Pesantren dalam Counter Pemikiran Postmodernisme[1]
Oleh : Firman Arifandi, BA., LLB.
Pendahuluan
Wacana Westernisasi agama yang berkembang melalui bungkus
modernisme dengan konten sekulersime, rasionalisme, dan dikotomisme dianggap
telah gagal mewarnai pemikiran dunia Islam. Kemudian terjadilah dekonstruksi
terhadap paradigma modernisme dengan label anyar berjudul postmodernisme yang
mengusung nilai-nilai baru berupa pluralisme agama, liberalisasi, dan
relativisme yang notabene mengangkat wacana sosial dan kemudian dikorelasikan
pada lini keagamaan, sehingga diharapkan mampu mengkritik tajam hukum Islam
serta menciptakan formulasi baru dalam hukum agama Allah ini.
Postmodernisme masuk seiring dengan benturan arus peradaban barat
dan globalisasi, hingga pemikiran yang konservatif kemudian pelan-pelan tak
lagi dilirik. Teori relativisme perlahan mengikis corak-corak tradisionalisme
dengan menghadirkan kecenderungan kritik terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam
konteks relativitas ini, kelompok feminisme dengan menggadang wacana sosialnya
kemudian datang menuntut kesetaraan gender (gender equality) dalam segala
konstruksi kehidupan.
Diskursus mengenai efek pemikiran postmodernis tak banyak
digulirkan pada ranah publik, sehingga secara tak sadar, masyarakat luas sudah
terbiasa dengan perubahan-perubahan yang perlahan menjauhkan kita dari
nilai-nilai bangsa yang beragama. Lebih ironis lagi, doktrin-doktrin pemikiran
semacam liberal dan faham kesetaraan gender telah masuk melebur dalam mata
kuliah di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Dari sini, diperlukan adanya
counter terhadap masuknya pemikiran ini dengan menguatkan kembali pondasi
keagamaan kepada generasi muda. Maka tak bisa dipungkiri, hal ini adalah tugas
baru bagi pesantren dalam memfilter datangnya pemikiran baru.
Pembahasan mengenai pemikiran baru ini layak mendapatkan perhatian
ekstra, oleh karena itu, perlu elaborasi mendalam mengenai gerakan postmodern,
gambaran pemikiran dan solusi counter terhadapnya.
POKOK
PERMASALAHAN
Setidaknya terdapat sejumlah pembahasan yang menjadi fokus dalam
makalah ini, dengan pemetaan sebagai berikut :
I.
Deskripsi
postmodernisme
II.
Asas
Pemikiran dan Konsep doktrinnya dalam Islam
III. Peran pesantren dalam filter
pemikiran postmodernisme
PEMBAHASAN
I.
Deskripsi Postmodernisme
Secara
literal, bisa dipastikan makna postmodernisme adalah masa pasca kurun
eksistensi modernisme. Namun berkaitan dengan definisi, hingga saat ini belum
didapatkan makna yang baku terkait konteksnya. Istilah Postmodernisme
digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat dan merumuskan
satu definisi yang dapat mencakup atau menjangkau semua dimensi arti yang
dikandungnya. Istilah postmodernisme pertama kali muncul sebelum tahun
1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman Inggris bernama John Watkins[2].
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini digunakan pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun
1939[3].
Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil
diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada
pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah
terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The
Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative”
yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas[4].
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme
ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan,
postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil
mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan,
postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan
S. Turner dalam Theories of
Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat
antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan,
konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi
paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk
sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang
postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme[5].
Konsep
yang kacau dari postmodernisme tersebut sebenarnya terjadi akibat dari
ketidakjelasan definisi sebagaimana disinggung dalam konteks di atas
sebelumnya. Maka, sudah tidak bisa dipungkiri lagi, kekeliruan dalam konsep
akan berimbas dalam bagaimana seseorang menentukan kebenaran berpikir, sehingga
hasilnya menjadi ambigu. Dari hal ini, maka ketidakjelasan dalam aplikasi
adalah hasil dari ketidakjelasan konsep berpikir yang ambigu itu sendiri.
II.
Asas Pemikiran dan Konsep doktrinnya dalam Islam
Amin Abdullah, dalam bukunya Falsafah Kalam di Era Posmodernisme,
mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga hal yang menjadikan patokan dalam struktur
fundamental pemikiran posmodernisme yaitu dekonstruktifisme, relativisme, dan
pluralisme[6].
Ada pendapat lain bahwa manusia adalah
eksistensi sempurna, maka ia dianggap tolok ukur dan kutub semua eksistensi dan
sebagai micro-cosmos. Dari
sinilah muncul pemikiran Humanisme. Ungkapan “aku berpikir, maka aku ada”
adalah perwujudan dari pemikiran di atas. Karena manusia memiliki rasio, maka
ia bisa menjadi poros alam. Jadi Rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan
manusia. Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak (free will)
yang tidak boleh dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan
kebebasan inilah muncul pemikiran liberalisme yang berarti meminimalisir secara
optimal batas gerak manusia. Pembatas gerak manusia dapat terwujud dalam
berbagai bentuk; adat istiadat, kebiasaan maupun norma agama. Dari situ
dimunculkan Sekularisme yang berarti pembatasan dan meminimalisir campur tangan
agama pada kehidupan manusia[7].
Bagaimanapun,
melalui persepsi yang berbeda-beda ini, setidaknya mampu kita ambil sejumlah
poin penting yang menjadi asas pemikiran dari postmodernisme adalah sebagai
berikut :
1.
Penolakan
atas keabsolutan sebuah pemikiran. Orang-orang postmodernis cenderung
beranggapan bahwa yang benar hanyalah relativitas, dan keabsolutan dari sebuah
pemikiran itu nihil adanya. Dari relativitas inilah maka pluralisme menjadi
eksis. Oleh karenanya mereka berusaha sekuat tenaga merubah pola pikir yang
total kepada bentuk relativitas, bahkan kepada hukum absolut dalam agama.
2.
Penolakan
atas segala jenis konsep fundamental yang bernilai sakral. Maka para pegiat
dalam kelompok ini sangat mengingkari prinsip-prinsip dasar agama, bahkan
mereka dituntut untuk bisa mengkritik hal fndamental tersebut. Seperti
eksistensi ketuhanan yang maha Esa.
3.
Ingkar
atas segala bentuk ideologi. Karena embel-embel relativitas di atas tadi, maka
prinsip permanen dalam agama akan ditolak tegas oleh mereka. Karena ideologi
yang mempunyai prinsip-prinsip permanen hanya akan mengekang ruang gerak
manusia, menurut mereka.
4.
Masih
atas dasar pemahaman relativisme, keabsahan tuhan yang dianggap sakral oleh
manusia beragama masih juga ditentang oleh mereka. Nietzsche mengungkapkan
“Tuhan telah mati (God is dead)”. Dari situ, ternyata objek mereka bukan hanya
Islam, tapi agama di dunia secara keseluruhan.
5.
Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil
penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung
dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu. Hal ini
mereka lakukan demi menentang kaum tradisionalis yang selama ini mereka anggap
tidak memiliki pemikiran maju karena mengacu pada satu asas pemikiran saja.
Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian berbagai pondasi pemikiran sangat
rawan dalam kesalahan berpikir. Berapa banyak kerancuan terjadi antara
pemikiran filsafat satu dengan yang lain. Itulah yang sekarang ini dihadapi
oleh para pendukung postmodernisme, yakni paradoksi pemikiran. Untuk menutupi
rasa malunya, para pendukung postmodernisme seperti Rorty, menganggap bahwa apa
yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak
perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin
meyakinkan masyarakat Barat bahwa dengan berpegangan dengan konsep dan ideologi
tersebut mereka akan dapat meraih berbagai hal yang menjadi impian dalam
kehidupannya[8]. Namun, mereka tetap tidak dapat lari
dan bersembunyi dari segala bentuk paradoksi pemikiran yang selalu menghantui
dan menghadangnya.
Dari
sejumlah poin prinsip di atas, rasanya mustahil bila manusia harus mengelak
dari ketetapan-ketetapan yang sakral dan permanen, atau dipaksa berfikir benar
tanpa percaya standar rambu-rambu yang pasti. Sedangkan mereka sendiri dengan
prinsip tidak adanya kebenaran mutlak, telah mematenkan standar berfikir
mereka. Bahkan dalam teori yang mereka gadang-gadang, kelompok postmo
seringkali mengajak manusia untuk melakukan pergolakan. Lantas bagaiamana
manusia bisa menuntut sebuah pergolakan bila tidak ada tolak ukur yang ideal
dalam menentukan kebenaran itu sendiri. Bagaiamana manusia dapat dikatakan
beragama bila tanpa mengikuti asas-asas agama itu sendiri?
Dibalik
kritik terhadap teks Qur’an dan hukum agama itu, eksis kelompok-kelompok
pemikiran anyar dalam Islam berlabel islam liberal, yang disisipkan pula
bersamanya gerakan kesetaraan gender yang acapkali digadang oleh kaum feminis
dimana mereka telah ada sejak era modernisme.
Pada
akhirnya, semakin kuat tertanam asas-asas postmodernisme pada diri seseorang,
maka makin menjauhkan sosoknya dari konsep beragama. Karena rambu-rambu dalam
Al-quran tak sedikit mengandung konten yang mutlak meskipun ada juga
dalil-dalil yang sifatnya dzanniy atau asumsiv, dan hal itulah yang sangat
sering dikritisi oleh orang-orang ini.
III. Peran Pesantren Dalam Filter
Postmodernisme
Kiprah para aktivis postmo dengan kelompok-kelompok yang berbeda
telah makin menrambat hingga ranah konstitusi. Ironi saat DPR mengusulkan
Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) beberapa tahun
lalu. Terlebih sebelumnya, program pengarusutamaan gender telah berhasil
menyusup ke dalam ranah akademik. Dalam kurikulum sejumlah perguruan tinggi
Islam di Indonesia, mata kuliah berbasik
gender telah menjadi bahan wajib. Bahkan doktrin semacam kritik terhadap konsep
wahyu dan teori evolusi syariah disisipkan di dalam mata kuliah Ulumul Qur’an[9].
Bahkan pada saat ini pos-pos penting pemerintahan di lingkup legislativ sudah
ditempati oleh aktivis-aktivis postmodernis ini. Lantas, jika semua lini di
tanah air telah diselimuti oleh mereka, apa yang bisa dilakukan oleh muslim
Indonesia untuk mencegah pemikiran super bebas ini?
Jika perguruan tinggi Islam telah disusupi doktrin-doktrin liberal
dan pengarusutamaan gender, maka menurut penulis yang perlu dikuatkan adalah
pondasi utama institusi pendidikan islam yang masih kecil kemungkinannya untuk
disusupi, yaitu pesantren. Pesantren yang kerap masih kental menjaga tradisi
keislamannya, tak juga meninggalkan sepenuhnya nilai-nilai modernitas yang
arahnya positiv, ini menjadi nilai plus dalam melakukan counter terhadap
pemikiran-pemikiran yang diadopsi dari barat tersebut. Barangkali ada sebuah
slogan dari ORMAS Islam Indonesia yang bisa dijadikan patokan pesantren untuk
memfilter segala jenis pemikiran baru, yaitu : al muhafadzotu alal
qodiimissolih wal akhdzu bil jadiidil aslah (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil hal baru yg lebih bermaslahat). Motto ini bisa juga diinterpretasikan
dengan tidak lantas meninggalkan kebenaran-kebenaran lama yang paten dan
mutlak, tidak juga menelan mentah-mentah perkara baru, sehingga maslahat tetap
terjaga.
Sebagai sebuah langkah preventif,
kiprah pesantren sangat diperlukan dalam menjaga keorsinilan Islam. Jika para
postmodernis mampu secara koordinatif membangun pemikiran baru dengan masuk
pada posisi-posisi penting sistem pemerintahan serta membentuk mind set gaya
hidup melalui media, maka tidak menutup kemungkinan pesantren yang sudah lama
solid berdiri di tanah air mampu membangun peradaban islam yang tetap pada
nilai-nilai yang orsinil dan tetap membentengi ideologi keislaman.
Pesantren
dan Peradaban Islam
Dalam teori pembentukan sebuah peradaban, seperti
dikemukakan oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, sebuah peradaban tidak akan terbentuk
hanya dengan melalui satu atau dua bidang kehidupan saja. Tapi melalui adanya
gabungan unsur baik dari segi ekonomi, politik, ataupun budaya yang bersinergi,
simultan dan konsisten. Sejarah telah membuktikan tatkala respon dan gairah
masyarakat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi, dengan
berdasarkan suatu tuntunan kehidupan dan hukum yang tinggi pula, maka
peradaban yang besar akan terbentuk[10].
Bukankah sejarah telah mencatat, pada abad ke tujuh hingga sebelas masehi, Islam
dengan peradaban dan perkembangan keilmuwannya mampu menghasilkan
penemuan-penemuan yang merupakan sumbangsih terbesar pada perdaban dunia. Maka
unsur-unsur penting yang mendominasi nilai-nilai perdaban Islam ini perlu
diaplikasikan dalam dunia pesantren dan management di dalamnya, sedikitnya 2
hal di bawah ini mempunyai peran esensial dalam kiprah pesantren :
1.
Menjaga tradisi intelektual keislaman
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir Islam abad ini
menyatakan bahwa kemunduran umat Islam, perkara utamanya bukanlah persoalan
kekalahan politik, namun disebabkan penyimpangan ilmu yang dengan demikian
menyebabkan ketiadaan adab[11].
Posisi pesantren yang tetap konsisten menjaga nilai-nilai pondasi keislaman
wajib terus dijaga, sembari melakukan sinkronasi dengan pengetahuan kontemporer
sehingga mampu menghadapi tantangan zaman dengan tetap berjalan pada koridor
Islam.
Figur intelek muslim seperti Umer Chopra, Muhammad Iqbal, dan
Rasyid Ridha, selayaknya mampu menjadi tambahan nutrisi dalam pendidikan
pesantren. Karena ide-ide baru mereka dalam politik, ekonomi, dan pemahaman
ulang ajaran Islam adalah sebagai formulasi bagi muslimin dalam menghadapi
postmodernisme. Wacana Islamisasi keilmuwan yang digulirkan oleh Universitas
Darussalam baru-baru ini, bukanlah proyek mudah. Dengan menguasai kedua
disiplin ilmu yaitu Islam dan sekuler, kemudian melakukan integrasi pada
keduanya, serta menggali Ilmu Islam melalui turats dan khazanah peradaban
Islam. Bila hal ini mampu direalisasikan maka, perjalanan peradaban baru Islam dalam skala mikro telah
berhasil dicapai. Maka tak salah jika kelak pesantren melakukan metode serupa.
Dari sinkronasi miliu keislaman dan kemodernan yang diciptakan
pesantren ini, diharapkan mampu mencetak intelek-intelek muslim berkaliber
hebat yang mampu mereduksi ancaman arus pemikiran pluralis, liberalis, dan
sejenisnya dengan terjun di berbagai sektor penting menghambat ruang gerak
mereka.
2.
Mempesantrenkan masyarakat
Sejauh ini, yang kita tahu bahwa keberadaan pesantren hadir
mengedukasi santri di dalamnya. Mind set yang turun temurun ini menjadikan
posisi pesantren terkesan sangat eksklusiv dalam memasarkan ilmu Islam.
Fenomena lain yang tak jarang kita temukan adalah masyarakat sekitar pesantren
hanya memanfaatkan keberadaan pesantren sebagai ladang menopang hidup dengan
berjualan di lingkungan sekitarnya. Sedangkan sentuhan edukasi keislaman jarang
sekali ditemukan terjadi antara pesantren dan masyarakat. Melihat sisi maslahat
saat ini, nampaknya sosialisasi ilmu agama oleh pesantren kepada masyarakat
merupakan urgensi yang perlu mendapatkan perhatian. Sehingga pesantren tidak
hanya mendidik orang-orang di dalamnya, tapi juga masyarakat sekitar. Strategi
seperti ini merupakan cara kongkrit membentengi aqidah, dan pemikiran
masyarakat dari pengaruh postmodernisme.
Kesimpulan
Kebebasan
berfikir yang diagung-agungkan oleh postmodernis berdampak pada munculnya
kelompok-kelompok baru sekelas kaum liberalis, feminis, pluralis, dengan
kemasan yang terlihat islami yang justru ingin menjauhkan nilai-nilai keagamaan
dari umat beragama. Teori relativitas yang menjadi senjata utama mereka sangat
agresif mewarnai kehidupan masyarakat bersamaan dengan pesatnya gerak media.
Walhasil, secara tak sadar, masyarakat telah dijauhkan dari agama dan menjadi
bagian dari mereka.
Demi
mereduksi dan memfilter gerakan postmodernisme, pesantren mempunyai peran
penting dengan menghadirkan formulasi baru dalam sistem pendidikannya dan tidak
mengesampingkan prinsip-prinsip lama pendidikan keislaman yang merupakan
pondasi ber-ideologi. Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang akan sulit
dimasuki pengaruh pemikiran postmo bila tetap menjaga prinsip-prinsip lamanya.
Membangun kembali peradaban Islam adalah cara terbaik dalam menjaga keorsinilan
nilai agama Allah, sekalipun membutuhkan perjuangan yang berat. Sementara
persantren dengan nilai-nilai kemandiriannya mempunyai peran esensial dalam
mewujudkan hal ini.
[1] Makalah
ini telah dipublish untuk rubrik kajian utama pada Majalah IKPM Pakistan 2015
[2] http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-postmodern.html
[3]
Docherty, Thomas. Postmodernism : a reader.
Harlow, England. Lowman. 1993
[4] http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/002.htm
[5]
ibid
[6] Abdullah,
Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hlm. 99-101.
[7] http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/002.htm
[8]
Cahoone, Lawrence. E. From Modernism to postmodernism : an Anthology Expanded.
Wiley-Blackwell 2nd edition.
2003. P : 210
[9]
Shalahuddin, Henri, MIRKH. Pengaruh Gender Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir,
tantangan dan peluang pemikiran kontemporer. Makalah. Jawa Barat. 2012
[10] http://majalahgontor.net/membangun-kembali-tradisi-intelektual-islam/
[11]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar