Suatu hari, salah
satu santri kehilangan uang di kamarnya. Pengurus asrma langsung saja mengumpulkan anggota
kamar tersebut untuk diperiksa. Setelah melakukan investigasi, didapatlah
kesimpulan bahwa pencuri uang tersebut kemungkinan besarnya adalah anggota di
kamar itu sendiri. Sekian lama melakukan interogasi satu persatu kepada tiap
anggota di kamar, tidak satupun mampu
dicurigai sebagai pelaku. Akhirnya, sang pengurus asrama menutup acara
inverstigasi dan menyuruh semua untuk bubar dan bergegas keluar kamar. Ketika anggota
perlahan mulai mendekati pintu kamar, sang pengurus asrama berteriak “nah… ini
ketinggalan uangnya yang hilang”. Spontan salah satu anggota langsung menoleh sambil
merogoh kantongnya. Anggota tersebut langsung dibawa ke ruang keamanan untuk
diinterogasi karena mencurigakan, walhasil, terbukti dia yang mencuri uang
temannya.
Cerita lain,
dalam sebuah angkot tiba-tiba saja tercium bau kentut. Para penumpang mulai
protes karena baunya menjadi-jadi dan tidak ada yang mau ngaku. Tak kehabisan
akal, sang kondektur menagih uang semua penumpang lantas berteriak “yaelah…yang
kentut belum bayar nih!” spontan saja salah satu penumpang menimpali “enak aja,
tadi sudah saya bayar”. Tak lama diapun terdiam malu, dan semua pandangan
penumpang tertuju padanya sambil menutup hitung.
Pertama, apa
yang sudah melekat pada diri kita, meski tidak bisa diidentifikasi secara kasat
mata oleh orang lain, terkadang membuat kita cepat merespon tanpa sadar. Hal ini
bisa menjadi rezeki dan cenderung menjadi petaka. Menjadi rezeki bila yang unidentified
itu adalah perkara baik, petaka bila ternyata yang dituduhkan adalah hal
yang buruk yang selama ini berusaha anda tutupi.
Saya sendiri
kurang begitu faham, apa tepatnya istilah seperti ini dalam dunia psikologi,
namun yang jelas permainan alam bawah sadar ini sering dilakukan oleh
investigator di kepolisian atau penyidik kasus kriminal.
Kedua,
responsif terhadap suatu hal berbau tuduhan tak menutup kemungkinan justru meng-iyakan
tuduhan tersebut, padahal kadang kenyataanya konotasi tuduhanya bukan kepada
kita. Seperti cerita di atas, kondektur dan pengawas asrama apakah tau siapa
pelakunya? Cara yang dia pakai justru dengan menempatkan semua orang sebagai innocent
terlebih dahulu, baru memancing tersangka lewat aksi responsifnya melalui
alam bawah sadar. Nah, ketika kita spontanitas berusaha meng-counter tuduhan
itu, justru orang lain akan cenderung
terbawa mind-setnya bahwa anda memang layak menjadi tertuduh.
Lantas, apakah
kita harus menjadi manusia yang slow respon terhadap segala sesuatu? Saya
rasa tidak juga, kita hanya perlu belajar lebih jeli terhadap segala hal berbau
tuduhan. banyak kita temukan, headline berita yang tidak punya korelasi
dengan isi beritanya, ketika kita tidak jeli membaca dan cepat merespon, maka
tentu saja nilai kita tak jauh berbeda dengan hal berbau tuduhan tersebut. Hal serupa
juga banyak terjadi pada artikel-artikel yang esensinya ingin menggiring opini
publik kepada hal positiv namun dikemas dengan judul yang bernada provokatif,
ketika pembaca tidak pintar mencerna, lalu dengan paniknya merespon. Maka
nasibnya kelak tak jauh beda dengan kasus penumpang yang kentut di angkot tadi.
Lalu,
bagaiamanakah sikap responsif yang bisa masuk kepada kategori positiv? Seperti yang
saya katakan sebelumnya, jika kita cepat merespon dengan alam bawah sadar kita
pada perkara yang baik tentunya akan menjadi rezeki dan prestasi tersendiri. Maka
biasakanlah hidup dengan gaya hidup yang benar, berpandangan positif, dan tidak
gegabah. Contoh saja dalam Qur’an sering didengungkan ayat :
“Wahai orang-orang yang beriman”
Saya yakin banyak orang-orang
yang membacanya, apalagi yang setiap hari ikutan program khatam baca qur’an
satu juz. Ayat di atas bernada panggilan, Cuma kalau yang baca belum merasa
beriman di hatinya tidak akan merasa terpanggil. Namun sebaliknya, jika ada
benih imam dalam hatinya, maka dia akan responsif dan merasa “wah gue nih”.
Wallahu a’lam bisshowab
Islamabad, 6 april 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar