Sabtu, 12 September 2015

Pendapat Para Ulama tentang Oral Sex

Oleh : Firman Arifandi, BA, LLB[1]
Islam merupakan agama ilmu, yang semua komponen penunjangnya baik berupa ibadah, muamalah, muasyaroh, hingga pada interaksi sosial kemanusiaan diatur tertib dan berlandaskan pengetahuan. Shalat yang merupakan Ibadah utama, tak sembarangan bagi umat muslim untuk melaksanakannya bahkan tak bisa meninggalkannya selama nyawa masih dikandung badan, ada regulasi, ketentuan waktu, dan tata cara melakukannya bahkan hingga pada si sakit yang tidak bisa bergerak sekalipun. Zakat yang merupakan ibadah harta bertujuan untuk meringankan beban orang lain yang butuh, tak sembarangan pula didistrubisakan, ada ketentuan nisab dan haul sehingga zakat boleh dikeluarkan, serta delapan golongan khusus yang berhak menerima zakat. Dari contoh ini saja, maka segala jenis ibadah dalam implementasinya musti berlandaskan pengetahuan, dan setiap hamba diberikan tugas untuk mencari tahu landasan tersebut baik dari sumber nushus yaitu al-Quran dan sunnah, ataupun melalui ijma’ ulama dan qiyas, serta bagi orang yang awam diwajibkan bertanya kepada ulama dan mengikuti fatwanya.
Belakangan ini muncul pertanyaan-pertanyaan kontemporer dalam bidang fiqih, seperti hukum jual beli online, hukum pelaksanaan mudhorobah dalam sistem perbankan konvensional, hukum distribusi uang zakat untuk kepentingan masjid oleh lembaga zakat, hukum Qurban dari hasil uang iuran, bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah tentang hukum oral sex atau dalam istilah arab dinamakan al jins al fammiy/asyafawiy. Maka akan kami uraikan pendapat ulama yang mempunyai korelasi dengan pertanyaan tersebut, karena tak bisa dipungkiri hal ini masuk dalam kategori khilafiyah furuiyah yang tentu setiap pendapat ulama yang berbeda-beda tersebut punya penguat dan landasan yang syar’i.
Hukum Asal Sex
                Perilaku ini merupakan kebutuhan kedua pasangan secara biologis yang tak bisa dipungkiri,bahkan konsultasi tentangnya dalam agama bukanlah perihal yang tabu. Namun ternyata manusia tidak pula boleh sembarangan dalam melakukannya. Harus melalui jalur pernikahan yang sah, dan secara lafadz umum dikatakan dalam al quran surah al baqoroh 223 :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Ayat di atas mempunyai karakteristik tentang kebolehan sex, dipersilahkan bagi laki-laki mendatangi wanitanya dengan berbagai macam style yang diinginkanya. Namun, ada ulama tafsir yang memaknai kalimat “cocok tanam” dengan lubang tempat rahim dibuahi, maka diharamkan lubang yang lain didatangi. Hal ini juga diperkuat oleh hadist riwayat Abu Daud dan Nasa’I :
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِيْ دُبُوْرِهَا
Dilaknat, orang yang mendatangi perempuan pada duburnya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasaa’i)
Motivasi lain yang membolehkan perilaku sexual suami dan istri adalah perkataan Rasulullah SAW, bahwa hal ini dihitung ibadah yang baik bahkan dikategorikan shodaqoh bagi istri :
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ .
Dan hubungan intim di antara kalian adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) bisa bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim).
Variasi sex
                Kemudian, belakangan dimunculkan pertanyaan tentang variasi hubungan intim berupa oral sex, yang mana bila didefinisikan adalah aktivitas sexual dengan mulut sebagai medianya baik dengan menjilat, mencium, atau memasukannya ke mulut.  Maka ada ulama yang menghukuminya sebagai perilaku makruh, adapula yang berpendapat hal tersebut adalah boleh, bahkan ada yang mengharamkannya.
1.       Haram
Pengharaman banyak datang dari fatwa mufti Saudi Arabia, sekelas syaikh al Allamah Ahmad bin Yahya an Najmi yang berpendapat bahwa bila istri mengisap kemaluan suaminya adalah haram dikarenakan kemaluannya bisa memancarkan cairan madzi, sementara para ulama telah sepakat bahwa madzi adalah najis dan ditakutkan akan menyebabkan penyakit bila tertelan dan masuk ke badan.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Dr Muhammad Sayyid Ad-dasuki dalam fatwanya bahwa hal tersebut adalah harom, berlandaskan kepada qaidah fiqhiyyah :
 لا ضرر ولا ضرار في الإسلام     
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan dalam Islam.
Karena melakukan oral sex berdampak pada bahaya kesehatan, terlepas dari perbedaan pendapat tentang najis atau sucinya mani, maka menghindari bahaya adalah wajib dan dari sini ditarik kesimpulan akan datangnya hukum haram.
Banyak juga yang berdalil dengan hadist Aisyah yang menyatakan dirinya tak pernah melihat kemaluan Rasulullah saat jima’ begitupula sebaliknya (akan disebutkan hadistnya dalam pendapat kedua). Adapula yang mengharamkannya dengan dalil qiyas tasyabuh seperti hewan dan orang kafir. Namun yang lebih dominan adalah pendapat bahwa hal ini bertentangan dengan etika muslim.
Dari sejumlah fatwa yang terkumpul, kebanyakan landasan yang diambil adalah dalil ‘aqly, dan memang tidak ditemukan satupun ayat atau matan hadist yang secara eksplisit menyebutkan keharaman perbuatan semacam ini.
2.       Makruh (dibenci)
Di antara yang berpendapat demikian adalah Mufti Agung Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi.
Beliau berpendapat hal tersebut karena adanya kemungkinan tertelannya madzi yang sifatnya menurut jumhur ulama adalah najis, sementara mani menurut ulama madzhab syafi’iyah dan hanabilah sifatnya suci, berbeda dengan madzhab Hanafi dan Maliki yang menilai mani adalah najis. Beliau juga berpendapat tentang kemakruhannya dikarenakan hal tersebut di luar kewajaran.
                Begitupula Fatwa dari Syeikh Allamah Abdullah Bin Jibrin, mengatakan ini adalah perkara menjijikkan karena menurut beliau hal tersebut adalah di luar akal sehat manusia. Berikut beliau berdalil bahwa melihat kemaluan pasangan saja adalah hal yang dalam pandangan syariat Islam, ditegaskan dari hadist Aisyah :
عن عائشة رضي الله عنها قالت : ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه وسلم وكذلك قالت ما رآه مني ولا رأيته منه
”Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.”
Hadist di atas menurut pendapat sebagian besar ulama tidak bermakna pengharaman untuk melihat kemaluan pasangan, namun lebih kepada ketidak sukaan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis. Maka dari itu hal tersebut dihukumi makruh dan tidak sampai pada pengharaman. Karena ulama ushul sepakat bahwa pengharaman kepada suatu perkara wajib disertai oleh dalil yang mutlak menjadi penguat atas pengharamannya, sementara dalam dalil yang lebih kuat dalam Qur’an, laki-laki diberi kebebasan menikmati istrinya dengan style apapun kecuali melalui lubang dubur. Pendapat ini bisa dirujuk dalam kitab al Fiqhul Islam wa adillatuhu di juz ke 4 halaman 2650 karangan Syaikh faqih besar ternama abad ini, Dr Wahbah Az Zuhayli, Allah Yarhamuh. Atau bisa pula diakses melalui maktabah syamilah.
Lantas banyak yang mengambil pendapat syaikh Utsaimin sebagai landasan fatwa pengharaman jenis sex ini. Padahal dalam majlis dimana beliau ditanya tentang hukum tersebut, syaikh tidak memaparkan sifat haram hanya cenderung membenci dan mengajak untuk meninggalkannya. Berikut uraian percakapannya :
Setelah selesai dari mengajar di masjidil haram, Syaikh Muhammad bin Sholih bin Utsaimin ditanya oleh salah satu muridnya tentang hukum bagi istri menjilat dan mengisap zakar suaminya. Kemudian syaikh menjawab : Aku berlindung kepada Allah…apakah muslim layak melakukan itu?, lantas kemudian sang murid bertanya : Apakah jika demikian kau menghukuminya dengan keharaman wahai syaikh? Maka syeikh menolak untuk mengatakan hal tersebut adalah haram, halal, atau mubah, justru beliau berkata : hal tersebut adalah kotor yang sangat dibenci bila dilakukan seorang hamba yang sehat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa syaikh Utsaimin sendiri berpendapat pada makruh melakukan oral sex dan tidak sampai pada kategori haram[2].
3.       Mubah
Sebagian besar ulama menempatkan fatwanya pada pendapat ke-3 ini, yaitu mubah atau boleh-boleh saja. Di antaranya adalah ulama faqih terkemuka dan mantan mufti besar Mesir, syaikh Dr. Ali jum’ah dan pakar ilmu Fiqih Universitas al-Azhar Mesir Dr sabri Abdur Rauf. Keduanya bersandar pada ayat al-Quran surat al baqoroh ayat 187 :
هنّ لباس لكم وأنتم لباس لهم
Istri-istrimu adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian bagi istrimu.
Juga pada ayat 223 pada surah al baqoroh :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
                Dengan kedua ayat ini, memberikan gambaran pada ummat manusia bahwa hukum asal sex dengan beragam gayanya adalah boleh menurut syariat kecuali ada dalil eksplisit yang melarangnya. Seperti dalil larangan menjima’ istri dari dubur dan larangan menjima’ istri ketika masa haid. Dalil pada kedua hal tersebut sangat jelas dan ditentang oleh agama dengan keharamanya.
                Hal ini juga dikemukakan oleh syaikh Salman Bin Fahad, bahwa tidak ada keharaman bagi seorang muslim saat melakukan jima’ dengan gaya tersebut, karena logikanya, jika yang demikian adalah komponen penting yang membawa kepada kedua belah pihak puas dan tidak merasa terdzholimi maka sah saja hukumnya, hingga bila terjadi mafsadah yang merusak hukum asal dari syariat.
                Jawaban dari pendapat ulama yang mengharamkan oral sex atas dasar melihat kemaluan adalah haram sangat perlu disangkal. Hal ini karena ulama empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali) sepakat bahwa melihat kemaluan pasangan adalah boleh dikarenakan kemaluan adalah pusat rangsangan dan kenikmatan jima’.  Sangat disayangkan bila hadist yang dipakai hanyalah satu hadist dari pernyataan Aisyah RA di atas. Bukankah banyak riwayat shohih lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Aisyah melakukan mandi besar bersama setelah jima’ dalam satu kamar mandi dan berbagi gayung? Dan bahkan ada riwayat shohih lain terkait kebolehan melihat kemaluan pasangan, sebagai berikut :
diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.”[3]
                Dr Abdullah Faqih, penasehat markazul Fatwa menyatakan oral sex dibolehkan, karena tidak ada nash yang mengharamkan. Namun disyaratkan dari kebolehan ini dua hal yakni :
1.       Tidak membahayakan kedua belah pihak, baik dari segi kesehatan ataupun keselamatan jiwa.
2.       Tidak tertelan cairan yang dianggap najis, yaitu madzi.
Sebagaiamana Syaikh Abdurrahman Al-Barrok juga menyatakan kebolehan oral sex, namun diwajibkan untuk menghindari madzi.
                Imam Abu Bakar bin Mas’ud al Kasaniy dari madzhab Hanafi mengatakan, Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian[4].
                Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya[5].
                Syaikh Zaidul Bahry, imam besar di riyadh juga mengatakan akan kebolehan oral sex dengan dalil disebut di atas dan dengan ketentuan selama tidak membahayakan. Karena tujuan syariat adalah untuk memberikan maslahat kepada manusia[6].
Ulama-ulama ushul juga menerapkan qaidah :
الأصل في الأشياء الإباحة إلا ان جاء الدليل على تحريمه
Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali datang dalil yang mengubahnya menjadi haram.
Berkaca dari legal maxim ini, maka ulama berpendapat bahwa asal hukum sex dan segala gayanya adalah boleh, hingga datang dalil yang mengharamkanya, seperti dalil keharaman atas sex melalui lubang belakang dan keharaman jima’ saat istri haid. Sementara keluarnya madzi dan najis lain bukan merupakan komponen yang menjadikan hukum asal tersebut menjadi haram, tapi sebatas menjadi syarat dan kondisi batasan diperbolehkannya dan tidak diperbolehkannya melakukan variasi jenis sex.

KESIMPULAN
                Permasalahan terkait variasi berjima’ ternyata masuk dalam kategori khilafiyah fil furu’, atau perkara yang menjadi perbedaan dalam pandangan para ulama seperti perkara-perkara dalam bidang fiqih lainnya. Banyak yang mengharamkannya namun tak sedikit pula yang memandang hal tersebut adalah makruh dan mubah. Semuanya membawa dan menggunakan dalil yang dipandang kuat. Tugas kita sebagai muqollid muttabi’ hanyalah melihat dengan kacamata yang objektiv yang tak lepas dari nilai-nilai keilmuwan.
                Sebagai rekomendasi kepada para pembaca, disarankan menelaah kitab-kitab ulama terkait fiqih sexual seperti kitab Tuhfatul Arusy, Qurratul uyun, Hadiyyatul Arusy, dll. Terkait fatwa-fatwa khusus tentang bab jima’ bisa diakses melalui kitab-kitab fikih kontemporer yang sistematis seperti al fiqhu ‘ala madzahibil arba’ah, Fiqhul Islam wa adillatuhu, dll.
                Penulis sendiri lebih memandang kepada formulasi dari kaidah bahwa segala sesuatu adalah boleh hingga ada dalil yang melarangnya. Adapun konsekuensi yang menjadikan sifat halal menjadi haram bukan sebagai perubah sifat diharamkannya perilaku awal, namun justru menjadi kondisi pembatas sampai dimana hal tersebut dibolehkan.
                 

Wallahu a’lam bishhowab





[1] Penulis adalah Mahasiswa pascasarjana fakultas Syariah dan hukum  jurusan ilmu Ushul Fiqh di Internasional Islamic University Islamabad, Pakistan.
Menggunakan kata kunci : الفتاوى الخاصة بموضوع الجنس الفموي حكم اللعق والمص فتاوى شرعية
[3] Bisa dilacak kebenaran riwayat ini dalam kitab al Mughni juz 17 hal 79 di Maktabah syamilah
[4] Imam Abu Bakar bin Mas’ud al Kasaniy, badho’I’u ashona’I, juz VI
[5] Syeikh ad Dardiri, Syarhul Kabir, Juz II H 215
[6] https://youtu.be/jr_fpkzVHFY

Tidak ada komentar: