Selasa, 22 April 2008

HILANGNYA JIWA PATRIOTISME

Mencetak Jiwa Nasionalisme Dan Patriotisme

Lucu, romantis, dan kocak, itulah kesan yang terdetik saat kita mengamati film “Naga Bonar Jadi 2”. Namun, sejak awal hingga akhir film ini terkemas satu pesan penting yang menjadi daya tarik bahkan perlu dijadikan contoh bagi para masyarakat Indonesia pada umumnya, dan pada para pemuda khususnya. Yaitu kepedulian sang sutradara, yang dengan lihainya menampakkan jiwa patriotisme atau hubbul wathan-nya yang betul – betul jarang bisa kita temukan pada kepribadian orang – orang Indonesia saat ini. Dalam film ini diceritakan seorang Naga Bonar yang mempunyai anak bernama Bonaga, seorang pengusaha yang ingin menjual tanah leluhurnya kepada investor jepang untuk dijadikan resort dan tempat wisata. Dengan tegas sang ayah, Naga Bonar menolak menjual meski hanya sejengkal tanah kepada bekas penjajah Indonesia itu " apa kata dunia " katanya.
Bila kita kembali pada fenomena yang ada di tanah air kita saat ini, fakta yang nyata bukannya jiwa mempertahankan kehormatan bangsa, malah menjual murah budayanya. Adalah suatu kehormatan dalam kehidupan bernegara yaitu jiwa mempertahankan kedaulatan dengan harga mati. Serta mendahulukan kepentingan berbangsa dibandingkan kepentingan individu yang tidak dapat ditawar lagi. Satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep kebersamaan. Dan menurut ensiklopedia Inggris, Patriotisme adalah Semangat cinta tanah air dan sikap bersedia mengorbankan apa saja untuk kejayaan dan kemakmuran negara. Namun, semuanya itu saat ini hanya terkesan bagai sebuah slogan saja yang dalam penerapannya adalah nihil. Padahal, hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan di fakultas atau jurusan apapun itu terdapat satu mata kuliah yaitu “kewarnegaraan” atau apapun itu namanya saat ini , yang tujuannya agar para mahasiswa sebagai penerus bangsa terpatri dirinya untuk memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme tersebut. Tapi kenyataannya para pejabat negara yang notabene adalah sebagian contoh 'orang terpelajar', malah bisa dikatakan sebagai orang yg paling jauh dari arti nasionalisme dan patriotisme itu sendiri. Ironisnya, di saat bangsa ini diterpa dengan kemiskinan dan keterbelakangan, dana otonomi malah diselewengkan untuk kepentingan individu, Wallahu a’lam.
62 tahun yang lalu bangsa kita sudah terbebas dari pemerintahan kolonial serta penjajahan. Mungkinkah perjuangan para pahlawan yang melelahkan, yang saat itu benar - benar berprinsip bahwa NKRI adalah harga mati bisa ditebus dengan memelihara negeri ini dengan baik? Sungguh menyedihkan nasib bangsa saat ini. Sekian tahun lamanya kita terlepas dari penjajahan eksternal, kini serangan internal lebih dahsyat. Dalam artian, kita sekarang dihadapkan pada kondisi global yang dikelilingi serentet problem baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pendidikan, dan kesehatan. Bahkan kondisi murkanya alam yang terus mengiringi bangsa kita akibat dari kerakusan manusia. Contoh hal kecil dalam permasalahan ekonomi yang paling terlihat sekarang adalah langkanya bahan bakar minyak, sulitnya mencari kerja dan mahalnya harga bahan pokok. Dampaknya, tidak tercukupinya sandang, pangan dan papan bagi rakyat. Dalam hal ini, dapat dikatakan mungkin pemerintah kurang bisa memberi solusi positif untuk kemakmuran rakyatnya. Berdasar fenomena itu, muncul dalam pikiran sebuah pertanyaan sederhana. Untuk apa kegiatan lomba, atau dipasangnya lampu hias di kampung yang sebenarnya pemborosan listrik yang ujung-ujungnya membebani rakyat. Mampukah dari situ menciptakan rasa patriotisme pada generasi muda kita, atau sekadar hura-hura? Belum lagi saat salah satu lagu daerah kita “rasa sayange” dan kerajinan “batik” diklaim milik penuh oleh Negara tetangga Malaysia. Semua orang rame mempermasalahkannya, sebenarnya ini salah siapa? Memang di satu sisi Negara itu bisa dikatakan salah dia mengklaim apa yang buakan miliknya adalah miliknya. Tapi lebih salah lagi saat kita yang memiliki berjuta kebudayaan malah tidak menjaganya bahkan terkesan meninggalkannya. Beramai – ramai masyarakat Indonesia mempermasalahkan hal ini, padahal jauh hari sebelumnya kita tidak tahu menahu bahkan terkesan tidak perduli dengan satu kepemilikan kita yang sangat berharga itu.
Adalah hal yang sangat hina di saat Negara kita tertimpa konflik di Ambon, Poso, dan Maluku, seorang anak bangsa meminta campur tangan dari pasukan Negara lain untuk menyelesaikannya. Setidaknya itu memberi kesan kepada dunia bahwa betapa rendahnya jiwa nasionalisme dan patriotisme warga Negara Indonesia, sampai - sampai tidak mampu menyelesaikan permasalahan dalam negerinya sendiri. Lebih buruk lagi bila ada pernyataan kalau bangsa Indonesia hanya bisa lari dari permasalahan dan tidak mau perduli dengan kepentingan negaranya.
Lantas, bagaimanakah seharusnya para generasi muda dalam memahami dan merealasikan makna dari kata patriotisme itu sendiri? Apakah sekedar mengingat kehebatan dan keberanian pejuang masa lalu dalam merebut kemerdekaan, menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya , atau mengadakan lomba serta pertunjukan karaoke dan begadang main kartu semalaman? Makna sebenarnya, membuktikan kepada dunia atas apa yang kita kuasai demi cinta negeri ini.
Maka perlu ada upaya nyata dalam penanaman jiwa ini, sesuai realita yang ada
Negeri ini kehilangan uswatun hasanah yang memiliki jiwa tanggung jawab penuh dengan jiwa totalitas yang prima. Intinya, krisis moral yang melanda kita saat ini punya andil besar dalam mempengaruhi hilangnya semangat cinta bela Negara. Semuanya kini kembali pada individual kita masing – masing untuk bisa belajar bertanggung jawab. Bukan hanya untuk maslahat bangsa semata namun juga untuk masa depan para pemuda.

Tidak ada komentar: