Kamis, 10 November 2011

Jaldi Eik So Tees


by : Firman Arifandi

         Pengap. Sejam lebih sudah aku berada di tengah kerumunan lautan manusia di jantung sektor G-6 Islamabad ini. Aabpara market tepatnya, dimana kedua kakiku saat ini melangkah gontai menyusuri setiap ruas gangnya, pandanganku menyebar ke hampir semua sudutnya. Tersenyum kulihat toko hape produk China di seberang kiriku, bersebelahan dengan toko itu, dua jenis daging digantung, yang satu berwarna merah muda pucat kuyakin itu daging kambing dan satu lagi berwarna merah terang. Daging sapi. Ya gak mecing banget pikirku, toko hape kok sebelahan sama toko daging, mambu.  Kuseka peluh yang mengucur di dahiku, sedikit puas karena beberapa barang belanjaan untuk acara nanti sudah kudapatkan. “hmmh..tinggal potocopy dan beli snack nih” gumamku sendiri dalam hati. Langkahku masih gontai. Enjoy menikmati pemandangan belanja di pasar yang mayoritas pedagang dan pembelinya adalah bapak-bapak. Semua tau bahwa di negri paratha ini, wanita hampir tidak boleh keluar sama sekali, malas juga aku mikir panjang tentang ini, yang pasti sekarang aku harus selesaikan belanjaanku dulu.
          “das copy chaiyye!”  kataku seraya kuserahkan lembaran artikel untuk bahan perkumpulan nanti sore ke tukang photocopy. Tanganya yang kurus dan keriput menunjukan usianya yang sudah tidak lagi muda. Setelah itu, pandanganku kini tertuju pada warung kikil, pas diseberang photocopy. Kulihat jam, pukul 13.05. Dan belum ada makanan yang kutelan sejak pagi. Cacing-cacing di perut dan bakteri koli pada mukulin dinding-dinding usus ini, protes minta jatah dobel sarapan plus makan siang. Aroma kuah kikil dengan bumbu lada hitam khas Pakistani dan warnanya yang kecoklatan indah begitu menggoda. Asap yang keluar dari pancinya seolah menari di hadapanku, dan dengan gemulainya mengajak aku untuk segera melahapnya. Kutelan ludah dalam-dalam layaknya orang normal yang tergoda melihat makanan enak terlebih di saat perut ini kosong. Dinding-dinding tenggorokan ini mulai basah oleh ludah yang segera memberikan respon rangsangan ke otak untuk menyegerakan otot kaki agar segera melangkah, masuk, duduk, memesan, dan segera menyantap soup kikil khas Pakistani yang sering disebut phai. Singkat kata, sruputtt.. maknyuss!! Meniru kata pak Bondan dalam program acara wisata kuliner di salah satu stasiun televisi. Semangkok soup kikil dan segelas teh sudah habis, kerongkongan dan segenap elemenya pun puas. Kubayar tiga lembar uang lima puluhan ke kasir, harga yang cocok untuk menebus rasa lapar dan kawan-kawanya. Kurogoh kembali secarik kertas dari kantongku bertuliskan list kebutuhan yang perlu kubeli untuk acara sore ini, lunas tuntas, tinggal beli snack nih.
          “So I wont hesitate no more no more…!” nada dering lagu Jason Mraz dari hapeku. Nampak di layar nama Rahma, ketua organisasiku memanggil, kupencet tombol hijau di bagian kiri atas hape.
“ya halo..assalamualaikum..” ujarku setelah mengangkat panggilanya.
“waalaikumsalam, kakak dimana? Ini acara sudah mau mulai setengah jam lagi, belum ada konsumsi, artikelnya juga masih sama kak Fandi kan? Cepet kak” tegasnya.
Kulihat jam tangan hitamku bermerk ripcurl, jam tangan yang lagi ngetrend sekarang. masih 14.30
“masih di Aabpara, loh ini masih jam setengah dua kok Rahma, acaranya sore menjelang maghrib kan?” jawabku seraya mengerutkan kening antara kepanasan dan bingung.
“lah, kan Rahma tulis di undangan jam 3 sore kakaaaaaaak..plis deh, ya sudah kakak cepet deh kemari artikelnya yang penting. Sepuluh menit kutunggu!!” ujarnya seraya menutup panggilan.
          Wadoh, panik dan bingung bercampur jadi satu bersama rasa kenyang di perutku menghasilkan keringat dingin dan gatal di sekujur kepala dan leher. Kubergegas lari ke bibir jalan raya mencegat taxi, menawar satu per satu taxi yang harganya mahal selangit. Ini dia efek dari gas shortage di Pakistan, tiap hari rabu,jum’at dan sabtu gas selalu tutup hingga harga taxi pun turut naik. Hingga akhirnya kutemukan sebuah taxi dengan supir tua dan keadaan mobil yang tak jauh beda dengan sang supir. “nafei rupes detahun” jawabnya setelah kutawar harganya, pas. Bergegas kuletakkan semua barang belanjaan di kursi depan dan aku sendiri duduk di belakang. Berangkatlah kami ke tempat tujuan, F-11/1 st 76 H 242 yang kuprediksikan dengan kecepatan 80 km/jam bisa sampai ke lokasi setidaknya lima menit sebelum acara mulai sementara sekarang sudah pukul 14.40, “terkejar” pikirku.
          Sudah lima menit, tapi taxi ini masih berada di belokan 7th avenue menuju kashmir highway, sementara ujung belokan kanan menuju sektor G-8 belum juga kelihatan, itu artinya taxi ini berjalan super pelan seperti siput. Benar saja, rupanya taxi ini hanya melaju dengan kecepatan 20.
“hei baba..jaldi karo me intizar mera dos uther” ujarku dengan bahasa urdu yang belepotan, berharap si supir paham apa maksudku.
“acha ticke, kitna dir chaiyye?”
“panch minit” tegasku
          Serentak sang supir main kopling dan langsung tancap gas melintasi jalanan kashmir highway yang lurus-lurus saja namun penuh kendaraan di jalan ini dan semuanya melaju dengan kecepatan super kencang, sehingga pak tua pengemudi taxi ini tak jarang main banting setir, ngepot, dan wuzzzz…bikin jantung terpompa kencang. “itung-itung olga jantung” pikirku dalam hati, sambil sesekali nyebut. Sampailah di pertigaan kashmir higway menuju hilal road yang jalanan aspalnya tak layak di sebut aspal karena batu dan kerikil besar memenuhi jalanan yang sudah rusak ini, tapi besi ber cat kuning yang kutumpangi tersebut bukanya jalan pelan malah tetap melaju kencang seperti sebelumnya. Melewati lobang yang lumayan lebar tanpa ngerem, gubrak!! Terasa nyeri di kulit kepalaku, setelah ku sadar kepalaku membentur bagian atap mobil yang tak berbungkus bahan empuk seperti layaknya mobil pada umumnya, maklum mobil tua. Akhirnya sampailah aku di ujung gang F11/1 setelah melalui perjalanan bersama pak tua ini dari Aabpara market hingga lokasi tujuan. Kuambil selembar duit rupes berwarna merah dari dalam dompet dan kusodorkan ke pak tua, berharap secepat mungkin memberikan kembalian 10 rupes dari uang seratus yang kubayarkan. Namun apa yang tanggapan pak tua ini.
“nafei nehi bhai, jaldi eik so tees detahun” ujarnya padaku dengan wajah yang melas.
Apa..??? seratus tiga puluh, ediaaaannn..!!
Sebenarnya aku ingin memperdebatkan harga gak layak ini, namun apa boleh buat waktuku sudah hanya akan habis untuk sekedar mempertahankan empat puluh rupes, ini menyangkut maslahat organisasiku.
“jaldi eik so tees bhai!!” ujar pak tua itu lagi, membuyarkan pikiranku yang sempat terbang ke sana kemari. Segera kuberikan tiga puluh rupes lainya, bergegas kututup pintu taxi dan masuk ke rumah tempat perkumpulan diadakan.
Pintunya yang berwarna coklat tua, sudah tak asing bagiku. Seolah-olah menyapaku dengan ucapan “selamat datang”. Rumah megah dengan cat tembok putih bersih ini sering kukunjungi, perabotanya yang tertata rapi, dan sekeliling ruanganya dengan hiasan dinding seadanya namun indah, ditambah lagi dengan lampu hias yang indah membuat rumah dan isinya cukup nyaman bagi orang yang tinggal di dalamnya, terlebih para tamu yang datang.
          Sesampainya di ruangan tempat kumpul, aku mendapati teman-teman sudah cekaka cekiki, kembali kulihat jam tanganku. Ya gusti, acara tertunda seperempat jam. Segera kubagi copy artikel ke teman-teman, aku tahu si Rahma melihatku dengan pandangan agak kesal, namun aku pura-pura tidak tahu. Sesudah kubagikan lembaran itu, Rahma memanggilku, dadaku berdegup kencang.
 “bakal murka nih ratu tawon” imbuhku dalam hati.
Tapi ternyata dia tak marah, perkiraanku salah.
“kak, konsumsi kan belom siap sama sekali” ujarnya, “kakak tolong ke F11 markaz ya kak, beli fast food di sana untuk 25 orang, pliiiiisss!!
Spontan saja aku mengangguk meski berat hati untuk keluar lagi.
Dia sodorkan uang dua ribu rupes kepadaku, seraya berkata “ nih duitnya, jaldi karo!!” katanya
Hmmmh…kutarik nafas dalam-dalam dan menjawab “jaldi eik so tees de” simpel.


Vocabulary:

  1. mambu : bau
  2. das copy chaiyye : copy in jadi sepuluh
  3. nafei rupes detahun : kasih sembilan puluh rupes
  4. acha ticke : okay
  5. panch minit : lima menit
  6. jaldi eik so tees de : cepet, kasih 130 rupes 

Tidak ada komentar: