Selasa, 05 April 2016

Responsif Berujung Beruntung atau Buntung

Suatu hari, salah satu santri kehilangan uang di kamarnya.  Pengurus asrma langsung saja mengumpulkan anggota kamar tersebut untuk diperiksa. Setelah melakukan investigasi, didapatlah kesimpulan bahwa pencuri uang tersebut kemungkinan besarnya adalah anggota di kamar itu sendiri. Sekian lama melakukan interogasi satu persatu kepada tiap anggota di kamar,  tidak satupun mampu dicurigai sebagai pelaku. Akhirnya, sang pengurus asrama menutup acara inverstigasi dan menyuruh semua untuk bubar dan bergegas keluar kamar. Ketika anggota perlahan mulai mendekati pintu kamar, sang pengurus asrama berteriak “nah… ini ketinggalan uangnya yang hilang”. Spontan salah satu anggota langsung menoleh sambil merogoh kantongnya. Anggota tersebut langsung dibawa ke ruang keamanan untuk diinterogasi karena mencurigakan, walhasil, terbukti dia yang mencuri uang temannya.
Cerita lain, dalam sebuah angkot tiba-tiba saja tercium bau kentut. Para penumpang mulai protes karena baunya menjadi-jadi dan tidak ada yang mau ngaku. Tak kehabisan akal, sang kondektur menagih uang semua penumpang lantas berteriak “yaelah…yang kentut belum bayar nih!” spontan saja salah satu penumpang menimpali “enak aja, tadi sudah saya bayar”. Tak lama diapun terdiam malu, dan semua pandangan penumpang tertuju padanya sambil menutup hitung.
Lalu apa pelajaran yang kita peroleh dari dua cerita fiktif di atas?
Pertama, apa yang sudah melekat pada diri kita, meski tidak bisa diidentifikasi secara kasat mata oleh orang lain, terkadang membuat kita cepat merespon tanpa sadar. Hal ini bisa menjadi rezeki dan cenderung menjadi petaka. Menjadi rezeki bila yang unidentified itu adalah perkara baik, petaka bila ternyata yang dituduhkan adalah hal yang buruk yang selama ini berusaha anda tutupi.
Saya sendiri kurang begitu faham, apa tepatnya istilah seperti ini dalam dunia psikologi, namun yang jelas permainan alam bawah sadar ini sering dilakukan oleh investigator di kepolisian atau penyidik kasus kriminal.
Kedua, responsif terhadap suatu hal berbau tuduhan tak menutup kemungkinan justru meng-iyakan tuduhan tersebut, padahal kadang kenyataanya konotasi tuduhanya bukan kepada kita. Seperti cerita di atas, kondektur dan pengawas asrama apakah tau siapa pelakunya? Cara yang dia pakai justru dengan menempatkan semua orang sebagai innocent terlebih dahulu, baru memancing tersangka lewat aksi responsifnya melalui alam bawah sadar. Nah, ketika kita spontanitas berusaha meng-counter tuduhan itu, justru orang lain  akan cenderung terbawa mind-setnya bahwa anda memang layak menjadi tertuduh.
Lantas, apakah kita harus menjadi manusia yang slow respon terhadap segala sesuatu? Saya rasa tidak juga, kita hanya perlu belajar lebih jeli terhadap segala hal berbau tuduhan. banyak kita temukan, headline berita yang tidak punya korelasi dengan isi beritanya, ketika kita tidak jeli membaca dan cepat merespon, maka tentu saja nilai kita tak jauh berbeda dengan hal berbau tuduhan tersebut. Hal serupa juga banyak terjadi pada artikel-artikel yang esensinya ingin menggiring opini publik kepada hal positiv namun dikemas dengan judul yang bernada provokatif, ketika pembaca tidak pintar mencerna, lalu dengan paniknya merespon. Maka nasibnya kelak tak jauh beda dengan kasus penumpang yang kentut di angkot tadi.
Lalu, bagaiamanakah sikap responsif yang bisa masuk kepada kategori positiv? Seperti yang saya katakan sebelumnya, jika kita cepat merespon dengan alam bawah sadar kita pada perkara yang baik tentunya akan menjadi rezeki dan prestasi tersendiri. Maka biasakanlah hidup dengan gaya hidup yang benar, berpandangan positif, dan tidak gegabah. Contoh saja dalam Qur’an sering didengungkan ayat :
“Wahai orang-orang yang beriman”
Saya yakin banyak orang-orang yang membacanya, apalagi yang setiap hari ikutan program khatam baca qur’an satu juz. Ayat di atas bernada panggilan, Cuma kalau yang baca belum merasa beriman di hatinya tidak akan merasa terpanggil. Namun sebaliknya, jika ada benih imam dalam hatinya, maka dia akan responsif dan merasa “wah gue nih”.
Wallahu a’lam bisshowab


Islamabad, 6 april 2016

Tidak ada komentar: