Firman Arifandi, LLB.
Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kondisi cuaca
yang mendukung, temperatur udara yang bersahabat, serta durasi waktu yang
stabil sudah menjadi perihal yang lumrah bagi muslimin di Indonesia. Namun di
belahan bumi lain, terlebih di negara yang mempunyai empat musim, akan
menimbulkan sejumlah pertanyaan besar bagi mereka. Yakni tatkala bulan puasa
berbarengan dengan musim panas yang ekstrim, dimana daylight bisa berdurasi delapan
belas jam bahkan lebih, serta menyisakan malam yang sangat pendek sekali. Dalam
hal ini timbul pertanyaan, bagaiamanakah muslimin di sana harusnya berpuasa?
Bagaiamanakah penentuan waktu shalatnya, mengingat jarak antara maghrib, isya, dan subuh sangat berdekatan sekali bahkan jam 03.00 pagi kadang sudah nampak seperti pukul 06.00 WIB. Hal ini menimbulkan dilema dan galau religi tersendiri bagi muslim dan WNI di negara tersebut, mengingat sejumlah dalil bersifat spesifik tentang penentuan waktu-waktu shalat dan puasa sudah sangat jelas, namun di sisi lain fakta menyeret mereka kepada ketidak-mampuan dalam menjalankannya.
Bagaiamanakah penentuan waktu shalatnya, mengingat jarak antara maghrib, isya, dan subuh sangat berdekatan sekali bahkan jam 03.00 pagi kadang sudah nampak seperti pukul 06.00 WIB. Hal ini menimbulkan dilema dan galau religi tersendiri bagi muslim dan WNI di negara tersebut, mengingat sejumlah dalil bersifat spesifik tentang penentuan waktu-waktu shalat dan puasa sudah sangat jelas, namun di sisi lain fakta menyeret mereka kepada ketidak-mampuan dalam menjalankannya.
Dalam
surat Al-baqoroh dikatakan :
شهر رمضان الذي أنزل فيه
القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان
مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.(Al-Baqarah: 185)
Hukum
Taklif Eksis Pada Kondisi yang Stabil
Istilah
galau religi sebenarnya tidak akan berlaku jika kita membaca lebih detail
tentang ketentuan pembebanan dalam suatu hukum yang tertera dalam nushus. Pada
ayat di atas tadi, Allah menegaskan mutlaknya berpuasa setelah melihat hilal,
kemudian disebutkan kondisi dimana muslim diberikan keringanan dari kewajiban
puasa saat sakit dan perjalanan jauh. Lalu tak lepas pula di sana disebutkan
bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hambaNya.
Dalam hal kemudahan inilah,
sejumlah ulama ushul dan ulama fiqih menegaskan bahwa dalil dari nushus pada
umumnya berlaku pada kondisi yang stabil serta umum, bahkan tidak bisa
diberlakukan pada kondisi yang jarang terjadi.
Imam
al Qarrafi menegaskan dalam Al furuq:
1. والقاعدة أن الدائر بين الغالب والنادر
إضافته إلى الغالب أولى
“Kaidah
atau aturan bahwa bila terjadi konflik antara hal yang sering terjadi dan yang
langka, maka diutamakan rujukan hukumnya pada yang sering terjadi[1]”.
2. والشرع إنما يبني أحكامه على الغالب
“Dan
syariat itu hukum-hukumnya dibangun berlandaskan keumuman yang terjadi[2]”
Begitupula
imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan dalam Fathul Bari :
الأحكام إنما تناط بالغالب لا بالصورة النادرة
“Sesungguhnya
hukum-hukum itu berlaku pada mayoritas yang terjadi, bukan pada kejadian yang
jarang[3]”.
Pada titik inilah kita merasakan
fleksibilitas syariat Islam, dimana hukum yang sifatnya mutlak sekalipun tidak
bisa dimaknai secara tekstual.
Fatwa
Ulama
Berangkat dari ketentuan di atas, para ulama datang dengan sejumlah
pertimbangan dalam kitab-kitabnya terkait kasus puasa di tempat dengan durasi
siang yang lebih panjang.
Menyikapi
teks dalam surat Al-Baqarah ayat 185, dalam tafsir Al-Mannar disebutkan bahwa:
Allah menyerukan kepada seluruh ummat manusia untuk melakukan
segala perintahNya sesuai kemampuan mereka. Tatkala Allah menekankan perintah
Shalat, dan Rasulullah menjelaskan waktunya, maka itu semua disesuaikan dengan
keadaan tempat yang kondisinya stabil. Sementara negara yang memiliki waktu
siang yang sangat lama dari pada waktu malam, maka waktu shalatnya bisa
diperkirakan dengan ijtihad mereka. Begitupula dalam masalah puasa, puasa Ramadhan
belum diwajibkan kecuali setelah melihat hilal. Bila suatu daerah tidak ada
hilalnya, maka diperbolehkkan bagi penghuninya untuk melakukan analogi. Di
kalangan ahli fiqih sendiri, setelah mengetahui ada sebagian daerah yang
memiliki malam yang sangat panjang dan siang yang sangat pendek atau sebaliknya,
mereka berselisih pendapat dalam masalah standar dalam menyesuaikan waktunya.
Apakah penentuan waktu disesuaikan dengan daerah normal yang paling dekat, ataukah
mengikuti waktu Mekkah dan Madinah? Dua kemungkinan itu bisa saja dipilih
karena hal itu hanyalah masalah ijtihad yang kasusnya tidak terkandung dalam
teks nusus[4].
Selanjutnya, dalam kitab Al hawi lil fatawi, imam jalaluddin As-Suyuthi
menukil fatwa dari Al-Fazary dan imam Zarkasyi dari kitab al-Khodim ketika
ditanya tentang shalat dan puasanya orang di tempat dengan durasi malam yang
sangat pendek. Dikatakan di sana bahwa meskipun sinar merah di ufuk barat tidak
bisa ditemukan, tetap wajib baginya shalat isya’ dan tetap berlaku baginya
menjalankan puasa, muslim di daerah tersebut boleh makan ketika malam dan
memulai puasanya dengan menyamakan durasi seperti tempat terdekat yang siang
dan malamnya normal[5].
Adapun dalil yang dipakai adalah Qiyas terhadap hadist kedatangan
dajjal di muka bumi, Diriwayatkan oleh imam Muslim, para sahabat bertanya
kepada Rasulullah perihal lamanya Dajjal di muka bumi, maka Rasulullah
menjawab: “Masa Dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari
kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari berikutnya
seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya, “ya Rasulullah, apakah
satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu
hari saja ( shalat 5 kali dalam setahun)? Nabi Menjawab, “Tidak, akan tetapi
ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa[6].
(HR. Muslim)
Dari redaksi hadist yang menyatakan sehari seperti setahun dan
perintah melakukan analogi waktu sebagaimana hari-hari normal, para ulama
seperti imam Suyuthi dan imam Zarkasyi kemudian berpendapat agar melakukan
shalat dan puasa dengan mengikuti waktu negara terdekat yang memiliki durasi
siang dan malam yang stabil.
Adapun pendapat ke dua adalah agar muslim di negara dengan kondisi
siang yang panjang mengikuti waktu shalat dan puasa di Makkah. Pendapat ini
banyak diikuti oleh lembaga fatwa seperti darul Ifta Mesir ( fatwa nomor 4777.
09/07/2013 dan fatwa nomor 3740 tanggal 31/07/2011). Adapun alasannya adalah
karena ketidak mungkinan melakukan analogi terhadap negara terdekat mengingat
secara letak geografis akan mengalami musim yang sama, maka dipusatkan kepada Mekah
dengan laqob Ummul Quro tersebut.
Maka dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yakni mengikuti waktu
daerah terdekat dengan kondisi waktu yang stabil, atau mengikuti waktu di
Mekah. Sementara dalam teknisnya, kedua pendapat tersebut tidak berbeda. Mereka
boleh makan pada malam hari sampai terbitnya Fajar di tempatnya, dan harus
menahan diri dari hal yang membatalkan pada siang hari sampai terbenamnya
matahari sebagaimana waktu daerah yang diikuti, baik tempat terdekat menurut
pendapat pertama, atau mengikuti durasi di Mekah seperti pendapat kedua. Maka
jika puasa dimulai pukul 03.00 pagi hari, dan di Mekah atau tempat terdekat melakukan
puasa sepanjang 15 jam, muslim tersebut boleh berbuka pada pukul 16.00 waktu
setempat.
Batas
Maksimal Durasi Siang yang dibolehkan Mengikuti Fatwa
Ternyata fatwa-fatwa di atas tidak berlaku bagi semua negara dengan
empat musim dan summer yang ekstrim. Ada batas maksimal durasi siang dimana muslim
boleh mengikuti fatwa tersebut, yakni negara dengan durasi siang tak kurang
dari 18 Jam dan malam tak lebih dari 6 jam. Pertimbangannya bukan hanya pada
penentuan waktu shalat maghrib hingga subuh, tapi juga pada segi kesehatan.
Maka dengan merujuk kepada kedua fatwa tersebut, atau jika ada
fatwa baru dari ulama-ulama setempat, tidak ada lagi keraguan alias galau
religi bagi muslimin terutama WNI di negara dengan durasi siang yang panjang
untuk beribadah all out.
Wallahu
a’lam bisshowab
[1]
Al-Qarrafi, Abu-l-‘abbas Syihabuddin. Al-furuq. ‘alamul kutub. Juz 1 /
h.208
[2]
Ibid. Juz 4/ h.102
[3]
Al-Asqollani, Ahmad bin Ali Bin Hajar. Fathul bari syarhu sohihil bukhori. Darul
Ma’rifah. Beirut. 1379. Juz 2 / h. 199
[4]
Ridha, Rasyid bin Ali. Tafsir Al Mannar. Al-Hay’ah Al-Ammah lil kitab.
Mesir. 1990. Juz 2/ h. 131
[5] Suyuthi,
jalaluddin. Al-hawi lil fatawi. Darul fikr. Lebanon. 2004. juz 2/ h 384
[6]
Hadist Riwayat Muslim No. 2936, bab dajjal, sifat, dan perihal kedatanganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar