Minggu, 26 Juni 2011

Hukum Pernikahan Pasca Murtadnya Suami

Hukum Pernikahan Pasca Murtadnya Suami

Oleh : Firman

Pendahuluan

Syariat Islam yang berpondasi kepada Al’quran dan Hadist, dalam penerapanya sangat fokus kepada lima perkara yaitu penjagaan terhadap jiwa, agama, harta, akal, dan ketrurunan (nasab). Pernikahan, dalam hal ini sangat sinkron atas tujuan syariat tersebut. karena dengan menikah unsur penjagaan terhadap jiwa, nasab, dan agama telah terimplementasikan. Maka Alqur’an dan hadist dalam pernikahan, secara komprehensiv juga memberikan aturan main kepada pemeluknya agar tujuan syariah tersebut tercapai. Diantaranya larangan bagi wanita untuk menikah dengan pria non-muslim. Dalam qur’an surah Al Baqoroh ayat 221 ditegaskan :

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan dengan izin-Nya.

Dari keterangan ayat di atas, subjek pelarangan wanita muslim untuk menikah dengan pria non muslim adalah untuk penjagaan terhadap agama, karena pada hakikatnya sang istri harus patuh kepada suami, ditakutkan nantinya sang istri yang akan terbawa pada agama suami, dan fenomena inilah yang seringkali kita saksikan. Hal kedua adalah penjagaan nasab ataupun keturunan, diharapkan dari pernikahan dalam Islam adalah untuk menghasilkan keturunan yang mampu menjaga izzah Islam. Namun kemungkinan tersebut sangatlah tipis bila sang ayah adalah seorang non-muslim.

Ironisnya, saat ini timbul sebuah fenomena dimana untuk melangsungkan pernikahan yang sah secara hukum di Indonesia. Pihak calon suami yang non-muslim menjadi mualaf agar bisa diterima akadnya. Namun dalam jangka waktu tertentu sang suami pasca pernikahan kembali murtad dan kembali aktif pada ritual agamanya yang semula. Dari sini timbullah pertanyaan, bagaimana hukum pernikahanya? Apa saja hak-hak yang dimiliki baik istri ataupun suami pasca murtadnya suami? hal ini akan kita rinci secara detail.

Pengertian “Murtad” dan Hukumnya Dalam Islam

Kata murtad berasal dari kata riddah dalam islam yang artinya berpindah, terminologi ini kemudian secara konteksnya bermakna keluar dari Islam. Maka bagi mereka yang keluar dari agama Islam dikatakan sebagai kaum murtad. di dalam syariat Islam, menjadi kafir setelah sebelumnya memeluk agama Islam, bukan perkara sederhana. orang yang murtad itu sudah dipastikan masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari situ selama-lamanya. Kecuali bila dia sempat bertaubat dan kembali ke pangkuan Islam sebelum matinya. Bukan itu saja, bahkan semua amal baiknya selama sempat menjadi muslim akan musnah, seolah dia tidak pernah melakukan hal-hal yang baik. Shalat, puasa, zakat, haji dan semua ibadahnya menjadi hilang pahalanya. Hal itu bukan karangan ulama atau pendapat manusia, melainkan ketetapan yang terang dari Allah SWT langsung:

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)

Alangkah rugi dan sia-sia hidup seorang yang murtad dari Islam. Boleh dibilang lebih tidak usah jadi manusia saja ketimbang sempat menjadi orang yang murtad. Lebih baik menjadi tanah yang tidak perlu mempertanggung-jawabkan semua yang telah dilakukan.

Ayat di atas berbicara tentang resiko yang harus ditanggung oleh seorang yang murtad dari sisi ukhrawi, namun hal itu belum cukup. Ternyata secara hukum duniawi, Allah SWT pun menetapkan hukuman buat orang yang mempermainkan agama Islam, yaitu dengan dihalalkannya darah orang yang murtad. Rasulullah SAW bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Aku utusan Allah, karena tiga alasan: Orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad yang lari dari jamaah. (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Orang yang menyalahi agamanya dengan agama Islam (murtad), maka penggallah lehernya." (HR At-Thabarani)

Dari Jabir ra. bahwa seorang wanita bernama Ummu Marwan telah murtad, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk menawarkan kembali Islam kepadanya, bila dia tobat maka diampuni tapi bila menolak maka wajib dibunuh. Ternyata dia menolak kembali ke Islam maka dibunuhlah wanita itu.(HR Ad-Daruquthuny dan Al-Baihaqi).

Rasulullah SAW juga pernah berpesan kepada Mu’az bin Jabal sebelum berangkat ke Yaman: "Siapa pun laki-laki yang murtad dari Islam, maka mintalah mereka untuk kembali. Bila mau maka bebas hukuman dan bila menolak maka penggallah leher mereka. Siapa pun wanita yang murtad dari Islam, maka mintalah mereka untuk kembali. Bila mau maka bebas hukuman dan bila menolak maka penggallah leher mereka."

Ketika mendengar ada kelompok masyarakat arab yang ingkar tidak mau membayar zakat serta murtad, maka Abu Bakar As-Shiddiq ra menyatakan perang terhadap mereka. Ini adalah keputusan yang beliu ambil secara yakin meski pada dasarnya perangai beliau lembut, ramah dan penyayang. Namun karena memang demikianlah ketentuan Allah SWT terhadap para pembangkan, maka apa boleh buat, syariat harus ditegakkan.

Apa yang dilakukan oleh beliau juga didukung oleh seluruh lapisan shahabat Rasulullah SAW radhiyallaahu ‘anhum. Sehingga hukuman mati buat orang murtad merupakan ijma’ seluruh umat Islam.

Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthuny meriwayatkan bahwa Abu Bakar ra meminta seorang wanita bernama Ummu Qurfah untuk kembali dari kemurtadannya (istitabah), di mana sebelumnya telah kafir dari keIslamannya, namun wanita itu menolak, maka beliau membunuhnya. Kesimpulanya, amat disayangkan bagi para murtadin atas perbuatan mereka, semua amal ibadah yang pernah mereka lakukan menjadi musnah, dan apabila mereka tidak bertaubat maka secara syar’i mereka sebenarnya layak untuk dibunuh karena hakikat dari pemurtadan itu sendiri adalah pengkhianatan.

Status Pernikahan Pasca Murtadnya Suami

Secara logika, perbuatan murtad sendiri adalah perbuatan tidak syar’i yang membawa diri sendiri pada kebinasaan. Sementara dari sisi lain, pernikahan dalam Islam adalah hal mulia yang disunahkan oleh nabi untuk menjaga tujuan-tujuan syariat Islam, tentunya dengan aturan-aturan yang syar’i juga. Maka tidak akan sinkron bila hal yang ditentang oleh agama digabungkan dengan perkara yang dianjurkan dalam qur’an dan sunnah.

Selanjutnya, merujuk kepada Alqur’an, hadist, dan perkataan para ulama, hukum pernikahan suami istri tersebut masih sah, namun pasca murtadnya sang suami maka secara otomatis status pernikahan itu terhenti atau dalam istilah fikih dinamakan “faskhu ta’qiit”, yaitu status pembekuan pernikahan karena hal yang diharamkan oleh agama. Dalam hal ini, Imam besar Ibnu taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim menegaskan bahwa bila pihak suami ataupun istri yang murtad maka status pernikahanya dibekukan hingga sang murtad mau kembali ke dalam Islam, namun bila dia tegas tidak mau kembali maka saat itu juga akad pernikahanya dianggap akad yang rusak dan harus cerai. Ada pendapat lain yang lebih keras dari pendapat imam Ibnu Taymiyyah, yaitu pendapat imam Abu hanifah dan imam Malik yang mengatakan bahwa akad nikah menjadi batal saat itu juga ketika status murtad benar-benar terjadi dan tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap bersatu,. Sementara Imam AsySyafi’i dan imam Hanbali mengatakan bahwa apabila murtadnya suami terjadi sebelum bersetubuh maka akadnya batal saat itu juga, namun bila murtad itu terjadi setelah bersetubuh maka perceraian ditangguhkan hingga masa iddahnya habis yaitu tiga bulan (3 kali suci dari haid). Apabila dia kembali muslim sebelum masa iddahnya habis maka status pernikahanya tetap sah, namun apabila setelah masa iddah sang suami masih dalam keadaan murtad maka baginya harus berpisah saat itu juga dari suaminya.

Hukum di atas semuanya bersumber dari dalil-dalil sebagai berikut :

Ayat 10 surah al-Mumtahanah :"Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat 221 surah al-Baqarah "Dan janganlah kamu meikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan dengan izin-Nya. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu mereka akan mengajak ke neraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim, terlebih yang murtad. Dalam kondisi muslimah menjadi isteri non muslim, dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena kebanyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan perempuan mengikuti suaminya. Demikian juga, jelas bahwa pernikahan muslimah dengan Nasrani tidak sah menurut pandangan hukum Islam.

Imam Abu Hanifah menganalogikan status pernikahan dengan murtad adalah sama halnya menikah dengan orang mati, karena hukuman murtad adalah kematian. Dan dalam Islam haram hukumnya menikah dengan yang tidak hidup. Imam Abu Zahroh dalam kitabnya menegaskan bahwa perbuatan yang disyariatkan Islam bila digabungkan dengan perihal haram maka rusaklah perbuatan tersebut. sama halnya dalam pernikahan. Nikah merupakan perkara sunah, namun perkara sunnah tersebut tidak akan berdiri tanpa elemen-elemen yang halal. Secara tak langsung, elemen-elemen halal tersebut menjadi wajib untuk menjadikan nikah menjadi sah dalam kacamata syariah. Maka, apabila nikah yang hukumnya sunah ditopang oleh elemen yang diharamkan, bubarlah perkara pernikahan tersebut.

Tujuan berdirinya Syariat islam adalah untuk menjadi regulasi perbuatan manusia agar tidak berbuat seenaknya. Salah satu subjeknya juga adalah untuk menjaga keturunan ataupun nasab. Maksudnya adalah, agar dengan pernikahan yang sesuai dengan aturan syariat islam diharapkan menumbuhkan generasi muslim yang akan menjaga keagungan Islam. Logikanya, anak-anak akan menuruti bimbingan orang tuanya. Namun bila orangtuanya memiliki dua agama berbeda, terlebih dalam kasus ini ayahnya adalah non muslim maka akan menimbulkan kebingungan bagi sang anak untuk memilih, apalagi bila pondasi pengetahuan agama sang ibu sangat minim. Akan menimbulkan kecenderungan sang anak akan lebih condong pada sang ayah.

Dari penuturan di atas, akhirnya kita berujung pada satu kongklusi bahwa pernikahan dengan akad yang sah antara dua muslim akan berubah menjadi haram hukumnya bila sang suami menjadi murtad. Bagi kedua pihak wajib menghentikan status pernikahanya saat itu juga merujuk kepada pendapat sebagian besar ulama terutama imam Abu Hanifah. Dan bagi sang istri agar mengembalikan mahar yang diberikan sang suami kepadanya saat akad pertama ataupun dengan nominal yang seharga dengan mahar tersebut. Akad pernikahan hukumnya menjadi rusak dan wajib cerai setelahnya.

Catatan :

Akhir-akhir ini marak terjadi Konspirasi Pemurtadan dan ini adalah salah satu analisa yang sulit dibantah, perkawinan campur atau beda agama ini ternyata merupakan bagian dari program pemurtadan umat Islam. Kesulitan mengalahkan umat Islam dengan senjata, orang kafir menyerang lewat pernikahan campuran. Begitu banyak pemuda Islam yang dirayu oleh pemudi dari agama yang berbeda. Dan lebih banyak lagi pemudi Islam yang dirayu oleh para pemuda kafir. Sehingga mereka jatuh cinta, lalu menikah secara tidak sah dalam pandangan agama. Pola ini sudah terdeteksi jauh sebelum negeri ini merdeka. Sejak zaman penjajahan dulu. Sehingga lahirlah kemudian generasi yang ayah dan ibunya berlainan agama. Maka tarik menarik jilid dua terjadi. Yang paling moderat adalah anak dibebaskan mau pilih agama apa saja. Terserah mereka tentunya. Boleh ikut agama ayah dan boleh ikut agama ibu. Persis seperti memilih partai dalam pemilu. Atau pemilihan kepala desa. Tapi yang lebih sering terjadi, pasangan dari agama lain justru lebih intensif dalam menggarap masalah agama anak-anak. Maka dalam waktu singkat, Indonesia mengalami kemerosotan tajam dalam jumlah perbandingan pemeluk agama.

Na’udzubillah min dzalik