Konflik Pakistan
tiada akhir
Oleh : Firman
Arifandi
Sejarah singkat
konflik yudikatif dan eksekutif negara ini berawal sejak Pakistan dibentuk pada tahun 1947,
Ghulam Muhammad menjabat sebagai meteri keuangan pertama di negara tersebut.
Karena pertimbangan kesehatan, Liauquat Ali Khan pada saat itu hendak menghapus
jabatan Ghulam Muhammad. Namun, pada tahun 1951 Liaquat Ali Khan terbunuh.
Sehingga dari situ, diangkatlah Khawaja Nazimuddin sebagai perdana menteri dan
Ghulam Muhammad memposisikan dirinya sebagai Gubernur Jenderal. Dari posisi ini
Ghulam Muhammad memperpanjang jabatannya di Pakistan . Nazimuddin secara
terang-terangan menantang tindakan tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1954
dibuatlah amandemen pada sistem konstitusi, tapi sebelum semuanya disahkan,
Ghulam Muhammad telah mengeluarkan Nazimuddin dari jabatannya dan menggantinya
dengan Muhammad Ali Bogra. Di saat yang sama, majelis Konstitusi yang
mengadakan amandemen turut dibubarkan oleh Bogra. Langkah tersebut ditentang
oleh Maulvi Tamizuddin, presiden majelis konstitusi di pengadilan Sindh dan
bagaimanapun hasil putusan amandemen akhirnya diputuskan dan disahkan oleh
Hakim Munir. Selanjutnya, pada tahun 1955 kesehatan Ghulam memburuk, akting
Gubernur Jenderal yang pada saat itu dipegang oleh Iskandar Mirza menyingkirkan
seluruh hak kekuasaannya hingga akhirnya dia mati setahun setelahnya, dan
dengan jabatan itu pula Ali Bogra dikeluarkan dari jabatannya.
Selebihnya pada
tahun 1958 di bulan oktober, Iskandar Mirza bersama Ayub Khan memberlakukan
hukum bela diri (baca: martial law) serta membekukan hukum konstitusi 1956. Hal
ini berlangsung hingga tahun 1962, yang mana berimbas juga pada pembubaran
majelis provinsi dan nasional serta penghentian beberapa menteri. Kudeta dan
darurat militer dalam hukum konstitusional adalah gerakan yang bertentangan
dengan konstitusi, namun hal ini dilegalkan oleh hakim Munir, yang terkenal
dalam doktrinnya sebagai doktrin darurat negara. Istilah dalam doktrin ini
untuk melegalkan langkah ekstra yang ilegal, demi terwujudnya kestabilan
negara. Namun, lagi-lagi ini disalah artikan dan salah implementasi.
Pada tahun 1973,
Ali Bhutto merumuskan hukum konstitusi 1973 bertemakan “CONSTITUTION OF THE
ISLAMIC REPUBLIC OF PAKISTAN, 1973”. Perumusan ini dibentuk
bersama-sama oleh sejumlah tokoh partai politik. Menurut Konstitusi 1973, hak
pengambilan kebijakan adalah sepenuhnya milik perdana menteri, sementara
presiden hanyalah sebagai sosok pemimpin secara simbolik dan central figure. Dari
situlah kemudian Zulfikar Ali Bhutto diangkat dan disahkan menjadi perdana
menteri Pakistan .
Melangkah dari situ kemudian pada tahun 1976 dibentuklah sejumlah perubahan
besar pada hukum konstitusi. Perlu digaris bawahi bahwa selain posisinya
sebagai perdana menteri, dia juga mengisi pos lain dalam kabinet sebagai
menteri urusan luar negeri, pertahanan, dan interior. Dampaknya lagi-lagi
timbul perselisihan sengit di internal badan pemerintahan dikarenakan hak,
wewenang, dan yurisdiksi pengadilan sangat dibatasi dalam undang-undang
konstitusi tersebut. Dari sisi lain, Bhutto juga menolak pembentukan
pemerintahan dengan partai separatis
yaitu Partai Awami League yang mana telah mendapatkan suara terbanyak PEMILU
1970 di belahan Pakistan
timur. Keputusan ini kemudian berbuah perdebatan sengit, hingga menimbulkan
konflik perang saudara karena semakin memanas. Dengan bantuan militer India , kemudian Pakistan
timur berpisah dari negara Pakistan
menjadi Bangladesh .
Merasa bahwa
publik banyak tidak setuju atas pemerintahannya, maka Ali Bhutto pada tahun
1977 memandatkan pemilu dini dan partainya menang. Namun bagaimanapun partai
oposisi menganggapnya sebagai sebuah kecurangan. Situasi politik ini
menghasilkan sejumlah gerakan demontsrasi anti Bhutto di jalan-jalan. Dari
pihak Bhutto pun tidak ambil diam, dia memenjarakan para pemimpin partai
oposisi atas dasar pemberontakan pada pemerintah.
Militer
mengambil tindakan, pada tanggal 5 juli 1977 di bawah komando kepala staff
angkatan darat, jenderal Ziaul Haq. Mengeluarkan pemerintah dari kantor
parlemen dan menahan Ali Bhutto serta menjatuhinya hukuman mati dua tahun
setelahnya. Dirinya kemudian mendeklarasikan lagi pemberlakuan martial law atau
hukum pertahanan di Pakistan .
Kekuasaan pemerintahan saat itu penuh di tangan jendral Zia-ul-Haq.
Nusrat Bhutto
megajukan petisi kepada Mahkamah Agung menolak hukum darurat militer yang
diberlakukan oleh Ziaul Haq. Namun bagaimanapun pengadilan tetap tidak bisa
bertindak banyak karena divalidasi pembebanan di bawah doktrin darurat negara.
Akhirnya, pada tahun 1979 Ali Bhutto dijatuhi hukuman mati atas tuduhan
tindakan korupsi dan pembunuhan di luar cakupan hukum. Kasus hukuman Ali Bhutto
ini hingga saat ini masih menjadi kasus kontroversial dalam sejarah Pakistan .
Pada tahun 1980
Zia mengeluarkan ketentuan khusus yaitu pengecualian semua tindakan yang
berhubungan dengan darurat militer dari yurisdiksi pengadilan. Satu tahun
setelahnya Zia mengeluarkan regulasi baru dimana seluruh hakim harus tunduk dan
mengambil sumpah baru. Selanjutnya mengharuskan mereka untuk bekerja sesuai
perintah dan persetujuan baru yang dibuat Zia sendiri. Walhasil, 16 hakim
dipecat, 3 lainnya menolak mengambil sumpah, dan sisanya menyerah di bawah
tekanan. Pada tahun 1985 Zia mengangkat dirinya menjadi presiden. Pada tahun
yang sama, konstitusi 1973 dirubah olehnya, dimana konstitusi memberikan
kekuasaan luar biasa kepada presiden hingga wewenang untuk membubarkan majelis
nasional. Hal tersebut dimasukkan dalam pasal 58 (2) b Constitution of The
Islamic Republic of Pakistan, 1973. Singkat kata, rezim Zia ini
berakhir juga dengan kematiannya dalam kecelakaan pesawat, pada bulan Agustus
tahun 1988. Saat itu juga ketua senat Ghulam Ishaq Khan mengambil alih
kedudukan sebagai presiden.
Segera setelah
kematian Zia, diadakanlah pemilu di negeri tersebut dimana Benzir Bhutto dari
partai PPP unggul dan berhasil duduk di kursi perdana menteri. Namun, jabatan
itu tidak lama diembannya dan dirinya terpaksa keluar dari kursi pemerintahan
karena tuduhan korupsi pada tahun 1990. Setelah pemecatan itu, diangkatlah
Muhammad Nawaz Sharif sebagai perdana menteri atas kemenangan PML dalam pemilu.
Namun, lagi-lagi pada tahun 1993 Ishaq Khan membubarkan parlemen atas tuduhan
korupsi dan mengumumkan untuk diadakan pemilu ulang. Namun, mahkamah agung
menilai tindakan ini tidak valid dan mengembalikan posisi Nawaaz Sharif sebagai
perdana menteri. Bagaimanapun, ketegangan yang terjadi antara perdana menteri
dan presiden terus berlanjut dan meyebabkan keduanya mundur dari kursi
pemerintahan. Selanjutnya diadakanlah kembali pemilu dimana PPP menang dan
Bhutto kembali menjadi perdana menteri. Farooq Laghari yang saat itu menjabat
sebagai presiden juga memberhentikan Benazir Bhutto atas dakwaaan dugaan
korupsi pada tahun 1996. Maka dari situ diadakanlah pemilu lagi di tahun 1997
dimana Nawaz Sharif kembali duduk sebagai perdana menteri. Amandemen ke-13
dilakukan lagi oleh Sharif, di mana memberikan keleluasaan perdana menteri
untuk menunjuk kepala staff angkatan darat dan kepala institusi sipil lainnya.
Amandemen 13 ini menimbulkan kontroversi di kalangan petinggi yudikativ.
Singkat kata pada
tahun 1999 kekuasaan Nawaz ini dirobohkan dengan kudeta dari kepala staff
angkatan darat Pakistan ,
Jendral Musharaf. Kemudian dilakukanlah referendum tiga tahun setelahnya yang
mana mayoritas suara menetapkan sang jendral untuk menjadi presiden. Saat itu
juga pemerintah mencabut amandemen 13 dan 14 yang dibuat oleh Nawaz, serta
membebaskan Asif Ali Zardari dari penjara yang sebelumnya terlibat tuduhan
money laundering. Sementara Nawaz diasingkan ke Arab Saudi.
Setelah masa
jabatan kepresidenannya hampir habis, Musharaf membekukan Hakim Agung Iftikhar
Muhammad Chaudry karena tidak taat dan tunduk kepadanya. Imbasnya, timbul
sejumlah kekacauan dari protestan yang meminta restorasi chief justice
tersebut, demonstrasi dari aliansi pakar hukum Pakistan di jalan-jalan banyak
terjadi. Hingga akhirnya pada bulan July 2007 Chaudry diangkat kembali tanpa
persetujuan presiden oleh Hakim Khalil-ur-Rehman Ramday. Hal ini disetujui oleh
semua hakim, dan dinyatakan bahwa petisi yang diajukan oleh Musharaf adalah
invalid.
Pada saat PEMILU
yang diadakan bulan oktober 2007, partai Musharaf unggul sehingga kembali
menempatkannya di kursi presiden. Namun hal ini ditentang oleh mahkamah agung.
Karena takut posisinya digulingkan, akhirnya dia memberlakukan hukum darurat
militer serta membekukan konstitusi dan parlemen bersamaan. Musharaf juga
memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman tahanan rumah bagi Iftikhar Chaudry dan
semua hakim yang memulihkan statusnya. Tak lama setelahnya, pada tanggal 15
desember 2007 Musharaf mencabut hukum darurat berikut perintah-perintah yang
diberlakukannya.
Pada bulan
Februari 2008 diadakanlah PEMILU di mana PPP dan PML-N mendapat mayoritas
suara. Kedua partai tersebut berkoalisi yang mana terpilihlah Yousuf Raza
Gilani sebagai perdana menteri. Sementara, di seantero Pakistan , rakyat banyak mengadakan
demonstrasi menuntut pemulihan kembali Hakim Agung Iftikhar Muhammad Chaudry
serta hakim lainnya yang dikeluarkan dan dihukum tahanan rumah. Terhitung
hingga bulan Juni, seringkali terjadi demo dan pawai anarki menuntut
penggulingan Musharaf dari kursi kepresidenan. Akhirnya, pada bulan Agustus
2008 dirinya mengundurkan diri sebagai orang nomor satu Pakistan, dan
kedudukannya digantikan Asif Ali Zardari dia memenangkan pemilihan presiden.
Lagi-lagi
presiden Pakistan
bermasalah dengan pengadilan. Mahkamah agung meminta Biro Akuntibilitas
Nasional untuk membuka kembali kasus money laundering yang sempat dituduhkan
pad Asif Zardari saat dirinya menjadi anggota senat. Belum selesai kasus ini
diproses, terjadi lagi sebuah skandal memogate, dimana seorang businessman
Pakistan di Amerika menyatakan bahwa dirinya ditugaskan oleh seorang pejabat
negara untuk membawa memo kepada Laksamana Mike Mullen. Memo ini dispekulasikan
ditulis setelah penyergapan Osama Bin Laden pada tanggal 2 mei 2011 lalu. Hal tersebut
disinyalir telah ditulis oleh Zardari dan Hussain Haqqani, duta besar Pakistan
di Amerika yang meminta campur tangan Amerika jika kelak terjadi kudeta
kepemimpinan oleh kepala staff KASAD Jenderal Ashfaq Khayani dan kepala Badan
Intelijen Ahmad Shuja Pasha. Kecurigaan makin mencuat tatkala Husain Haqqani
mundur dari jabatannya sebagai duta besar Pakistan di Amerika pada bulan
November tahun lalu. Dalam sebuah kesempatan, Jenderal Khayani menyatakan bahwa
militer sama sekali tidak pernah berkeinginan untuk melakukan Kudeta.
Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah jumpa pers di Islamabad .
Nawaz Sharif dan
aliansinya mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk menyelesaikan tuntas kasus
memogate dan hal tersebut diterima. Dalam sebuah perbincangan antar lawyer Pakistan ,
bila kasus memogate memang benar terbukti adanya, maka presiden Asif Ali
Zardari dan Hussain Haqqani akan terbebani oleh pasal Pakistan Penal Code
dalam sebuah tindakan konspirasi terhadap negara dan sebuah tindakan
pengkhianatan. Begitulah timeline singkat yang bisa penulis kaji dalam membahas
konflik antara komponen penting negara yaitu yudikatif dan eksekutif di negara
bentukan Ali Jinnah ini.
Sumber :
4.
Iqbal, Javeed, The Independence of
judiciary, 2011, Lahore High Court
6.
Ali, Amir, Struggle for Democracy in
Sindh: A Case Study of Movement for
Restoration of Democracy (1983), Jan 2011
l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar