Terdampar di Negeri Ghandi
Langkahnya gontai di antara selimut udara pagi New Delhi yang
bertemperatur sembilan derajat celcius. Dingin memang, tapi bagi lelaki berusia
seperempat abad itu, dingin tak bisa menghentikan langkahnya menyambut sebuah
komitmen. Penuh optimis dia berjalan keluar dari bangunan sedikit tua yang di
depannya bertuliskan Assam Association Guest House. Jas hitam, kemeja biru,
dihiasi dasi merah, dan rambutnya yang klimis menambah mantap jalannya.
Gagah. Dalam benaknya, lelaki itu berkata “kalau aku bisa datang lebih pagi,
urusan teknis bisa ditangani lebih awal, broadcast lancar dan listener
dijamin gak kecewa” sambil senyum tangan kanannya melambai menghentikan reksha
yang sedang melaju. “Bhai sahab, JNU ka Conference hall kitna pesa de tehe?”
ujarnya kepada supir motor beroda tiga khas India itu, menawar harga. Setelah
sepakat keduanya pun meluncur ke tempat yang diminta tadi.
Benar sekali. Lelaki seperempat abad itu sesuai dengan apa
yang anda bayangkan, ia adalah seorang penyiar radio yang kali ini bertugas meliput
acara pelajar Indonesia kaliber internasional bernamakan Simposium
Internasional PPI Dunia. Pilihannya adalah kepada berangkat lebih awal
menggunkan reksha, meski sebenarnya akan ada jemputan bus dari panitia. Urusan
sarapan? Gampang, digabung lunch aja, jawabnya dalam hati. Yang ada dalam
otaknya hanyalah bagaimana agar siaran sepanjang acara berjalan lancar tanpa
ada gangguan teknis.
Singkat kata, acarapun berjalan diawali dengan pembukaan oleh
duta besar RI untuk India. Mas penyiar dengan persiapan matangnya telah
menyiapkan sendiri perlengkapannya sejak pagi tadi. Meja, kursi, dan kabel
terminal, untuk dijadikan meja studionya. Namun apa yang terjadi di luar
dugaan, tiba-tiba jaringan internet down, melemah. Encoding radionya
putus. Sang penyiar tak kehabisan akal, dia menggunakan koneksi wi fi hall,
tapi sama saja gagal. Padahal malam sebelumnya mas dije telah melakukan speed
test modem di dalam hall, dan hasilnya lancar. Sepertinya Tuhan berkehendak
lain. Usailah acara pembukaan, mas dije dibantu 3 penyiar lainnya yang turut
hadir sebagai delegasi saat itu bersama memutar otak, menyiasati letak studio
agar tetap dapat koneksi internet yang bagus. Keempatnya sepakat untuk
memindahkan studio ke belakang (bukan toilet loh ya).
Liputan live acara seminar setelah pembukaan berjalan
lancar, listener tidak lagi menggerutu. Mas dije pun sumringah karena
bisa kembali on air tanpa kendala koneksi internet seperti tadi. Tapi lihat
saja, sumringahnya tidak berlangsung lama. Di tengah asyiknya dia memonitor radio,
sekejap kilat layar laptopnya sudah tidak ada di hadapannya lagi. Loh kemana?
Gubrakkk….jegerr…!! tangan kekar berbulu melintas cepat di hadapannya, merusak
konsentrasinya, dan yang lebih parah lagi, laptopnya saat itu sudah berada
tepat di atas permukaan bumi, jatuh. Siaran terputus. Mas dije kalang kabut,
bertanya-tanya “apa iya ada genderuwo di India?” ternyata jawabannya tidak.
Tangan kekar berbulu itu adalah tangan panitia laki-laki berwajah Hindustan
yang berjalan tergesa-gesa tanpa melihat ada laptop. Atau mungkin laptop itu
dikiranya paratha, roti gandum
sarapan pagi orang India. Apapun itu, raut wajah Mas dije mulai menampakkan
kekecewaan, emosi, dan lapar (tapi bukan pengen makan tuh genderuwo, eh salah,
panitia). Hebatnya, mas India itu berbalik sebentar meletakkan kembali laptop
ke meja, meminta maaf kemudian berlalu begitu saja. Loh kok gitu…
Langkah alternativnya, mas dije musti siaran pake laptop mas
dije yang satu lagi, yang itu tuh..yang dari Philipine. Oh iya, selain bertugas
siaran mas dije juga harus press release ke beberapa media. Nah kalo ga ada
laptop gimana? Kok pusing sih…kan ada laptopnya mas dije philipine. Trus kalau
mas philipine pulang bawa lapinya gimana? Ga usah pusing, kan ada galaxy note
punya mas dije. Dari situ ntar dikirimnya pake blackberry via email (kalo
pusing ngebayanginnya gimana dijamin yang baca ini double gaptek). Masih
bingung? Googling aja coba di yahoo. Googling di yahoo?
DAY 2
Nah ceritanya mas dije pengen ikutan ketemu presiden
nih bareng delegasi yang lainnya. Sekalian liputan live di radio untuk speech
presiden nanti. Lagi, pakaiannya rapih dan harum tapi bukan pakaian yang
kemarin. Kali ini mas Dije tampak gagah dengan batik kuningnya. perlengkapan
siaran sudah lengkap selengkap-lengkapnya. Hanya saja laptopnya bukan punya
dia, pakai laptop mas dije Philipine. Agak ganjil sih bawanya tapi tetap senang
karena bagaimanapun bakal bisa siaran langsung pidato presiden. Tapi, lagi-lagi
Tuhan menguji kesabaran mas Dije. Paspampres melarangnya membawa semua
peralatan tersebut ke dalam. Yasudah ikutin saja dulu peraturan, pikirnya.
Ternyata Tuhan memang sudah mengatur
semua skenario, kalo difilmin bagus kayaknya nih. Mas dije hampir lupa kalau
dia kenal kepala Biro Press dan Media Istana Kepresidenan yang namanya bapak
Nachrowi. Kebetulan tuh bapak DJ juga lho, DJamaluddin maksudnya. Singkat kata,
mas dije ngelaporin kalau dilarang siaran sama paspampres. Rezeki memang, pak
DJ Nachrowi langsung menghubungi security untuk membawakan tas mas dije. Wow..
mas Dije sumringah, bisa siaran live pidato presiden, tapi sedikit kecewa
karena listenernya sedikit, karena ternyata belum diiklanin di radio.
DAY 3
Seminar berjalan lancar, begitu pula
siaran mas dije. Kongres dimulai, dan siaran dihentikan dengan pertimbangan
acara ini sifatnya internal bukan untuk konsumsi umum. Lagian ntar kasian sama
listenernya, bete. Kongres yang berjalan lama ini bikin kaki mas dije gerah,
maka segera ia ke mushola menyihir sepatu menjadi sandal. Paginya, sepatupun
benar-benar tersihir menjadi hilang. Walhasil, City tour ke Taj Mahal mas Dije
pakai sandal. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar