari dan belum mengqadha sampai Ramadhan selanjutnya, menurut madzhab ini wajib bayar qadha' 4 hari dan fidyah 4 hari. (lihat : kitab al mughni li ibni Qudamah 3/154 & tuhfatul muhtaj li ibni hajar al haitami 3/445)

sementara beberapa golongan Syafiiyah yg lain berpendapat bahwa selain bayar qadha'  jumlah fidyahnya dihitung sesuai periode tahun yg ditinggalkan. misalkan meninggalkan puasa 4 hari dan belum qadha hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, 
maka, qadha' 4 hari + fidyah 4 x 2 periode ramadhan = 8 hari bayar fidyah
total : 4 qadha + 8 fidyah
(lihat : al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)


2. Ibnu Hummam (Hanafiyah) + Al Muzani (Syafiiyah) : cukup bayar Qadha di luar ramadhan dan tidak perlu bayar fidyah. (lihat : bidayatul mujtahid 1/240, al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

wallahu a'lam bisshowab

Pulang ke Indonesia Ikut Awal Puasa Negara Setempat Atau Indonesia?


Oleh : Firman Arifandi, LLB
I.              LATAR BELAKANG
Sejumlah Negara kadang berbeda dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan yang mulia, ada yang berbeda sehari bahkan pernah ada yang perbedaannya hingga dua hari. Hal ini tidak menjadi masalah karena ru’yatul hilal bisa terjadi berbeda waktu di negara dan tempat yang berbeda, dan yang dianjurkan adalah mengikuti waktu hilal setempat. seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat:
عنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami[1].