Oleh : Firman Arifandi
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri dalam isu keamanan di
negara Republik Islam bentukan Ali Jinnah ini adalah tragedi konflik antar
sekte. Bila melihat kepada data yang diambil dari South Asia Terrorism Portal,
sedikitnya telah terjadi lima puluh tiga kali insiden yang merenggut 276 nyawa
dan menelan 327 korban luka-luka sepanjang tahun 2015. tentu ini bukan angka
sedikit, meski dibandingkan dengan angka di tahun 2012 yang jauh lebih besar
yakni 173 insiden, dan kesemuanya didominasi oleh konflik Sunni-Syiah.
Khaleed Ahmed dalam bukunya The Sectarian war, menerangkan tentang
pola konflik yang terjadi di Pakistan terkait dua sekte besar ini adalah dimana
kelompok Sunni menargetkan pembunuhan terhadap Syiah dalam jumlah besar dalam
ritual khusus mereka. Sementara Syiah, membalas pembunuhan pada kelompok Sunni
yang terang-terangan memproklamirkan diri anti-Syiah. Berdasarkan pattern ini,
bisa ditarik kesimpulan bahwa dari golongan Syiah sendiri masih menganggap
bahwa tidak semua Sunni di Pakistan yang membenci mereka.
Lantas apakah penmerintah tidak turun tangan mencegah konflik yang
terus berkelanjutan ini? Brussels Based International Crisis Grup, dalam Asia
reportnya No.95 berjudul “The State of Sectarianism in Pakistan” menyatakan:
“Pada tahun 1998, yang
merupakan akhir dari masa kepemimpinan Zia, menjadi masa akhir pula pada
perdamaian antar sekte agama. Dimana komuniat Syiah di Gilgit telah merayakan
Idul Fitri, sementara Sunni masih berpuasa Ramadhan karena ulamanya tidak
melihat hilal, maka merekapun diserang oleh sekelompok orang bernamakan lashkar
yang datang dari Manshera, Chillas, Khoistan, dan sejumlah area di Provinsi
Barat laut yang kini dikenal sebagai KPK (khyber Pakhtunkhwa). Mereka datang
dari jarak yang cukup jauh ke Gilgit, namun pemerintah tidak terlihat mencegah
mereka. Paska kejadian itu, pemerintah justru menyatakan menaruh kecurigaan
kepada RAW (Research and Analysis Wing) yang merupakan badan Intelijen India,
Iran dan CIA. Meningkatnya jumlah Ekstrimis Islam juga terjadi setahun
setelahnya yang masih dalam pantauan Musharraf sebagai kepala staf angkatan
darat Pakistan, yakni dalam peperangan antar tentara India, Pakistan, dan
sekelompok orang yang disinyalir sebagai mujahidin, peperangan tersebut dikenal
dengan Kargil Conflict di perbatasan Kashmir. Kejadian ini diyakini sebagai
faktor bertambahnya angka elemen kelomopok militan di bagian utara. Hal ini
diperkuat dengan munculnya markas kelompok seperti SSP (Siphahe Sahaba
Pakistan), Lashkar-e-Tayba, Jaish-e-Muhammad, Al-Ikhwan, dan Harakatul
Mujahideen di kawasan tersebut, bahkan kemudian Chilas dan Gilgit diketahui
menjadi sarana tempat pelatihan mereka”. Dari siniliah kemudian konflik antar
sekte mulai berkembang, baik antar Sunni-Syiah atau antar sekte di dalam Sunni
sendiri.
Faktor utama yang dianggap menjadi penyebab konflik ini adalah
landasan hidup dan pemikirin antar sekte yang mempunyai perbedaan sangat
signifikan. Syiah dikenal dengan Taqiyyahnya oleh kalangan Sunni dan dianggap
dalam ritual-ritualnya telah banyak menghina sahabat serta melanggar
hukum-hukum fundamental agama. Sementara antar sunni yang lain juga demikian,
sebagai contoh kalangan Deobandi yang memusuhi kelompok Braelvi yang dianggap
terlalu sering menggunakan takwil dalam menghukumi Quran, serta dianggap
terlalu banyak membuat ritual-ritual baru dalam agama. Maulana Jhangvi, pendiri
Sipah-e-sahaba menentang keras apa yang menjadi kebiasaan braelvi sehingga
memfatwakan jihad untuk golongan ini, juga kepada Syiah. Antar Braelvi dan
Syiah sendiri juga mempunyai pemikirian yang kontradiktif sehingga
masing-masing ulamanya sama-sama berfatwa cukup keras.
Faktor lain adalah dari segi keberadaan komunitas, fakta
membuktikan bahwa setiap wilayah didominasi oleh faham dan kelompok tertentu.
Contoh kecil adalah di Islamabad sendiri,
mampu kita bedakan sektor mana yang bisa dinilai sebagai perkampungan
Syiah, sektor mana yang dominan Braelvi, Ahlu Hadits, hingga Ahmadiyah.
Pengkotakan seperti ini tidak menutup kemungkinan berpotensi pada munculnya
kebencian kepada golongan sehingga fatwa-fatwa yang muncul dari ulama setempat
adalah berdasarkan kepentingan golongannya sendiri. Bahkan sudah merupakan
cerita lama, dalam konteks ru’yatul hilal saja kadang satu golongan tidak akan
memulai puasa atau hari raya bila yang menjadi saksi hilal bukan dari ulama
dari golongan mereka, atau dari suku lain.
Sebuah buku berjudul “Pakistan a Hard Country” karya Anatol Lieven
menambahkan bahwa fatwa anti Syiah sendiri sebenarnya muncul bukan hanya dari
ulama Deobandi saja, tapi sejarah mencatat bahwa setelah peperangan Afghanistan
tahun 1980-an juga menjadi pemicu bertambahnya kalangan ahle Hadits dan
menambahkan jumlah kekerasan di negara ini.
Sebenarnya konflik sektarian ini sudah mampu diprediksi akan
menjadi bumbu di Pakistan sejak terjadinya Objective Resolution pada tahun
1949, dimana konstitusi Pakistan dirombak dan dibuat berdiri berdasarkan
prinsip-prinsip dasar sistem Islam digabungkan dengan sistem demokrasi barat.
Memakai nama Islam sebagai landasan berkonstitusi di Pakistan, sama halnya
dengan membuka lebar-lebar pintu persaingan antar sekte di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar