Jumat, 28 Desember 2012

Terdampar di Negeri Gandhi


Terdampar di Negeri Ghandi


Langkahnya gontai di antara selimut udara pagi New Delhi yang bertemperatur sembilan derajat celcius. Dingin memang, tapi bagi lelaki berusia seperempat abad itu, dingin tak bisa menghentikan langkahnya menyambut sebuah komitmen. Penuh optimis dia berjalan keluar dari bangunan sedikit tua yang di depannya bertuliskan Assam Association Guest House. Jas hitam, kemeja biru, dihiasi dasi merah, dan rambutnya yang klimis menambah mantap jalannya. Gagah. Dalam benaknya, lelaki itu berkata “kalau aku bisa datang lebih pagi, urusan teknis bisa ditangani lebih awal, broadcast lancar dan listener dijamin gak kecewa” sambil senyum tangan kanannya melambai menghentikan reksha yang sedang melaju. “Bhai sahab, JNU ka Conference hall kitna pesa de tehe?” ujarnya kepada supir motor beroda tiga khas India itu, menawar harga. Setelah sepakat keduanya pun meluncur ke tempat yang diminta tadi.
Benar sekali. Lelaki seperempat abad itu sesuai dengan apa yang anda bayangkan, ia adalah seorang penyiar radio yang kali ini bertugas meliput acara pelajar Indonesia kaliber internasional bernamakan Simposium Internasional PPI Dunia. Pilihannya adalah kepada berangkat lebih awal menggunkan reksha, meski sebenarnya akan ada jemputan bus dari panitia. Urusan sarapan? Gampang, digabung lunch aja, jawabnya dalam hati. Yang ada dalam otaknya hanyalah bagaimana agar siaran sepanjang acara berjalan lancar tanpa ada gangguan teknis.
Singkat kata, acarapun berjalan diawali dengan pembukaan oleh duta besar RI untuk India. Mas penyiar dengan persiapan matangnya telah menyiapkan sendiri perlengkapannya sejak pagi tadi. Meja, kursi, dan kabel terminal, untuk dijadikan meja studionya. Namun apa yang terjadi di luar dugaan, tiba-tiba jaringan internet down, melemah. Encoding radionya putus. Sang penyiar tak kehabisan akal, dia menggunakan koneksi wi fi hall, tapi sama saja gagal. Padahal malam sebelumnya mas dije telah melakukan speed test modem di dalam hall, dan hasilnya lancar. Sepertinya Tuhan berkehendak lain. Usailah acara pembukaan, mas dije dibantu 3 penyiar lainnya yang turut hadir sebagai delegasi saat itu bersama memutar otak, menyiasati letak studio agar tetap dapat koneksi internet yang bagus. Keempatnya sepakat untuk memindahkan studio ke belakang (bukan toilet loh ya).
Liputan live acara seminar setelah pembukaan berjalan lancar, listener tidak lagi menggerutu. Mas dije pun sumringah karena bisa kembali on air tanpa kendala koneksi internet seperti tadi. Tapi lihat saja, sumringahnya tidak berlangsung lama. Di tengah asyiknya dia memonitor radio, sekejap kilat layar laptopnya sudah tidak ada di hadapannya lagi. Loh kemana? Gubrakkk….jegerr…!! tangan kekar berbulu melintas cepat di hadapannya, merusak konsentrasinya, dan yang lebih parah lagi, laptopnya saat itu sudah berada tepat di atas permukaan bumi, jatuh. Siaran terputus. Mas dije kalang kabut, bertanya-tanya “apa iya ada genderuwo di India?” ternyata jawabannya tidak. Tangan kekar berbulu itu adalah tangan panitia laki-laki berwajah Hindustan yang berjalan tergesa-gesa tanpa melihat ada laptop. Atau mungkin laptop itu dikiranya paratha,  roti gandum sarapan pagi orang India. Apapun itu, raut wajah Mas dije mulai menampakkan kekecewaan, emosi, dan lapar (tapi bukan pengen makan tuh genderuwo, eh salah, panitia). Hebatnya, mas India itu berbalik sebentar meletakkan kembali laptop ke meja, meminta maaf kemudian berlalu begitu saja. Loh kok gitu…
Langkah alternativnya, mas dije musti siaran pake laptop mas dije yang satu lagi, yang itu tuh..yang dari Philipine. Oh iya, selain bertugas siaran mas dije juga harus press release ke beberapa media. Nah kalo ga ada laptop gimana? Kok pusing sih…kan ada laptopnya mas dije philipine. Trus kalau mas philipine pulang bawa lapinya gimana? Ga usah pusing, kan ada galaxy note punya mas dije. Dari situ ntar dikirimnya pake blackberry via email (kalo pusing ngebayanginnya gimana dijamin yang baca ini double gaptek). Masih bingung? Googling aja coba di yahoo. Googling di yahoo?

DAY 2
            Nah ceritanya mas dije pengen ikutan ketemu presiden nih bareng delegasi yang lainnya. Sekalian liputan live di radio untuk speech presiden nanti. Lagi, pakaiannya rapih dan harum tapi bukan pakaian yang kemarin. Kali ini mas Dije tampak gagah dengan batik kuningnya. perlengkapan siaran sudah lengkap selengkap-lengkapnya. Hanya saja laptopnya bukan punya dia, pakai laptop mas dije Philipine. Agak ganjil sih bawanya tapi tetap senang karena bagaimanapun bakal bisa siaran langsung pidato presiden. Tapi, lagi-lagi Tuhan menguji kesabaran mas Dije. Paspampres melarangnya membawa semua peralatan tersebut ke dalam. Yasudah ikutin saja dulu peraturan, pikirnya.
            Ternyata Tuhan memang sudah mengatur semua skenario, kalo difilmin bagus kayaknya nih. Mas dije hampir lupa kalau dia kenal kepala Biro Press dan Media Istana Kepresidenan yang namanya bapak Nachrowi. Kebetulan tuh bapak DJ juga lho, DJamaluddin maksudnya. Singkat kata, mas dije ngelaporin kalau dilarang siaran sama paspampres. Rezeki memang, pak DJ Nachrowi langsung menghubungi security untuk membawakan tas mas dije. Wow.. mas Dije sumringah, bisa siaran live pidato presiden, tapi sedikit kecewa karena listenernya sedikit, karena ternyata belum diiklanin di radio.

DAY 3
            Seminar berjalan lancar, begitu pula siaran mas dije. Kongres dimulai, dan siaran dihentikan dengan pertimbangan acara ini sifatnya internal bukan untuk konsumsi umum. Lagian ntar kasian sama listenernya, bete. Kongres yang berjalan lama ini bikin kaki mas dije gerah, maka segera ia ke mushola menyihir sepatu menjadi sandal. Paginya, sepatupun benar-benar tersihir menjadi hilang. Walhasil, City tour ke Taj Mahal mas Dije pakai sandal.  (Bersambung)

Tidak ada komentar: