Sabtu, 11 Februari 2012

Yudikatif vs eksekutif


Konflik Pakistan tiada akhir
Oleh : Firman Arifandi
 Belakangan ini kita seringkali dihidangkan dengan headline berita di surat kabar dan media lainnya tentang skandal memogate antara pemerintah dengan KASAD dan Dirjen ISI. Kasus tersebut akhirnya harus menyeret sejumlah tokoh negara seperti presiden Asif Ali Zardari yang hingga saat ini diduga sebagai pelaku utama, kemudian KASAD Pakistan jendral Ashfaq Kayani, dan kepala ISI Sauja Pasha ke meja hijau. Perkara seperti ini bukanlah satu-satunya kasus yang pernah terjadi di Pakistan. Sepanjang perjalanannya, negeri bentukan Ali Jinnah ini hampir di setiap periodenya mengalami guncangan konflik antara dua organ tersebut, yaitu Yudikatif dan eksekutif.
Sejarah singkat konflik yudikatif dan eksekutif negara ini berawal sejak Pakistan dibentuk pada tahun 1947, Ghulam Muhammad menjabat sebagai meteri keuangan pertama di negara tersebut. Karena pertimbangan kesehatan, Liauquat Ali Khan pada saat itu hendak menghapus jabatan Ghulam Muhammad. Namun, pada tahun 1951 Liaquat Ali Khan terbunuh. Sehingga dari situ, diangkatlah Khawaja Nazimuddin sebagai perdana menteri dan Ghulam Muhammad memposisikan dirinya sebagai Gubernur Jenderal. Dari posisi ini Ghulam Muhammad memperpanjang jabatannya di Pakistan. Nazimuddin secara terang-terangan menantang tindakan tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1954 dibuatlah amandemen pada sistem konstitusi, tapi sebelum semuanya disahkan, Ghulam Muhammad telah mengeluarkan Nazimuddin dari jabatannya dan menggantinya dengan Muhammad Ali Bogra. Di saat yang sama, majelis Konstitusi yang mengadakan amandemen turut dibubarkan oleh Bogra. Langkah tersebut ditentang oleh Maulvi Tamizuddin, presiden majelis konstitusi di pengadilan Sindh dan bagaimanapun hasil putusan amandemen akhirnya diputuskan dan disahkan oleh Hakim Munir. Selanjutnya, pada tahun 1955 kesehatan Ghulam memburuk, akting Gubernur Jenderal yang pada saat itu dipegang oleh Iskandar Mirza menyingkirkan seluruh hak kekuasaannya hingga akhirnya dia mati setahun setelahnya, dan dengan jabatan itu pula Ali Bogra dikeluarkan dari jabatannya.
Selebihnya pada tahun 1958 di bulan oktober, Iskandar Mirza bersama Ayub Khan memberlakukan hukum bela diri (baca: martial law) serta membekukan hukum konstitusi 1956. Hal ini berlangsung hingga tahun 1962, yang mana berimbas juga pada pembubaran majelis provinsi dan nasional serta penghentian beberapa menteri. Kudeta dan darurat militer dalam hukum konstitusional adalah gerakan yang bertentangan dengan konstitusi, namun hal ini dilegalkan oleh hakim Munir, yang terkenal dalam doktrinnya sebagai doktrin darurat negara. Istilah dalam doktrin ini untuk melegalkan langkah ekstra yang ilegal, demi terwujudnya kestabilan negara. Namun, lagi-lagi ini disalah artikan dan salah implementasi.
Pada tahun 1973, Ali Bhutto merumuskan hukum konstitusi 1973 bertemakan “CONSTITUTION OF THE ISLAMIC REPUBLIC OF PAKISTAN, 1973”. Perumusan ini dibentuk bersama-sama oleh sejumlah tokoh partai politik. Menurut Konstitusi 1973, hak pengambilan kebijakan adalah sepenuhnya milik perdana menteri, sementara presiden hanyalah sebagai sosok pemimpin secara simbolik dan central figure. Dari situlah kemudian Zulfikar Ali Bhutto diangkat dan disahkan menjadi perdana menteri Pakistan. Melangkah dari situ kemudian pada tahun 1976 dibentuklah sejumlah perubahan besar pada hukum konstitusi. Perlu digaris bawahi bahwa selain posisinya sebagai perdana menteri, dia juga mengisi pos lain dalam kabinet sebagai menteri urusan luar negeri, pertahanan, dan interior. Dampaknya lagi-lagi timbul perselisihan sengit di internal badan pemerintahan dikarenakan hak, wewenang, dan yurisdiksi pengadilan sangat dibatasi dalam undang-undang konstitusi tersebut. Dari sisi lain, Bhutto juga menolak pembentukan pemerintahan  dengan partai separatis yaitu Partai Awami League yang mana telah mendapatkan suara terbanyak PEMILU 1970 di belahan Pakistan timur. Keputusan ini kemudian berbuah perdebatan sengit, hingga menimbulkan konflik perang saudara karena semakin memanas. Dengan bantuan militer India, kemudian Pakistan timur berpisah dari negara Pakistan menjadi Bangladesh.
Merasa bahwa publik banyak tidak setuju atas pemerintahannya, maka Ali Bhutto pada tahun 1977 memandatkan pemilu dini dan partainya menang. Namun bagaimanapun partai oposisi menganggapnya sebagai sebuah kecurangan. Situasi politik ini menghasilkan sejumlah gerakan demontsrasi anti Bhutto di jalan-jalan. Dari pihak Bhutto pun tidak ambil diam, dia memenjarakan para pemimpin partai oposisi atas dasar pemberontakan pada pemerintah.
Militer mengambil tindakan, pada tanggal 5 juli 1977 di bawah komando kepala staff angkatan darat, jenderal Ziaul Haq. Mengeluarkan pemerintah dari kantor parlemen dan menahan Ali Bhutto serta menjatuhinya hukuman mati dua tahun setelahnya. Dirinya kemudian mendeklarasikan lagi pemberlakuan martial law atau hukum pertahanan di Pakistan. Kekuasaan pemerintahan saat itu penuh di tangan jendral Zia-ul-Haq.
Nusrat Bhutto megajukan petisi kepada Mahkamah Agung menolak hukum darurat militer yang diberlakukan oleh Ziaul Haq. Namun bagaimanapun pengadilan tetap tidak bisa bertindak banyak karena divalidasi pembebanan di bawah doktrin darurat negara. Akhirnya, pada tahun 1979 Ali Bhutto dijatuhi hukuman mati atas tuduhan tindakan korupsi dan pembunuhan di luar cakupan hukum. Kasus hukuman Ali Bhutto ini hingga saat ini masih menjadi kasus kontroversial dalam sejarah Pakistan.
Pada tahun 1980 Zia mengeluarkan ketentuan khusus yaitu pengecualian semua tindakan yang berhubungan dengan darurat militer dari yurisdiksi pengadilan. Satu tahun setelahnya Zia mengeluarkan regulasi baru dimana seluruh hakim harus tunduk dan mengambil sumpah baru. Selanjutnya mengharuskan mereka untuk bekerja sesuai perintah dan persetujuan baru yang dibuat Zia sendiri. Walhasil, 16 hakim dipecat, 3 lainnya menolak mengambil sumpah, dan sisanya menyerah di bawah tekanan. Pada tahun 1985 Zia mengangkat dirinya menjadi presiden. Pada tahun yang sama, konstitusi 1973 dirubah olehnya, dimana konstitusi memberikan kekuasaan luar biasa kepada presiden hingga wewenang untuk membubarkan majelis nasional. Hal tersebut dimasukkan dalam pasal 58 (2) b Constitution of The Islamic Republic of Pakistan, 1973. Singkat kata, rezim Zia ini berakhir juga dengan kematiannya dalam kecelakaan pesawat, pada bulan Agustus tahun 1988. Saat itu juga ketua senat Ghulam Ishaq Khan mengambil alih kedudukan sebagai presiden.
Segera setelah kematian Zia, diadakanlah pemilu di negeri tersebut dimana Benzir Bhutto dari partai PPP unggul dan berhasil duduk di kursi perdana menteri. Namun, jabatan itu tidak lama diembannya dan dirinya terpaksa keluar dari kursi pemerintahan karena tuduhan korupsi pada tahun 1990. Setelah pemecatan itu, diangkatlah Muhammad Nawaz Sharif sebagai perdana menteri atas kemenangan PML dalam pemilu. Namun, lagi-lagi pada tahun 1993 Ishaq Khan membubarkan parlemen atas tuduhan korupsi dan mengumumkan untuk diadakan pemilu ulang. Namun, mahkamah agung menilai tindakan ini tidak valid dan mengembalikan posisi Nawaaz Sharif sebagai perdana menteri. Bagaimanapun, ketegangan yang terjadi antara perdana menteri dan presiden terus berlanjut dan meyebabkan keduanya mundur dari kursi pemerintahan. Selanjutnya diadakanlah kembali pemilu dimana PPP menang dan Bhutto kembali menjadi perdana menteri. Farooq Laghari yang saat itu menjabat sebagai presiden juga memberhentikan Benazir Bhutto atas dakwaaan dugaan korupsi pada tahun 1996. Maka dari situ diadakanlah pemilu lagi di tahun 1997 dimana Nawaz Sharif kembali duduk sebagai perdana menteri. Amandemen ke-13 dilakukan lagi oleh Sharif, di mana memberikan keleluasaan perdana menteri untuk menunjuk kepala staff angkatan darat dan kepala institusi sipil lainnya. Amandemen 13 ini menimbulkan kontroversi di kalangan petinggi yudikativ.
Singkat kata pada tahun 1999 kekuasaan Nawaz ini dirobohkan dengan kudeta dari kepala staff angkatan darat Pakistan, Jendral Musharaf. Kemudian dilakukanlah referendum tiga tahun setelahnya yang mana mayoritas suara menetapkan sang jendral untuk menjadi presiden. Saat itu juga pemerintah mencabut amandemen 13 dan 14 yang dibuat oleh Nawaz, serta membebaskan Asif Ali Zardari dari penjara yang sebelumnya terlibat tuduhan money laundering. Sementara Nawaz diasingkan ke Arab Saudi.
Setelah masa jabatan kepresidenannya hampir habis, Musharaf membekukan Hakim Agung Iftikhar Muhammad Chaudry karena tidak taat dan tunduk kepadanya. Imbasnya, timbul sejumlah kekacauan dari protestan yang meminta restorasi chief justice tersebut, demonstrasi dari aliansi pakar hukum Pakistan di jalan-jalan banyak terjadi. Hingga akhirnya pada bulan July 2007 Chaudry diangkat kembali tanpa persetujuan presiden oleh Hakim Khalil-ur-Rehman Ramday. Hal ini disetujui oleh semua hakim, dan dinyatakan bahwa petisi yang diajukan oleh Musharaf adalah invalid.
Pada saat PEMILU yang diadakan bulan oktober 2007, partai Musharaf unggul sehingga kembali menempatkannya di kursi presiden. Namun hal ini ditentang oleh mahkamah agung. Karena takut posisinya digulingkan, akhirnya dia memberlakukan hukum darurat militer serta membekukan konstitusi dan parlemen bersamaan. Musharaf juga memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman tahanan rumah bagi Iftikhar Chaudry dan semua hakim yang memulihkan statusnya. Tak lama setelahnya, pada tanggal 15 desember 2007 Musharaf mencabut hukum darurat berikut perintah-perintah yang diberlakukannya.
Pada bulan Februari 2008 diadakanlah PEMILU di mana PPP dan PML-N mendapat mayoritas suara. Kedua partai tersebut berkoalisi yang mana terpilihlah Yousuf Raza Gilani sebagai perdana menteri. Sementara, di seantero Pakistan, rakyat banyak mengadakan demonstrasi menuntut pemulihan kembali Hakim Agung Iftikhar Muhammad Chaudry serta hakim lainnya yang dikeluarkan dan dihukum tahanan rumah. Terhitung hingga bulan Juni, seringkali terjadi demo dan pawai anarki menuntut penggulingan Musharaf dari kursi kepresidenan. Akhirnya, pada bulan Agustus 2008 dirinya mengundurkan diri sebagai orang nomor satu Pakistan, dan kedudukannya digantikan Asif Ali Zardari dia memenangkan pemilihan presiden.
Lagi-lagi presiden Pakistan bermasalah dengan pengadilan. Mahkamah agung meminta Biro Akuntibilitas Nasional untuk membuka kembali kasus money laundering yang sempat dituduhkan pad Asif Zardari saat dirinya menjadi anggota senat. Belum selesai kasus ini diproses, terjadi lagi sebuah skandal memogate, dimana seorang businessman Pakistan di Amerika menyatakan bahwa dirinya ditugaskan oleh seorang pejabat negara untuk membawa memo kepada Laksamana Mike Mullen. Memo ini dispekulasikan ditulis setelah penyergapan Osama Bin Laden pada tanggal 2 mei 2011 lalu. Hal tersebut disinyalir telah ditulis oleh Zardari dan Hussain Haqqani, duta besar Pakistan di Amerika yang meminta campur tangan Amerika jika kelak terjadi kudeta kepemimpinan oleh kepala staff KASAD Jenderal Ashfaq Khayani dan kepala Badan Intelijen Ahmad Shuja Pasha. Kecurigaan makin mencuat tatkala Husain Haqqani mundur dari jabatannya sebagai duta besar Pakistan di Amerika pada bulan November tahun lalu. Dalam sebuah kesempatan, Jenderal Khayani menyatakan bahwa militer sama sekali tidak pernah berkeinginan untuk melakukan Kudeta. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah jumpa pers di Islamabad.
Nawaz Sharif dan aliansinya mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk menyelesaikan tuntas kasus memogate dan hal tersebut diterima. Dalam sebuah perbincangan antar lawyer Pakistan, bila kasus memogate memang benar terbukti adanya, maka presiden Asif Ali Zardari dan Hussain Haqqani akan terbebani oleh pasal Pakistan Penal Code dalam sebuah tindakan konspirasi terhadap negara dan sebuah tindakan pengkhianatan. Begitulah timeline singkat yang bisa penulis kaji dalam membahas konflik antara komponen penting negara yaitu yudikatif dan eksekutif di negara bentukan Ali Jinnah ini.

Sumber :
1.                                                                 http://www.dawn.com/2012/01/25/timeline-judiciary-vs-executive-conflict.html
2.                                                                   http://www.pakistanherald.com/Profile/Mohammed-Ali-Bogra-1178
3.                                                                   http://pakistanconstitution-law.org/
4.                                                                   Iqbal, Javeed, The Independence of judiciary, 2011, Lahore High Court
5.                                                                   http://www.britannica.com/EBchecked/topic/64265/Zulfikar-Ali-Bhutto
6.                                                                   Ali, Amir, Struggle for Democracy in Sindh:  A Case Study of Movement for Restoration of Democracy (1983), Jan 2011
7.                                                                   http://www.globalsecurity.org/military/world/pakistan/muhammad-zia-ul-haq.htm
8.                                                                   http://elections.com.pk/candidatedetails.php?id=6887
l

Tidak ada komentar: