Kamis, 01 Desember 2011

Diplomatic Immunity Petaka Yurisdiksi Pakistan


Firman Arifandi

            Sebuah mimpi buruk sempat menghantui Pakistan, merusak nilai-nilai kedaulatan negeri paratha tersebut. Betapa tidak, intervensi asing dalam berbagai hal telah terlampau jauh menyelimutinya. Krisis keamanan, krisis judicial, electricity shortage, adalah isu lama yang diderita Pakistan. Kemudian krisis kedaulatan menjadi isu baru akhir-akhir ini di negara bentukan Mohammad Ali Jinnah tersebut.
            Kisah kelabu yang terjadi pada bulan Januari 2011 lalu itu, mengisahkan seorang kewarganegaraan Amerika yang disinyalir sebagai kontraktor CIA tertuduh melakukan penembakan terhadap warga Pakistan di jalan besar Lahore. Singkat kata, dalam proses investigasi pengadilan, sang penembak dibebaskan dengan kekuatan diplomatic immunity yang dimilikinya. Karena ditengah persidangan, diakui dia adalah seorang staff konsular Amerika yang ada di lahore. Serta pembunuhannya atas dasar pembelaan diri, dalihnya.
            Begitu besar kekuatan diplomatic immunity ini hingga menimbulkan kontraversi di mata khalayak banyak. Bahkan tak sedikit dari warga Pakistan sendiri yang menyesalkan lemahnya kekuatan de jure dan de facto nya hukum di negeri mereka sendiri. Dengan kasat mata, kita bisa mengartikan dari kejadian di atas bahwa dengan kekuatan diplomatic immunity, seorang diplomat yang dalam misi di negara lain bisa melakukan aksi kriminal melawan hukum yang berlaku di sana.
            Ibarat sakti mandraguna, diplomatic immunity yang ditetapkan dalam perjanjian Vienna (Vienna convention) pada tahun 1961 itu memberikan kekebalan hukum pada diplomat yang sedang dalam misi di negara lain. Namun bukan berarti tujuannya adalah guna memberikan kebebasan sepenuhnya kepada mereka untuk melakukan aksi kriminal melawan hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan.
            Kendati demikian, fenomena yang ada justru menjadikan isi dari Vienna convention ini menjadi pengalaman kelam bagi sejumlah negara terlebih Pakistan baru-baru ini. Padahal, perjanjian Vienna tersebut hanya memberi langkah-langkah spesifik yang dapat diambil oleh negara asli dan negara tujuan dalam kasus penyalahgunaan hak diplomat. Artinya, diplomatic immunity untuk diplomat yang dimaksudkan adalah untuk menjadi alat yang memfasilitasi hubungan antara satu negara dengan negara yang lain. Dalam konteks globalnya, diplomatic immunity menjamin agen diplomat ataupun keluarganya di negara yang dituju dalam hal-hal berikut :
  • Tidak ditangkap atau ditahan
  • Tidak digeledah tempat tinggalnya
  • Tidak diinterogasi
  • Tidak dipanggil sebagai saksi
  • Tidak dituntut
Dari beberapa referensi dapat diambil keterangan detail sebagai berikut:

Definisi dan Sejarah

Diplomatic immunity adalah pondasi utama hukum internasional  yang memberikan hak kepada pejabat pemerintah asing atau yang disebut diplomat untuk tidak terkena dan tunduk pada aturan-aturan yurisdiksi pengadilan lokal ataupun otoritas lainnya di negara tempat dia melakukan misinya. Sebenarnya, konsep diplomatic immunity ini sudah ada sejak zaman kesukuan kuno. Dalam rangka bertukar informasi, utusan tiap suku diizinkan berjalan melintasi daerah kesukuan lainnya tanpa rasa takut akan bahaya karena sudah mendapat hak perlindungan dari tokoh kesukuan yang dituju. Awalnya, hak istimewa tersebut diberikan atas dasar bilateral ad hoc, sehingga menyebabkan kesalahpahaman dan tekanan pada negara-negara lemah. Berbagai kesepakatan dan regulasi kemudian muncul dalam konvensi Wina, dan dari situlah kemudian ditetapkan akan segala standar, hak, dan kewajiban untuk semua diplomat.
Dalam konsep Islam, diplomatic immunity juga telah ada pada zaman nabi Muhammad. Bahwa setiap utusan dari negara lain tidak boleh dirugikan, bahkan jika utusan itu datang dari negara-negara musuh yang membawa pesan provokativ dan offensiv sekalipun. Salah satu cerita tatkala Musaylamah mengirim utusannya kepada Nabi yang menyatakan bahwa Musaylamah adalah Nabi terakhir dan setara derajatnya dengan Muhammad SAW.
            Vienna convention yang membahas tentang aturan main diplomatic pada tahun 1961, dan tentang etika konsuler pada 1963 dihadiri oleh kurang lebih 160 negara. Konvensi atau perjanjian ini memberi status immunity atau kekebalan pada setiap diplomat dan konsuler tergantung pada pangkat masing-masing mereka. Katakanlah seorang diplomat dan keluarga kandungnya, mereka terlepas dan aman dari segala bentuk proses hukum negara tuan rumah. Sedangkan staf administrasi dan tekhnik dalam kedutaan, memiliki tingkat immunity yang lebih rendah dibanding diplomat. Petugas konsuler yang melayani di konsulat pun memiliki hak immunity yang sangat tipis sekali, dan hanya dalam lingkup tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari tugas resmi mereka. Bahkan seseorang yang dikirim dalam tugas resmi misi diplomatik untuk jangka pendek, tidak diberi status kekebalan atau immunity padanya.

Kasus Raymond Davis : Perspektiv Hukum Internasional

            Pada tanggal 27 Januari 2011, Raymond Davis yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang diplomat, menembak dan menewaskan dua warga sipil Pakistan. Sementara orang ketiga tewas tertabrak ketika mencegat mobil Davis yang hendak melarikan diri. Awalnya, media melaporkan bahwa sang penembak ini adalah seorang dengan identitas warga sipil Amerika dengan visa kunjungan bisnis di Pakistan. Namun disusul berita lain setelahnya bahwa dirinya adalah seorang staf konsuler di Lahore. Hal ini adalah berdasarkan keterangan dari asisten menteri luar negeri Amerika Philip J. Crowley yang mana sebelumnya sempat menolak untuk memberikan keterangan tentang status Raymond Davis.
            Setelah proses penyelidikan awal oleh polisi, davis dikirim kembali ke tahanan selama enam hari. Hal ini memicu perdebatan, jikalau Davis seperti pernyataannya adalah sebagai seorang diplomat, mengapa dia tidak mendapatkan hak immunity nya? Karena diplomat dan keluarganya akan menikmati status diplomatic immunity sepenuhnya tanpa harus diintrogasi apalagi ditahan dalam penjara. Akhirnya Davis mengatakan bahwa dirinya adalah staf konsuler di Lahore, seperti pernyataan kementrian luar negeri AS. Jika memang demikian adanya, maka ada perjanjian multirateral terpisah yang disebutkan dalam perjanjian Vienna yang mengatur prinsip-prinsip hak dan kewajiban diplomat dan konsuler yang jauh berbeda. Kebebasan dan immunity konsuler cakupannya hanya terbatas dalam perjalanan tugasnya saja. Sedangkan saat itu Davis sedang di luar jam fungsi staf konsuler.
            Tentang kekebalan konsuler dari yurisdiksi kriminal, sebenarnya sudah tertata dalam pasal 41 sub 1 Konvensi Vienna bahwa : seorang petugas konsuler tidak dibebani penangkapan atau penahanan kasus sidang, kecuali dalam sebuah aksi kejahatan serius. Kata “kejahata serius” dalam pasal tersebut sebenarya juga memiliki makna luas. Dalam kasus Davis sendiri, pembunuhan yang dilakukannya juga masuk dalam kategori ini. Namun lagi-lagi Davis berdalih bahwa dirinya melakukan penembakan itu atas dasar self defence, dan terkait hal ini undang-undang hukum pidana Pakistan (Pakistan Penal Code) pasal 96 hingga 106 mendeskripsikan batasan-batasan self defence dan konsekuensinya. Pada pasal 100 menyebutkan tentang kemungkinan seseorang melakukan self defence hingga menyebabkan kematian apabila :
  1. Ancaman  serangan yang diterima dikhawatirkan akan mengancam nyawa korban
  2. Ancaman  serangan yang diterima dikhawatirkan akan menyebabkan luka berat.
Berdasarkan pasal itu, Davis mampu mengklaim dirinya dalam ancaman perampokan hingga dia harus membela dirinya dengan menembak mati lawannya. Singkat kata, Davis berhasil dipulangkan ke Amerika, dan keluarga korban diberi kompensasi senilai diyyat. Serta diberi paspor kewarganegaraan Amerika oleh negara adidaya tersebut. Namun, lagi-lagi muncul pertanyaan faktual yang belum terjawab, yaitu:
  1. Mengapa Davis tidak mampu menunjukkan identitasnya sebagai petugas konsuler saat proses investigasi awal?
  2. mengapa petugas konsuler membawa pistol? Sedangkan ketentuan ini benar-benar melanggar undang-undang yang tertera dalam Pakistan Penal Code dan juga dalam ketentuan perjanjian Vienna 1961.
  3. Mengapa Amerika dalam merilis status Davis amat sangat lambat? Bahkan ketika media mewawancarai kementrian luar negeri Amerika pasca kejadian, mereka hanya tutup mulut.

Di sisi lain, media juga kurang mengangkat teori konspirasi yang tampak ini, terlebih ketika fakta tentang status Davis lambat laun terungkap. Bagaimanapun, hal ini penting untuk dicatat bahwa “kejahatan diplomatik” berkedok diplomatic immunity bukanlah hal baru, banyak kasus serupa terjadi. Maka Amerika dalam menjamin Raymond Davis, dengan immunitynya juga bukan perkara baru. Dalam hal ini, yang bisa dilakukan Pakistan hanyalah memberikan “persona non grata” kepada Davis berdasarkan pasal 9 Vienna Convention. Artinya, Davis tidak boleh bertugas kembali ke pakistan dan Amerika harus membatalkan misinya sebagai pejabat konsuler. Tapi hal ini penulis anggap belum menyelesaikan perkara, mengingat tiga pertanyaan di atas yang masih misterius belum terjawab. Kasus ini kemudian mencuat ke mata international, dan menjadikan Pakistan tampak semakin lemah di bawah kaki Amerika. Kedaulatan negara Ali Jinnah ini seolah terkoyak-koyak dengan berbagai kasus dan kejadian. Dari drone Attack di perbatasan Pakistan-Afghanistan, kasus Dr. Aafia, penyerangan sepihak yang dilakukan Amerika dalam penggerebekan Osama Bin Laden di Abottabad, Kasus Abdul Qodir Khan, dan serangkaian kasus lainnya yang tak lepas dari intervensi asing terutama Amerika.    

Tidak ada komentar: