Lesehan #8
Menjelang hari-hari ganjil di
sepuluh akhir Ramadhan, masjid-masjid mulai ramai oleh orang-orang yang
melakukan I’tikaf. Dalam hal ini tentu ada satu motivasi yang menguatkan mereka
untuk berdiam lama di masjid dengan dzikir dan ibadah lainnya, apalagi kalau
bukan mengencangkan ibadah guna meraih lailatul Qadar, yang dalam al-quran
sendiri malam tersebut sangat diistimewakan dengan turunnya malaikat dengan
membawa rahmat ke bumi, menulis langsung setiap do’a, dan menghapuskan
permohonan ampun yang diucapkan malam itu hingga menjelang fajar.
Motivasi
yang menggiurkan ini membuat mas Nur, gus Hikam, termasuk saya dan kawan-kawan
lainnya sepakat untuk turut serta menghidupkan malam di sepuluh akhir dengan I’tikaf
juga. Pada suatu kesempatan saat hendak melaksanakan shalat malam, kang Julay
mendapati mas Nur masih duduk berdizikir dan berdoa sangat lama sekali, sejak bubar
tarawih hingga menjelang waktu sahur.
“begadang mas?” tanya kang Julay ketika mas Nur beranjak
dari tempatnya untuk sahur.
“iya kang” jawabnya, tersenyum ringan.
“ngapain aja?” penasaran kang Julay.
“ya menghidupkan malam seperti yang disebutkan dalam hadist
Aisyah Radiyallah ‘anha bahwa kanjeng nabi itu kalau sudah memasuki sepuluh
terakhir makin bersungguh-sungguh ibadahnya dan terus menghidupkan
malam-malamnya” jawab mas Nur.
“owalah hadist yang diriwayatkan dalam sohihaini Bukhori dan
Muslim itu toh? Iya, bener itu mas secara tekstual, namun dalam memahami makna
menghidupi malam-malam adalah bukan berarti dengan begadang. Coba sampeyan buka
lathoiful maarif punya Ibnu rajab al Hanbali. Dikatakan bahwa imam Syafi’I dengan
mengambil mayoritas pendapat ahli Madinah bahwa menghidupkan malam itu dengan
shalat Isya dengan berjamaah serta melanjutkannya dengan shalat subuh berjamaah
pula, bukan dengan begadang” ujar kang Julay
“sebentar kang, bukankah ada riwayat Aisyah yang mengatakan :
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَامَ لَيْلَةً حَتَّى الصَّبَاحِ، وَمَا صَامَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا إِلَّا
رَمَضَانَ”
Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW bangun malam
hingga subuh dan berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan”
“iya, betul mas, tapi yang perlu diluruskan adalah dalam
memaknai kata “qooma lailatan” dalam hadist tersebut. konotasinya bukan
terbangun sepanjang malam, tapi terbangun untuk shalat malam hingga menjelang
subuh. Dan sholat malamnya dilakukan hingga menjelang subuh”
Bahkan dalam Syarhu Taqrib bab 4 halaman 161 punya imam
Iroqi menjelaskan demikian:
لَيْسَ الْمُرَادُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ قِيَامُ جَمِيعِ لَيْلِهِ
بَلْ يَحْصُلُ ذَلِكَ بِقِيَامٍ يَسِيرٍ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا فِي مُطْلَقِ التَّهَجُّدِ
وَبِصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَرَاءَ الْإِمَامِ كَالْمُعْتَادِ فِي ذَلِكَ وَبِصَلَاةِ
الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ
“Yang dimaksud menghidupkan Ramadhan bukanlah dengan tanpa
tidur satu malam penuh. Akan tetapi cukup sebagian saja dari malam, seperti
orang yang bangun untuk sholat tahajud. Dan juga dengan hanya sholat tarawih berjamaah
di belakang imam seperti biasanya, atau juga dengan sholat isya dan subuh
secara berjamaah”
“kalau
cuma beraktivitas seperti biasa, gimana mau dapet lailatul qadarnya kang?”
tanya mas Nur penasaran
“loh
jangan salah, justru dengan hanya shalat Isya berjamaah, shalat malam, dan
shalat subuh berjamaah sudah dijanjikan dapet fadilahnya lailatul qadar lho
mas, ada itu hadistnya yang marfu’ dari Abu Hurairoh , bunyinya begini:
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ
الْأَخِيرَةَ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
“barang siapa yang sholat isya’ terakhir secara berjamaah di
bulan Ramadhan, maka ia telah mendapatkan (keutamaan) malam Lailatul Qodr.”
Bisa
dilihat di majmu’nya imam Nawawi tuh hadistnya, juga di lathoiful maarif.
Bahkan
nih mas, dalam Shahih Bukhori ada sebuah riwayat dimana ada seorang sahabat
bernama Abu Darda’ yang maunya shalat sepanjang malam, yang akhirnya ditegur
untuk tidur dan cukup bangun shalat malam oleh sahabat yang lain lalu dibenarkan
oleh Rasulullah SAW
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ
وَهْبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا
الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاء مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ : مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ:
أَخْوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ
فَصَنَعَ لَه طَعَاماً، فَقَالَ لَهُ : كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ : مَا أَنَا بِآكِلٍ
حَتَّى تَأْكُلَ، فَأَكَلَ، فَلَّمَا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ
فَقَالَ لَهُ : نَمْ فَنَام، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ لَه : نَمْ، فَلَمَّا كَانَ
من آخِراللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ : قُمِ الآنَ، فَصَلَّيَا جَمِيْعاً، فَقَالَ لهُ
سَلْمَانُ : إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا،
وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَذَكر ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم : صَدَقَ سَلْمَانُ .) رَوَاهُ البُخَارِيّ.(
Dari
Abu Juhaifah yaitu Wahab Ibn Abdullah ra. berkata bahwa Nabi SAW
mempersaudarakan antara Salman dan Abu al-Darda'. Salman pada suatu ketika
berziarah ke Abu al-Darda', ia melihat Ummud Darda' -istri Abu al-Darda'-
mengenakan pakaian yang serba kusut yakni tidak berhias sama sekali. Salman
bertanya padanya: Mengapa saudari berkeadaan sedemikian ini? Wanita itu
menjawab: Saudaramu yaitu Abu al-Darda' itu sudah tidak ada hajatnya lagi pada
keduniaan maksudnya: Sudah meninggalkan keduniaan, baik terhadap wanita atau
lain-lain. Dia berpuasa pada siang harinya dan terus bersembah yang pada malam
harinya. Abu al-Darda' lalu datang, kemudian ia membuatkan makanan untuk
Salman. Setelah selesai Abu al-Darda' berkata kepada Salman: Makanlah, karena
aku berpuasa. Salman menjawab: Aku tidak akan suka makan, sehingga engkaupun
suka pula makan. Abu al-Darda' lalu makan. Setelah malam tiba, Abu al-Darda'
mulai bangun. Salman berkata kepadanya: Tidurlah! Ia tidur lagi. Tidak lama
kemudian bangun lagi dan Salman berkata pula: Tidurlah! Kemudian setelah tiba
akhir malam, Salman lalu berkata pada Abu al-Darda': Bangunlah sekarang!
Keduanya terus shalat. Salman berkata: Sesungguhnya untuk Tuhanmu itu ada hak
atas dirimu, untuk dirimu sendiri juga ada hak atasmu, untuk keluargamupun ada
hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang berhak itu akan haknya
masing-masing. Abu al-Darda' -paginya- mendatangi Nabi SAW kemudian menyebutkan
peristiwa semalam itu, lalu Nabi saw. bersabda,"Apa yang dikatakan Salman
itu benar". (HR Al-Bukhari)
“wah
jadi sebenarnya I’tikaf itu untuk apa kang kalau bukan begadang?”
“nah
ini dia yang perlu diluruskan, sebenarnya tujuan I’tikaf itu adalah agar
orang-orang lebih intens lagi beribadah dengan durasi yang lebih panjang,
karena kalau di rumah pasti ada saja kerjaan, ada saja kasur, ada saja kipas
angin yang bikin kita nunda-nunda ibadah, dengan I’tikaf di masjid otomatis
durasi dan intensitas ibadah kita lebih panjang, dan lagi-lagi sebenarnya ndak
perlu begadang. Ya logikanya gimana sampeyan mau ibadah dengan maksimal nanti
ke depannya kalau badan sampeyan kurang sehat gara-gara begadang, Ibadah dalam
Islam itu sudah diatur secara proporsional kok mas” jelas kang Julay
“eh
iya, kalau lailatul Qadar itu apa bisa datang juga buat mereka yang tidak I’tikaf?’
“tentu,
semua oraqng bisa meraihnya kang, sekalipun yang tidak I’tikaf. Bahkan wanita
yang sedang berhalanganpun juga bisa dapet fadilahnya, jika bertepatan dengan
momen tersebut dan dia dalam keadaan dzikir mengingat Allah, beramal shaleh,
dan tak maksiat”
“jadi
gimana, besok ga perlu begadang lagi ya mas, pasang alarm aja untuk bangun
tengah malam lebih awal biar durasi shalatnya juga bisa lebih panjang” lanjut
kang Julay, bertanya
“kalau
besok malam bisa kang, tapi besok lusa saya begadang lagi aja” jawab mas Nur
“emang
kenapa mas?” Julay
“mau
streaming nonton Jerman vs Italy kang, tapi tetep di masjid kok, ndak batalin I’tikaf”
“hadegh…”
1 komentar:
Wahaha mantap cak, yu da ril emvipi lah. oiya cak salam yah sama Mas Nur, Gus Hikam, dan kang Julay :)
Posting Komentar