Senin, 31 Oktober 2011

Nasib Perempuan Pakistan

Muladi Mughni



Secara umum bagi orang yang pernah berkunjung ke pakistan, apalagi sempat tinggal di negeri ini, akan terlihat bahwa pada sektor-sektor publik banyak didominasi oleh kaum lelaki ketimbang perempuan. Siapapun saja yang baru pertama kali singgah di negeri ini akan memiliki kesimpulan yang serupa. Baik apakah ia bekerja sebagai seorang pejabat pemerintahan, pengusaha, pekerja di perusahaan swasta (NGO), ataupun pelajar dan mahasiswa, kesan di atas selalu muncul di benak mereka. Kalau pun perempuan ada, sebatas pada pelayanan yang sifatnya khusus bagi kalangannya sendiri (baca; perempuan).
Kondisi minimnya kiprah perempuan dalam sektor-sektor publik ini, tidak saja sering kita jumpai dalam dunia birokrasi yang meniscayakan adanya interaksi antara pejabat yang bersangkutan dengan masyarakat, akan tetapi juga sampai pada tataran keseharian hidup seperti pelayanan toko, rumah makan, swalayan, penjaga loket karcis angkutan/tol, resepsionis hotel, dan lain-lain. Semua sektor-sektor kecil ini pun perempuan di pakistan -umumnya- sangat jarang mau mendudukinya, atau tepatnya barangkali “tidak diberikan kesempatan” untuk menjalankannya.
Ada asumsi yang seolah telah menjadi mind-sett masyarakat umumnya di sini, bahwa selama kaum lelaki masih dapat melakukan tugas-tugas publik tersebut, maka lebih baik kaum perempuan menjadi pihak yang dilayani. Sebenarnya hal ini bukan suatu ketentuan yang tertulis, akan tetapi bisa berupa refleksi dari pola budaya yang telah sedemikian mengakar dan lama dalam praktik kehidupan masyarakat di sini yang dalam lingkup terkecil “keluarga” kaum lelaki selalu tampil bertanggung jawab menanggung kebutuhan seluruh anggotanya termasuk yang perempuan. Bidang-bidang kalangan yang dianggap “lemah” seperti anak-anak kecil dan perempuan (sekalipun boleh jadi perempuan itu lebih terdidik dari yang lelakinya) hanya dibatasi pada ruang privat dan keperluan domestik saja, seperti menjaga anak, memasak, membersihkan rumah, melayani suami, dan terkadang harus siap untuk dikawinpaksa.[1]
Sekalipun praktik seperti ini sedikit demi sedikit hampir hilang dalam struktur masyarakat perkotaan yang lebih terdidik secara modern. Hal ini sangat wajar karena suka tidak suka tingkat kesenjangan sosial-ekonomi di Pakistan cukup tinggi. Di satu sisi terdapat kalangan tuan tanah, saudagar atau pengusaha yang super miliuner yang kadang memiliki dua warga kenegaraan (Pakistan-Inggris; misalnya), akses pendidikan anak-anaknya pun lebih dipilih luar negeri, dan di sisi lain, kalangan masyarakat bawah (super miskin) yang banyak tinggal di daerah-daerah pedalaman yang tidak memiliki akses fasilitas apa pun dari negara. Jangankan akses pendidikan, sarana transportasi, komunikasi serta penerangan saja juga sulit didapat. Kelompok masyarakat yang ke dua inilah yang sesungguhnya banyak terdapat di pakistan. Adanya gap yang cukup tajam ini merupakan satu kendala tersendiri bagi Pakistan untuk melakukan sebuah terobosan-terobasan baru dalam modernisasi pada berbagai bidang, khususnya penggiatan kiprah perempuan dalam sektor-sektor publik. Di mana, dalam struktur masyarakat bawah yang disebut tadi, yang lebih berperan kemudian adalah kebijakan-kebijakan “alamiah” atau kebijakan yang lazim diterapkan dalam suku (kabilah), di mana dalam satu kampung atau desa penduduknya harus tunduk pada satu aturan kepala-kepala suku yang disebut dengan “Jirga”.[2]
Jirga inilah yang banyak memiliki peran sentral dalam struktur masyarakat di pedalaman Pakistan. Pemerintah daerah secara de jure bisa ada, dan bisa pula tidak ada.[3] Sekalipun ada, keberadaannya hanya sebatas formalitas saja, pada tataran praktiknya Jirga inilah yang lebih memiliki pengaruh dalam sistem sosial di sana, dan bahkan dalam mengambil setiap tindakan, pemerintahan formal harus terlebih dahulu berkonsultasi, atau tepatnya “mendapatkan restu” dari Jirga ini.
Selayaknya hukum kesukuan, tentu lagi-lagi perempuan tidak akan pernah dilibatkan dalam bermusyawarah, apalagi dalam penentuan setiap kebijakan tertentu. Dominasi lelaki sangat menonjol dalam sistem Jirga ini. Lagi-lagi ini merupakan satu setting budaya yang telah lama mengakar dalam sistem sosial di Pakistan. Dan dalam batas tertentu pun masih terdapat di negara kita (Indonesia) dan negara-negara Arab yang masih kuat memegang kesukuannya, seperti Yaman, Arab Saudi, Irak, dan Libia.
Demikianlah cara pandang umumnya masyarakat pakistan terhadap perempuan, faktor budaya patriarki masih sangat kuat terasa; yaitu pandangan perempuan tidak patut disertakan dalam urusan-urusan sosial, mereka akan lebih bermartabat jika memilih mengurus rumah ketimbang rajin bersekolah, dan lain-lain. Di samping itu faktor pandangan sempit keagamaan juga mempengaruhi implikasi subordinasi peran perempuan dalam negara ini. Pandangan sempit keagamaan yang dimaksud adalah, masih banyaknya anggapan bahwa perempuan adalah sekelompok orang yang harus ditutup rapat, dan tidak boleh dilihat oleh orang lain yang bukan muhrim (kerabatnya). Sehingga dari pandangan sempit inilah diantaranya muncul larangan-larangan atas nama agama untuk mengkarantinakan perempuan dengan dalih agar kesuciannya tetap terjaga. Padahal apakah benar agama Islam bertindak sedemikian keras terhadap perempuan ?, maka jangan sampai pemahaman yang sempit kita jadikan alasan untuk mengebiri peran sosial perempuan atas alasan agama.


________________________________________
[1] Di Pakistan praktik kawin paksa orang tua terhadap anak perempuannya sudah menjadi hal yang lumrah, khususnya masyarakat pedalaman yang masih sangat konservatif untuk menyelesaikan pertikain antar keluarga. Ada pula tradisi “perkawinan dengan kitab suci al-Quran" yaitu praktik perkawinan yang memaksa seorang perempuan untuk bersumpah di bawah kitab suci al-Quran untuk tidak menikah. Praktik ini dilakukan untuk mencegah agar perempuan yang bersangkutan tidak mendapatkan hak warisnya.(baca: Liga Muslim Pakistan Gulirkan RUU Larangan Kawin Paksa terhadap Perempuan di Pakistan, www.eramuslim.com, Rabu, 14 Peb 07). Sekarang Undang-undang ini telah disahkan.
[2] Jirga adalah: perkumpulan dari beberapa kepala suku yang ada dalam suatu kampung atau daerah yang fungsinya tak kurang dari sebagai badan penyelesaian masalah atau sengketa, seperti keputusan perang, damai, dan masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi pada kawasan kekuasaan kepala-kepala suku tersebut. Lihat: (Emma Duncam, Breaking the Curfew; a Political Journey Through Pakistan, Arrow Book, edisi 1, 1990, hlm. 149).
[3] Pemerintahan daerah memiliki sistem arbitrasi di daerah-daerah suku (tribal area) yang dinamakan dengan Frontier Crime Regulation (FCR). Namun pada praktiknya sistem ini kurang mendapatkan sambutan dari masyarakat suku, mereka lebih sreg menggunakan Jirga, karena selain birokrasi FCR yang cenderung berbelit-belit, juga sistemnya yang dianggap ‘tidak demokratis’ karena tidak melibatkan semua rakyat tetapi hanya pada pihak-pihak yang terkait saja.

Tidak ada komentar: