Jumat, 24 Desember 2010

Bunuh Kamran

Bunuh Kamran

Mungkin jam 12 siang ini, atau mungkin kutunda saja dua tiga jam lagi. Ah, entahlah. Keinginanku ini selalu saja menghantuiku dan akan terus menghantui jika tidak benar-benar kulakukan. Aku ingin sekali membunuhnya. Ya, menghentikan denyut nadinya, menghentikan detak jantungnya. Jengkelku sudah kepalang meradang.
Mumpung kelas sudah kosong, semuanya sudah bubar dan biasanya dia suka berjam-jam menyendiri di ruang kelas berukuran 8x8 yang lumayan luas ini. Tembok dengan cat putih memudar, satu pintu di samping kanan yang masih kuat dan 4 kipas angin di langit-langit ruangan masing-masing di samping kanan dan kiri kelas. Semua itu akan menjadi saksi tragedi berdarah ini. Memang seusai kuliah dia tak pernah langsung keluar, biasanya suka berjam-jam hingga bus jemputan tiba pukul 17.00 nanti. Jengkelku padanya sudah merambat ke sekujur jiwa mengalir bersama darah menyatu menjadi dendam dan benci.
Kamran shahzad, anak Pakistan dari suku Punjabi inilah yang sudah bikin aku kesal bahkan geram. Hari-hariku serasa suram dengan adanya dia. Anak dari salah satu suku Pakistan berkulit hitam ini memang terkenal suka ngibul, penipu, ngejek seenaknya, kentut sembarangan, gak sopan.
Hari ini aku menjadi korban “cakar makarnya”. Cakar makar adalah istilah urdu yang digunakan untuk pekerjaan menipu, dan hal ini rasanya sudah mendarah daging di kalangan mereka. Ya, kemarin aku mendapat sms darinya yang mengatakan bahwa hari ini jam pertama tidak ada kelas. Tentu saja aku tidak datang dan tidak konfirmasi ke teman lainnya karena aku tidak punya nomor teman sekelas yang lain. Sore harinya aku bertemu teman sekelas lainnya dan menanyakanku kenapa absen hari ini?. Kurang ajar.
Ini bukan kali pertama, beberapa bulan lalu aku juga pernah dibikin malu oleh ulahnya, oleh kebiasaan cakar makarnya. Lagi-lagi dia membohongiku, mengabariku bahwa presiden kampus memanggilku karena ada hal penting menyangkut perwakilan Indonesia dalam suatu kegiatan kampus katanya. Sesampainya di kantor presiden, aku terpaksa harus menunggu lama dan lagi-lagi harus absen dari kelas untuk tiga jam karena presiden sedang rapat. Bayangkan saja, 180 menit aku harus menunggu di ruang tunggu berukuran 3x3m ini hanya duduk dan duduk menatap kosong seisi ruangan yang tanpa pajangan dan hiasan apapun, monoton. Sendirian. Akhirnya waktu yang kunanti itu tiba. Tiga jam menunggu tak sia-sia, pikirku. Presiden selesai rapat dan aku dipersilakan masuk ke ruanganya. Hmmm…parfum, masih kecium, kembali merapikan kemeja hijauku yang kumasukkan ke dalam jeans wrangler hitam, sabuk dengan lambang eiger, yup, perfect. Dengan PeDe melangkah masuk ke ruangan presiden, menjabat tangannya yang sudah terasa “gek kenceng” lagi, pertanda tak lagi muda. Di hadapan beliau kini kumulai muqodimah dengan basa-basi semampuku selanjutnya kuhaturkan maksud dan kedatnganku. Namun apa tanggapan pak tua yang masih gagah ini? Beliau berkata “sejauh ini pihak universitas tidak pernah merencanakan untuk mengadakan acara kerjasama secara eksklusif dengan mahasiswa dari negara anda, dan saya tidak pernah merasa memanggil anda, coba pastikan lagi kepada orang yang memberi tahu anda. Maaf saya sibuk saat ini” seraya mengulurkan tangan kananya sopan dengan telapak terbuka, memintaku keluar ruanganya. Owh God.. kenapa Kau cetak manusia bejat seperti Kamran. Kecewa aku bercampur geram. Kembali ke kelas yang sudah bubar untuk menemuinya. Ingin kutampar mulut busuknya, tapi apa daya dia sudah sudah hengkang.
Semester lalu, aku juga harus rela menyandang nilai F alias failed di salah satu mata kuliah yang aku sendiri anggap cukup mudah. Itupun gara-gara ulah busuknya. Catatanku dicurinya sejak dua hari sebelum ujian hingga hari H tiba. Dia mengambilnya tanpa sepengetahuanku dari dalam tas. Berlaga tak bersalah, cengar-cengir dia kembalikan padaku di luar ruang ujian seraya berkata “koi bhat nehi yar, Khus raho..!!” . Khus raho mbahmu salto jawabku dengan geram, sambil berlari ke arahnya ingin segera kuhajar anak itu tapi sayang, anggota kelas yang lain malah melerai.
Bukan itu saja, hampir tiap hari dia mengejekku dengan bahasa urdunya “hei..hei..cotha mothu!!’ maksudnya pendek dan gemuk, menghina fisiku. Dia sendiri tidak sadar kalau dirinya sendiri hitam kumuh, jerawat di wajahnya penuh nampak seperti pecel, ceking, jelek, mulutnya lebar, pembohong besar dengan kebiasaan mengupil dan buang angin seenaknya.
***
Ya, saat ini pisau sudah ada di genggamanku. Kamran shahzad adalah satu dari sebagian besar sosok kemungkaran bagiku di atas bumi ini yang harus segera kucegah sebelum orang lain menjadi korban selanjutnya. Dan dia adalah manusia berjiwa iblis yang harus segera kumusnahkan dari permukaan planet bumi ini, dengan membunuhnya. Mungkin aku akan pakai cara orang Palembang dengan menikam dari belakang, atau dengan adat “carok” orang Madura dengan berkelahi hingga mati. Atau bisa juga aku pakai adat “santet” Banyuwangi yaitu sihir mematikan bagi yang sakit hati dan dendam, tapi itu tidak mungkin. Ya, waktunya tinggal sejam lagi sebelum dia beranjak meninggalkan ruangan ini menuju bus kampus diluar sana. Sekarang atau tidak selamanya. Aku percepat langkahku menuju dia dengan tidak meninggalkan suara langkah sedikitpun. Pisau siap menerkam, darahku sudah memuncak di ubun-ubun memanas melihat wajah hitam kumuhnya yang memuakkan. Satu meter jaraku dan aku melompat ke arahnya “ciaaaaaaaaaaat…”
Byuuuuur..!! Dingin, serasa ada yang menyiramku. “Ahmed, bangun!! Kau kesiangan subuh lagi kali ini” ujar Panji temen sekamarku. Yagh.. mimpi.

Tidak ada komentar: