Oleh: Firman Arifandi, LLB
Terdapat polemik menarik antar muslim saat ini, dimana dalam
menghadapi sebuah permasalahan yang dianggap baru seringkali ditangkal dengan
perkataan “kalau Rasulullah tidak pernah melakukan maka haram bagi kita
melakukannya”. Dari sini timbul pertanyaan besar, apakah salah satu sebab
keharaman sebuah perkara itu adalah karena Rasulullah dalam hidupnya tidak
pernah mengerjakan? Kemudian apakah lantas hal ini bisa menjadi landasan atas
pengharaman segala hal yang baru dilakukan setelah nabi wafat?
Haram
adalah salah satu dari lima hukum taklifiyah yang disepakati oleh jumhur ulama
(Wajib, Mandub atau sunnah, Makruh, Haram, Mubah). dalam kitab al mustashfa
didefinisikan sebagai berikut:
الحرام هو ما طلب الشارع تركه على وجه الحتم
والإلزام
Haram
ialah perintah Syari’ untuk meninggalkan suatu hal dalam bentuk penekanan dan
keharusan[1].
Kemudian
Imam Baidhowi dalam Minhajul wusul mendefinisikan:
ما يذم شرعًا فاعله
Segala
hal yang dalam syariat dihukum mereka yang melakukannya[2]
Dari
definisi ini kemudian para ulama menambahkan redaksi lain menjadi: segala hal
dalam syariat yang apabila ditinggalkan mendapatkan ganjaran dan bila dilakukan
berdosa[3].
Bagaimana
mengidentifikasi hukum haram dari nusus?
Dalam banyak kitab-kitab ushul,
dijelaskan bagaiamana caranya memahami bahwa redaksi dari Quran ataupun Hadist
menunjukkan keharaman atas suatu hal :
1. Lafadz yang secara eksplisit menyebutkan
kata “haram”. Contohnya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا) البقرة: 275(
Dan Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al
Baqorah: 275)
2.
Redaksi larangan. karena menurut ulama ushul, pelarangan itu
bermakna pengharaman. Contoh :
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (Al
An’am 152)
3.
Perintah menjauhi sebuah perkara. Contohnya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
(Al Maidah: 90)
4.
Penggunaan kata “Tidak dihalalkan”. Contohnya:
فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Al Baqoroh: 230)
5. Kalimat yang mengandung konsekuensi ancaman hukuman atas sebuah
perbuatan yang dilakukan. Contohnya:
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik. (An Nur: 4)
6.
Segala redaksi
yang bermakna pelarangan dengan lafadz yang keras seperti: laknat Allah, Allah
memurkai, memasukkan pelakunya ke golongan kafir, fasiq, dzholim, dll. Contohnya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir (Al Maidah: 44)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي
وَالْمُرْتَشِي
Dari
Abdullah bin Umar berkata: Rasulullah SAW Bersabda: Allah melaknat orang yang
menyuap dan orang yang disuap (HR. Ibnu Majah: 2313)
Dari definisi dan cara ulama ushul mengidentifikasi hukum haram
melalui dalil nusus tersebut, tidak kita temukan satupun tanda-tanda yang
menerangkan bahwa yang tidak pernah dilakukan oleh nabi kemudian jika kita
lakukan menjadi haram. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, segala hal yang tidak
tertera dalam nushus baik itu Quran ataupun Sunnah, bisa saja menjadi legal
atau masyru’ dengan pertimbangan lain yang juga menjadi landasan dalam menarik
kesimpulan hukum taklif yang lima. Bisa melalui maslahat mursalah, adat
masyarakat luas, madzhab shahabi, dan lain-lain. Jadi tidak semena-mena kita
langsung katakan bahwa yang dulu tidak dilakukan nabi menjadi haram bila
dilakukan.
Namun, masih ada lagi dari sebagian orang yang memasukkan hal ini
kepada kriteria “at tarku” atau apa-apa yang ditinggalkan oleh Nabi SAW. Lalu
apakah at tarku itu kemudian bermakna pengharaman?
Jika
Nabi Meninggalkan sesuatu apakah hal itu bermakna keharaman?
Dalam
kitab Al Muwafaqot karangan imam As-Syatibhi dikatakan bahwa
apabila nabi meninggalkan suatu perkara itu karena ada beberapa hal yang
melatar belakanginya[4]:
1.
Karena
beliau secara pribadi kurang menyukainya, tapi tetap dibolehkan bagi umatnya
melakukan hal tersebut. Seperti ketika beliau menolak saat ditawarkan makan
dhabb (sejenis daging kadal). Namun sahabat tetap diperbolehkan memakannya.
2.
Meninggalkan
karena sebenarnya yang ditinggalkan itu memang bukanlah hak beliau SAW.
3.
Meninggalkan
hal karena takut dianggap wajib, seperti shalat tarawih berjamaah tiap malam
sepanjang Ramadhan. Nabi hanya melakukannya 3 kali dan kemudian meninggalkannya
karena takut dianggap wajib
4.
Meninggalkan
hal yang sebenarnya mubah karena ada hal mubah lain yang lebih afdhal, seperti
mengundi mendatangi istri-istrinya yang sebenarnya mubah bagi beliau, namun hal
tersebut kemudian beliau tinggalkan dengan lebih menekankan pada menjaga
perasaan dan akhlaq karimah.
5.
Meninggalkan
hal yang sebenarnya boleh dilakukan karena takut akan terjadi mafsadah yang
besar. Seperti ketika beliau enggan membunuh kaum munafiq dari peperangan demi
menghindari anggapan orang bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri.
Dari sini, karena at tarku atau hal yang ditinggalkan oleh nabi
mengandung banyak kemungkinan, maka
muncullah kaidah ushuliyah dalam kitab muwafaqot juga:
والدليل إذا تطرق إليه
الاحتمال سقط منه الاستدلال
“kalau suatu dalil punya banyak kemungkinan
(multi interpretasi), maka tidak bisa dijadikan alat berdalil[5]."
Begitu
pula dalam kitab “min ushulil fiqh ‘ala manhaji ahlil hadits” karangan Syeikh
Zakariya bin Ghulam Qodir al Pakistani, beliau menulis sebuah kaidah:
ما أصله مباح وتركه النبي صلى الله عليه وسلم لا
يدل تركه له على أنه واجب علينا تركه
“segala hal yang asalnya adalah mubah dan kemudian Nabi SAW
meninggalkannya, tidak bermakna bahwa perihal meninggalkan tersebut wajib kita
ikuti[6]”
Kemudian beliau melanjutkan bahwa yang ditinggalkan nabi suatu saat
memang bisa menjadi sunnah dan bila dilakukan berkonsekuensi berdosa yakni
apabila memang ada dalil khusus yang menjadi pelarangannya dan tidak ada dalil
atas kebolehannya sama sekali walaupun berkonotasi umum.
Jangan
Menjadi Panitia Akhirat
Maksudnya
panitia akhirat bagaimana? Gampangan menjudge bahwa ini sunnah, ini haram, dan
ini masuk neraka. Seolah-olah kita yang punya legalitas menentukan hukum suatu
perkara. Padahal ulama-ulama terdahulu (salafussolih) tidak juga demikian,
apalah kita ini dibandingkan dengan para mujtahid mutlaq sekelas imam-imam
madzhab dan ulama lainnya. Maka sebaiknya kita benar-benar mengaji dan mengkaji
terlebih dahulu atas sebuah perkara, serta tidak cepat-cepat menghukuminya.
Kalaupun nantinya masuk pada ranah perbedaan dalam furu’ maka kita dituntut
untuk bijak menghargai perbedaan tersebut, bukan ngotot membenarkan pilihan
kita.
Wallahu
a’lam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar