Jumat, 21 Agustus 2015

Pesantren dalam Counter Pemikiran Postmodernisme

Pesantren dalam Counter Pemikiran Postmodernisme[1]
Oleh : Firman Arifandi, BA., LLB.
Pendahuluan
Wacana Westernisasi agama yang berkembang melalui bungkus modernisme dengan konten sekulersime, rasionalisme, dan dikotomisme dianggap telah gagal mewarnai pemikiran dunia Islam. Kemudian terjadilah dekonstruksi terhadap paradigma modernisme dengan label anyar berjudul postmodernisme yang mengusung nilai-nilai baru berupa pluralisme agama, liberalisasi, dan relativisme yang notabene mengangkat wacana sosial dan kemudian dikorelasikan pada lini keagamaan, sehingga diharapkan mampu mengkritik tajam hukum Islam serta menciptakan formulasi baru dalam hukum agama Allah ini.
Postmodernisme masuk seiring dengan benturan arus peradaban barat dan globalisasi, hingga pemikiran yang konservatif kemudian pelan-pelan tak lagi dilirik. Teori relativisme perlahan mengikis corak-corak tradisionalisme dengan menghadirkan kecenderungan kritik terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam konteks relativitas ini, kelompok feminisme dengan menggadang wacana sosialnya kemudian datang menuntut kesetaraan gender (gender equality) dalam segala konstruksi kehidupan.
Diskursus mengenai efek pemikiran postmodernis tak banyak digulirkan pada ranah publik, sehingga secara tak sadar, masyarakat luas sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan yang perlahan menjauhkan kita dari nilai-nilai bangsa yang beragama. Lebih ironis lagi, doktrin-doktrin pemikiran semacam liberal dan faham kesetaraan gender telah masuk melebur dalam mata kuliah di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Dari sini, diperlukan adanya counter terhadap masuknya pemikiran ini dengan menguatkan kembali pondasi keagamaan kepada generasi muda. Maka tak bisa dipungkiri, hal ini adalah tugas baru bagi pesantren dalam memfilter datangnya pemikiran baru.
Pembahasan mengenai pemikiran baru ini layak mendapatkan perhatian ekstra, oleh karena itu, perlu elaborasi mendalam mengenai gerakan postmodern, gambaran pemikiran dan solusi counter terhadapnya.
POKOK PERMASALAHAN
Setidaknya terdapat sejumlah pembahasan yang menjadi fokus dalam makalah ini, dengan pemetaan sebagai berikut :
I.       Deskripsi postmodernisme
II.    Asas Pemikiran dan Konsep doktrinnya dalam Islam
III.  Peran pesantren dalam filter pemikiran postmodernisme
PEMBAHASAN
I.       Deskripsi Postmodernisme
Secara literal, bisa dipastikan makna postmodernisme adalah masa pasca kurun eksistensi modernisme. Namun berkaitan dengan definisi, hingga saat ini belum didapatkan makna yang baku terkait konteksnya.  Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya.  Istilah postmodernisme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman Inggris bernama John Watkins[2]. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini digunakan  pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939[3].
Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas[4].
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme[5].
Konsep yang kacau dari postmodernisme tersebut sebenarnya terjadi akibat dari ketidakjelasan definisi sebagaimana disinggung dalam konteks di atas sebelumnya. Maka, sudah tidak bisa dipungkiri lagi, kekeliruan dalam konsep akan berimbas dalam bagaimana seseorang menentukan kebenaran berpikir, sehingga hasilnya menjadi ambigu. Dari hal ini, maka ketidakjelasan dalam aplikasi adalah hasil dari ketidakjelasan konsep berpikir yang ambigu itu sendiri.





II.    Asas Pemikiran dan Konsep doktrinnya dalam Islam
Amin Abdullah, dalam bukunya Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga hal yang menjadikan patokan dalam struktur fundamental pemikiran posmodernisme yaitu dekonstruktifisme, relativisme, dan pluralisme[6].
Ada pendapat lain bahwa manusia adalah eksistensi sempurna, maka ia dianggap tolok ukur dan kutub semua eksistensi dan sebagai micro-cosmos. Dari sinilah muncul pemikiran Humanisme. Ungkapan “aku berpikir, maka aku ada” adalah perwujudan dari pemikiran di atas. Karena manusia memiliki rasio, maka ia bisa menjadi poros alam. Jadi Rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan manusia. Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak (free will) yang tidak boleh dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan kebebasan inilah muncul pemikiran liberalisme yang berarti meminimalisir secara optimal batas gerak manusia. Pembatas gerak manusia dapat terwujud dalam berbagai bentuk; adat istiadat, kebiasaan maupun norma agama. Dari situ dimunculkan Sekularisme yang berarti pembatasan dan meminimalisir campur tangan agama pada kehidupan manusia[7].
            Bagaimanapun, melalui persepsi yang berbeda-beda ini, setidaknya mampu kita ambil sejumlah poin penting yang menjadi asas pemikiran dari postmodernisme adalah sebagai berikut :
1.      Penolakan atas keabsolutan sebuah pemikiran. Orang-orang postmodernis cenderung beranggapan bahwa yang benar hanyalah relativitas, dan keabsolutan dari sebuah pemikiran itu nihil adanya. Dari relativitas inilah maka pluralisme menjadi eksis. Oleh karenanya mereka berusaha sekuat tenaga merubah pola pikir yang total kepada bentuk relativitas, bahkan kepada hukum absolut dalam agama.
2.      Penolakan atas segala jenis konsep fundamental yang bernilai sakral. Maka para pegiat dalam kelompok ini sangat mengingkari prinsip-prinsip dasar agama, bahkan mereka dituntut untuk bisa mengkritik hal fndamental tersebut. Seperti eksistensi ketuhanan yang maha Esa.
3.      Ingkar atas segala bentuk ideologi. Karena embel-embel relativitas di atas tadi, maka prinsip permanen dalam agama akan ditolak tegas oleh mereka. Karena ideologi yang mempunyai prinsip-prinsip permanen hanya akan mengekang ruang gerak manusia, menurut mereka.
4.      Masih atas dasar pemahaman relativisme, keabsahan tuhan yang dianggap sakral oleh manusia beragama masih juga ditentang oleh mereka. Nietzsche mengungkapkan “Tuhan telah mati (God is dead)”. Dari situ, ternyata objek mereka bukan hanya Islam, tapi agama di dunia secara keseluruhan.
5.      Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu. Hal ini mereka lakukan demi menentang kaum tradisionalis yang selama ini mereka anggap tidak memiliki pemikiran maju karena mengacu pada satu asas pemikiran saja. Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian berbagai pondasi pemikiran sangat rawan dalam kesalahan berpikir. Berapa banyak kerancuan terjadi antara pemikiran filsafat satu dengan yang lain. Itulah yang sekarang ini dihadapi oleh para pendukung postmodernisme, yakni paradoksi pemikiran. Untuk menutupi rasa malunya, para pendukung postmodernisme seperti Rorty, menganggap bahwa apa yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan masyarakat Barat bahwa dengan berpegangan dengan konsep dan ideologi tersebut mereka akan dapat meraih berbagai hal yang menjadi impian dalam kehidupannya[8]. Namun, mereka tetap tidak dapat lari dan bersembunyi dari segala bentuk paradoksi pemikiran yang selalu menghantui dan menghadangnya.

Dari sejumlah poin prinsip di atas, rasanya mustahil bila manusia harus mengelak dari ketetapan-ketetapan yang sakral dan permanen, atau dipaksa berfikir benar tanpa percaya standar rambu-rambu yang pasti. Sedangkan mereka sendiri dengan prinsip tidak adanya kebenaran mutlak, telah mematenkan standar berfikir mereka. Bahkan dalam teori yang mereka gadang-gadang, kelompok postmo seringkali mengajak manusia untuk melakukan pergolakan. Lantas bagaiamana manusia bisa menuntut sebuah pergolakan bila tidak ada tolak ukur yang ideal dalam menentukan kebenaran itu sendiri. Bagaiamana manusia dapat dikatakan beragama bila tanpa mengikuti asas-asas agama itu sendiri?
Dibalik kritik terhadap teks Qur’an dan hukum agama itu, eksis kelompok-kelompok pemikiran anyar dalam Islam berlabel islam liberal, yang disisipkan pula bersamanya gerakan kesetaraan gender yang acapkali digadang oleh kaum feminis dimana mereka telah ada sejak era modernisme.
Pada akhirnya, semakin kuat tertanam asas-asas postmodernisme pada diri seseorang, maka makin menjauhkan sosoknya dari konsep beragama. Karena rambu-rambu dalam Al-quran tak sedikit mengandung konten yang mutlak meskipun ada juga dalil-dalil yang sifatnya dzanniy atau asumsiv, dan hal itulah yang sangat sering dikritisi oleh orang-orang ini.


III. Peran Pesantren Dalam Filter Postmodernisme
Kiprah para aktivis postmo dengan kelompok-kelompok yang berbeda telah makin menrambat hingga ranah konstitusi. Ironi saat DPR mengusulkan Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) beberapa tahun lalu. Terlebih sebelumnya, program pengarusutamaan gender telah berhasil menyusup ke dalam ranah akademik. Dalam kurikulum sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia,  mata kuliah berbasik gender telah menjadi bahan wajib. Bahkan doktrin semacam kritik terhadap konsep wahyu dan teori evolusi syariah disisipkan di dalam mata kuliah Ulumul Qur’an[9]. Bahkan pada saat ini pos-pos penting pemerintahan di lingkup legislativ sudah ditempati oleh aktivis-aktivis postmodernis ini. Lantas, jika semua lini di tanah air telah diselimuti oleh mereka, apa yang bisa dilakukan oleh muslim Indonesia untuk mencegah pemikiran super bebas ini?
Jika perguruan tinggi Islam telah disusupi doktrin-doktrin liberal dan pengarusutamaan gender, maka menurut penulis yang perlu dikuatkan adalah pondasi utama institusi pendidikan islam yang masih kecil kemungkinannya untuk disusupi, yaitu pesantren. Pesantren yang kerap masih kental menjaga tradisi keislamannya, tak juga meninggalkan sepenuhnya nilai-nilai modernitas yang arahnya positiv, ini menjadi nilai plus dalam melakukan counter terhadap pemikiran-pemikiran yang diadopsi dari barat tersebut. Barangkali ada sebuah slogan dari ORMAS Islam Indonesia yang bisa dijadikan patokan pesantren untuk memfilter segala jenis pemikiran baru, yaitu : al muhafadzotu alal qodiimissolih wal akhdzu bil jadiidil aslah (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yg lebih bermaslahat). Motto ini bisa juga diinterpretasikan dengan tidak lantas meninggalkan kebenaran-kebenaran lama yang paten dan mutlak, tidak juga menelan mentah-mentah perkara baru, sehingga maslahat tetap terjaga.
            Sebagai sebuah langkah preventif, kiprah pesantren sangat diperlukan dalam menjaga keorsinilan Islam. Jika para postmodernis mampu secara koordinatif membangun pemikiran baru dengan masuk pada posisi-posisi penting sistem pemerintahan serta membentuk mind set gaya hidup melalui media, maka tidak menutup kemungkinan pesantren yang sudah lama solid berdiri di tanah air mampu membangun peradaban islam yang tetap pada nilai-nilai yang orsinil dan tetap membentengi ideologi keislaman.
Pesantren dan Peradaban Islam
Dalam teori pembentukan sebuah peradaban, seperti dikemukakan oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, sebuah peradaban tidak akan terbentuk hanya dengan melalui satu atau dua bidang kehidupan saja. Tapi melalui adanya gabungan unsur baik dari segi ekonomi, politik, ataupun budaya yang bersinergi, simultan dan konsisten. Sejarah telah membuktikan tatkala respon dan gairah masyarakat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi, dengan berdasarkan suatu tuntunan ke­hidupan dan hukum yang tinggi pula, maka peradaban yang besar akan terbentuk[10]. Bukankah sejarah telah mencatat, pada abad ke tujuh hingga sebelas masehi, Islam dengan peradaban dan perkembangan keilmuwannya mampu menghasilkan penemuan-penemuan yang merupakan sumbangsih terbesar pada perdaban dunia. Maka unsur-unsur penting yang mendominasi nilai-nilai perdaban Islam ini perlu diaplikasikan dalam dunia pesantren dan management di dalamnya, sedikitnya 2 hal di bawah ini mempunyai peran esensial dalam kiprah pesantren :
1.      Menjaga tradisi intelektual keislaman
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir Islam abad ini menyatakan bahwa kemunduran umat Islam, perkara utamanya bukanlah persoalan kekalahan politik, namun disebabkan penyimpangan ilmu yang dengan demikian menyebabkan ketiadaan adab[11]. Posisi pesantren yang tetap konsisten menjaga nilai-nilai pondasi keislaman wajib terus dijaga, sembari melakukan sinkronasi dengan pengetahuan kontemporer sehingga mampu menghadapi tantangan zaman dengan tetap berjalan pada koridor Islam.
Figur intelek muslim seperti Umer Chopra, Muhammad Iqbal, dan Rasyid Ridha, selayaknya mampu menjadi tambahan nutrisi dalam pendidikan pesantren. Karena ide-ide baru mereka dalam politik, ekonomi, dan pemahaman ulang ajaran Islam adalah sebagai formulasi bagi muslimin dalam menghadapi postmodernisme. Wacana Islamisasi keilmuwan yang digulirkan oleh Universitas Darussalam baru-baru ini, bukanlah proyek mudah. Dengan menguasai kedua disiplin ilmu yaitu Islam dan sekuler, kemudian melakukan integrasi pada keduanya, serta menggali Ilmu Islam melalui turats dan khazanah peradaban Islam. Bila hal ini mampu direalisasikan maka, perjalanan  peradaban baru Islam dalam skala mikro telah berhasil dicapai. Maka tak salah jika kelak pesantren melakukan metode serupa.
Dari sinkronasi miliu keislaman dan kemodernan yang diciptakan pesantren ini, diharapkan mampu mencetak intelek-intelek muslim berkaliber hebat yang mampu mereduksi ancaman arus pemikiran pluralis, liberalis, dan sejenisnya dengan terjun di berbagai sektor penting menghambat ruang gerak mereka.
2.      Mempesantrenkan masyarakat
Sejauh ini, yang kita tahu bahwa keberadaan pesantren hadir mengedukasi santri di dalamnya. Mind set yang turun temurun ini menjadikan posisi pesantren terkesan sangat eksklusiv dalam memasarkan ilmu Islam. Fenomena lain yang tak jarang kita temukan adalah masyarakat sekitar pesantren hanya memanfaatkan keberadaan pesantren sebagai ladang menopang hidup dengan berjualan di lingkungan sekitarnya. Sedangkan sentuhan edukasi keislaman jarang sekali ditemukan terjadi antara pesantren dan masyarakat. Melihat sisi maslahat saat ini, nampaknya sosialisasi ilmu agama oleh pesantren kepada masyarakat merupakan urgensi yang perlu mendapatkan perhatian. Sehingga pesantren tidak hanya mendidik orang-orang di dalamnya, tapi juga masyarakat sekitar. Strategi seperti ini merupakan cara kongkrit membentengi aqidah, dan pemikiran masyarakat dari pengaruh postmodernisme.
Kesimpulan
            Kebebasan berfikir yang diagung-agungkan oleh postmodernis berdampak pada munculnya kelompok-kelompok baru sekelas kaum liberalis, feminis, pluralis, dengan kemasan yang terlihat islami yang justru ingin menjauhkan nilai-nilai keagamaan dari umat beragama. Teori relativitas yang menjadi senjata utama mereka sangat agresif mewarnai kehidupan masyarakat bersamaan dengan pesatnya gerak media. Walhasil, secara tak sadar, masyarakat telah dijauhkan dari agama dan menjadi bagian dari mereka.
            Demi mereduksi dan memfilter gerakan postmodernisme, pesantren mempunyai peran penting dengan menghadirkan formulasi baru dalam sistem pendidikannya dan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip lama pendidikan keislaman yang merupakan pondasi ber-ideologi. Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang akan sulit dimasuki pengaruh pemikiran postmo bila tetap menjaga prinsip-prinsip lamanya. Membangun kembali peradaban Islam adalah cara terbaik dalam menjaga keorsinilan nilai agama Allah, sekalipun membutuhkan perjuangan yang berat. Sementara persantren dengan nilai-nilai kemandiriannya mempunyai peran esensial dalam mewujudkan hal ini.













[1] Makalah ini telah dipublish untuk rubrik kajian utama pada Majalah IKPM Pakistan 2015
[2] http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-postmodern.html
[3] Docherty, Thomas. Postmodernism : a reader.  Harlow, England. Lowman. 1993
[4] http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/002.htm
[5] ibid
[6] Abdullah, Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 99-101.
[7] http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/002.htm
[8] Cahoone, Lawrence. E. From Modernism to postmodernism : an Anthology Expanded. Wiley-Blackwell   2nd edition. 2003. P : 210
[9] Shalahuddin, Henri, MIRKH. Pengaruh Gender Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir, tantangan dan peluang pemikiran kontemporer. Makalah. Jawa Barat. 2012
[10] http://majalahgontor.net/membangun-kembali-tradisi-intelektual-islam/
[11] ibid

Tidak ada komentar: