Oleh : Firman
Arifandi, BA, LLB[1]
Islam
merupakan agama ilmu, yang semua komponen penunjangnya baik berupa ibadah,
muamalah, muasyaroh, hingga pada interaksi sosial kemanusiaan diatur tertib dan
berlandaskan pengetahuan. Shalat yang merupakan Ibadah utama, tak sembarangan
bagi umat muslim untuk melaksanakannya bahkan tak bisa meninggalkannya selama
nyawa masih dikandung badan, ada regulasi, ketentuan waktu, dan tata cara
melakukannya bahkan hingga pada si sakit yang tidak bisa bergerak sekalipun.
Zakat yang merupakan ibadah harta bertujuan untuk meringankan beban orang lain
yang butuh, tak sembarangan pula didistrubisakan, ada ketentuan nisab dan haul
sehingga zakat boleh dikeluarkan, serta delapan golongan khusus yang berhak
menerima zakat. Dari contoh ini saja, maka segala jenis ibadah dalam
implementasinya musti berlandaskan pengetahuan, dan setiap hamba diberikan
tugas untuk mencari tahu landasan tersebut baik dari sumber nushus yaitu
al-Quran dan sunnah, ataupun melalui ijma’ ulama dan qiyas, serta bagi orang
yang awam diwajibkan bertanya kepada ulama dan mengikuti fatwanya.
Belakangan ini
muncul pertanyaan-pertanyaan kontemporer dalam bidang fiqih, seperti hukum jual
beli online, hukum pelaksanaan mudhorobah dalam sistem perbankan konvensional,
hukum distribusi uang zakat untuk kepentingan masjid oleh lembaga zakat, hukum
Qurban dari hasil uang iuran, bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah tentang
hukum oral sex atau dalam istilah arab dinamakan al jins al fammiy/asyafawiy.
Maka akan kami uraikan pendapat ulama yang mempunyai korelasi dengan pertanyaan
tersebut, karena tak bisa dipungkiri hal ini masuk dalam kategori khilafiyah
furuiyah yang tentu setiap pendapat ulama yang berbeda-beda tersebut punya
penguat dan landasan yang syar’i.
Hukum Asal Sex
Perilaku ini merupakan kebutuhan kedua pasangan
secara biologis yang tak bisa dipungkiri,bahkan konsultasi tentangnya dalam
agama bukanlah perihal yang tabu. Namun ternyata manusia tidak pula boleh
sembarangan dalam melakukannya. Harus melalui jalur pernikahan yang sah, dan
secara lafadz umum dikatakan dalam al quran surah al baqoroh 223 :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al
Baqoroh : 223)
Ayat di atas mempunyai karakteristik
tentang kebolehan sex, dipersilahkan bagi laki-laki mendatangi wanitanya dengan
berbagai macam style yang diinginkanya. Namun, ada ulama tafsir yang
memaknai kalimat “cocok tanam” dengan lubang tempat rahim dibuahi, maka
diharamkan lubang yang lain didatangi. Hal ini juga diperkuat oleh hadist
riwayat Abu Daud dan Nasa’I :
مَلْعُوْنٌ مَنْ
أَتَى امْرَأَةً فِيْ دُبُوْرِهَا
“Dilaknat, orang yang mendatangi
perempuan pada duburnya.” (HR. Abu Dawud dan
An-Nasaa’i)
Motivasi lain yang membolehkan perilaku sexual suami dan istri adalah
perkataan Rasulullah SAW, bahwa hal ini dihitung ibadah yang baik bahkan
dikategorikan shodaqoh bagi istri :
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ.
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ .
Dan hubungan
intim di antara kalian adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) bisa
bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada yang meletakkan
syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah
sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim).
Variasi sex
Kemudian,
belakangan dimunculkan pertanyaan tentang variasi hubungan intim berupa oral
sex, yang mana bila didefinisikan adalah aktivitas sexual dengan mulut sebagai
medianya baik dengan menjilat, mencium, atau memasukannya ke mulut. Maka ada ulama yang menghukuminya sebagai
perilaku makruh, adapula yang berpendapat hal tersebut adalah boleh, bahkan ada
yang mengharamkannya.
1. Haram
Pengharaman banyak datang dari fatwa mufti
Saudi Arabia, sekelas syaikh al Allamah Ahmad bin Yahya an Najmi yang
berpendapat bahwa bila istri mengisap kemaluan suaminya adalah haram
dikarenakan kemaluannya bisa memancarkan cairan madzi, sementara para ulama
telah sepakat bahwa madzi adalah najis dan ditakutkan akan menyebabkan penyakit
bila tertelan dan masuk ke badan.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Dr Muhammad
Sayyid Ad-dasuki dalam fatwanya bahwa hal tersebut adalah harom, berlandaskan
kepada qaidah fiqhiyyah :
لا ضرر ولا ضرار في
الإسلام
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan dalam
Islam.
Karena
melakukan oral sex berdampak pada bahaya kesehatan, terlepas dari perbedaan
pendapat tentang najis atau sucinya mani, maka menghindari bahaya adalah wajib
dan dari sini ditarik kesimpulan akan datangnya hukum haram.
Banyak juga
yang berdalil dengan hadist Aisyah yang menyatakan dirinya tak pernah melihat
kemaluan Rasulullah saat jima’ begitupula sebaliknya (akan disebutkan hadistnya
dalam pendapat kedua). Adapula yang mengharamkannya dengan dalil qiyas tasyabuh
seperti hewan dan orang kafir. Namun yang lebih dominan adalah pendapat bahwa
hal ini bertentangan dengan etika muslim.
Dari sejumlah
fatwa yang terkumpul, kebanyakan landasan yang diambil adalah dalil ‘aqly, dan
memang tidak ditemukan satupun ayat atau matan hadist yang secara eksplisit
menyebutkan keharaman perbuatan semacam ini.
2. Makruh (dibenci)
Di antara
yang berpendapat demikian adalah Mufti Agung Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi.
Beliau berpendapat hal tersebut karena adanya kemungkinan
tertelannya madzi yang sifatnya menurut jumhur ulama adalah najis, sementara
mani menurut ulama madzhab syafi’iyah dan hanabilah sifatnya suci, berbeda
dengan madzhab Hanafi dan Maliki yang menilai mani adalah najis. Beliau juga
berpendapat tentang kemakruhannya dikarenakan hal tersebut di luar kewajaran.
Begitupula
Fatwa dari Syeikh Allamah Abdullah Bin Jibrin, mengatakan ini adalah perkara
menjijikkan karena menurut beliau hal tersebut adalah di luar akal sehat
manusia. Berikut beliau berdalil bahwa melihat kemaluan pasangan saja adalah
hal yang dalam pandangan syariat Islam, ditegaskan dari hadist Aisyah :
عن
عائشة رضي الله عنها قالت : ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه وسلم وكذلك قالت
ما رآه مني ولا رأيته منه
”Aku tidak pernah
melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya
kepadaku.”
Hadist di atas menurut pendapat sebagian besar
ulama tidak bermakna pengharaman untuk melihat kemaluan pasangan, namun lebih
kepada ketidak sukaan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis. Maka dari
itu hal tersebut dihukumi makruh dan tidak sampai pada pengharaman. Karena
ulama ushul sepakat bahwa pengharaman kepada suatu perkara wajib disertai oleh
dalil yang mutlak menjadi penguat atas pengharamannya, sementara dalam dalil
yang lebih kuat dalam Qur’an, laki-laki diberi kebebasan menikmati istrinya dengan
style apapun kecuali melalui lubang dubur. Pendapat ini bisa dirujuk dalam
kitab al Fiqhul Islam wa adillatuhu di juz ke 4 halaman 2650 karangan Syaikh
faqih besar ternama abad ini, Dr Wahbah Az Zuhayli, Allah Yarhamuh. Atau bisa
pula diakses melalui maktabah syamilah.
Lantas
banyak yang mengambil pendapat syaikh Utsaimin sebagai landasan fatwa
pengharaman jenis sex ini. Padahal dalam majlis dimana beliau ditanya tentang
hukum tersebut, syaikh tidak memaparkan sifat haram hanya cenderung membenci
dan mengajak untuk meninggalkannya. Berikut uraian percakapannya :
Setelah selesai dari mengajar di
masjidil haram, Syaikh Muhammad bin Sholih bin Utsaimin ditanya oleh salah satu
muridnya tentang hukum bagi istri menjilat dan mengisap zakar suaminya.
Kemudian syaikh menjawab : Aku berlindung kepada Allah…apakah muslim layak
melakukan itu?, lantas kemudian sang murid bertanya : Apakah jika demikian kau
menghukuminya dengan keharaman wahai syaikh? Maka syeikh menolak untuk
mengatakan hal tersebut adalah haram, halal, atau mubah, justru beliau berkata
: hal tersebut adalah kotor yang sangat dibenci bila dilakukan seorang hamba
yang sehat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa syaikh Utsaimin sendiri
berpendapat pada makruh melakukan oral sex dan tidak sampai pada kategori haram[2].
3. Mubah
Sebagian besar ulama menempatkan fatwanya pada
pendapat ke-3 ini, yaitu mubah atau boleh-boleh saja. Di antaranya adalah ulama
faqih terkemuka dan mantan mufti besar Mesir, syaikh Dr. Ali jum’ah dan pakar
ilmu Fiqih Universitas al-Azhar Mesir Dr sabri Abdur Rauf. Keduanya bersandar
pada ayat al-Quran surat al baqoroh ayat 187 :
هنّ لباس لكم وأنتم لباس لهم
Istri-istrimu adalah pakaianmu dan
kamu adalah pakaian bagi istrimu.
Juga pada ayat 223 pada surah al
baqoroh :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
Dengan
kedua ayat ini, memberikan gambaran pada ummat manusia bahwa hukum asal sex
dengan beragam gayanya adalah boleh menurut syariat kecuali ada dalil eksplisit
yang melarangnya. Seperti dalil larangan menjima’ istri dari dubur dan larangan
menjima’ istri ketika masa haid. Dalil pada kedua hal tersebut sangat jelas dan
ditentang oleh agama dengan keharamanya.
Hal
ini juga dikemukakan oleh syaikh Salman Bin Fahad, bahwa tidak ada keharaman
bagi seorang muslim saat melakukan jima’ dengan gaya tersebut, karena
logikanya, jika yang demikian adalah komponen penting yang membawa kepada kedua
belah pihak puas dan tidak merasa terdzholimi maka sah saja hukumnya, hingga
bila terjadi mafsadah yang merusak hukum asal dari syariat.
Jawaban
dari pendapat ulama yang mengharamkan oral sex atas dasar melihat kemaluan
adalah haram sangat perlu disangkal. Hal ini karena ulama empat madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali) sepakat bahwa melihat kemaluan pasangan
adalah boleh dikarenakan kemaluan adalah pusat rangsangan dan kenikmatan
jima’. Sangat disayangkan bila hadist
yang dipakai hanyalah satu hadist dari pernyataan Aisyah RA di atas. Bukankah
banyak riwayat shohih lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Aisyah
melakukan mandi besar bersama setelah jima’ dalam satu kamar mandi dan berbagi
gayung? Dan bahkan ada riwayat shohih lain terkait kebolehan melihat kemaluan
pasangan, sebagai berikut :
diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya
dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana
yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini
hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula
dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang
perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan
auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak
mengapa.”[3]
Dr
Abdullah Faqih, penasehat markazul Fatwa menyatakan oral sex dibolehkan, karena
tidak ada nash yang mengharamkan. Namun disyaratkan dari kebolehan ini dua hal yakni
:
1.
Tidak membahayakan kedua belah pihak,
baik dari segi kesehatan ataupun keselamatan jiwa.
2.
Tidak tertelan cairan yang dianggap
najis, yaitu madzi.
Sebagaiamana
Syaikh Abdurrahman Al-Barrok juga menyatakan kebolehan oral sex, namun
diwajibkan untuk menghindari madzi.
Imam Abu Bakar bin Mas’ud al
Kasaniy dari madzhab Hanafi mengatakan, Seorang suami berhak menikmati
istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh
bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya
yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali
dengan hal yang demikian[4].
Setiap pasangan suami istri yang
diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling
melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits
yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta
adalah hadits munkar tidak ada landasannya[5].
Syaikh
Zaidul Bahry, imam besar di riyadh juga mengatakan akan kebolehan oral sex
dengan dalil disebut di atas dan dengan ketentuan selama tidak membahayakan.
Karena tujuan syariat adalah untuk memberikan maslahat kepada manusia[6].
Ulama-ulama ushul juga menerapkan qaidah :
الأصل
في الأشياء الإباحة إلا ان جاء الدليل على تحريمه
Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh,
kecuali datang dalil yang mengubahnya menjadi haram.
Berkaca dari legal maxim ini, maka ulama
berpendapat bahwa asal hukum sex dan segala gayanya adalah boleh, hingga datang
dalil yang mengharamkanya, seperti dalil keharaman atas sex melalui lubang
belakang dan keharaman jima’ saat istri haid. Sementara keluarnya madzi dan
najis lain bukan merupakan komponen yang menjadikan hukum asal tersebut menjadi
haram, tapi sebatas menjadi syarat dan kondisi batasan diperbolehkannya dan
tidak diperbolehkannya melakukan variasi jenis sex.
KESIMPULAN
Permasalahan
terkait variasi berjima’ ternyata masuk dalam kategori khilafiyah fil furu’,
atau perkara yang menjadi perbedaan dalam pandangan para ulama seperti
perkara-perkara dalam bidang fiqih lainnya. Banyak yang mengharamkannya namun
tak sedikit pula yang memandang hal tersebut adalah makruh dan mubah. Semuanya
membawa dan menggunakan dalil yang dipandang kuat. Tugas kita sebagai muqollid
muttabi’ hanyalah melihat dengan kacamata yang objektiv yang tak lepas dari
nilai-nilai keilmuwan.
Sebagai
rekomendasi kepada para pembaca, disarankan menelaah kitab-kitab ulama terkait
fiqih sexual seperti kitab Tuhfatul Arusy, Qurratul uyun, Hadiyyatul Arusy,
dll. Terkait fatwa-fatwa khusus tentang bab jima’ bisa diakses melalui
kitab-kitab fikih kontemporer yang sistematis seperti al fiqhu ‘ala madzahibil
arba’ah, Fiqhul Islam wa adillatuhu, dll.
Penulis
sendiri lebih memandang kepada formulasi dari kaidah bahwa segala sesuatu
adalah boleh hingga ada dalil yang melarangnya. Adapun konsekuensi yang
menjadikan sifat halal menjadi haram bukan sebagai perubah sifat diharamkannya
perilaku awal, namun justru menjadi kondisi pembatas sampai dimana hal tersebut
dibolehkan.
Wallahu a’lam bishhowab
[1]
Penulis adalah Mahasiswa pascasarjana fakultas Syariah dan hukum jurusan ilmu Ushul Fiqh di Internasional
Islamic University Islamabad, Pakistan.
Menggunakan kata kunci : الفتاوى الخاصة بموضوع الجنس الفموي حكم اللعق والمص فتاوى شرعية
[3]
Bisa dilacak kebenaran riwayat ini dalam kitab al Mughni juz 17 hal 79 di
Maktabah syamilah
[4] Imam Abu
Bakar bin Mas’ud al Kasaniy, badho’I’u ashona’I, juz VI
[5]
Syeikh ad Dardiri, Syarhul Kabir, Juz II H 215
[6] https://youtu.be/jr_fpkzVHFY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar